Saturday, September 26, 2009

Hafidzah di Dunia Tanpa Warna


Arafah namaku, meski aku belum pernah sampai ke lembah yang mulia itu. Mungkin saja itu cita-cita Bapak dan Emak agar aku sampai ke sana suatu hari nanti.
Masa kecilku tumbuh dalam suasana yang sangat menyenangkan. Setiap pagi dan petang aku ke Langgar untuk mengaji. Di depan rumah orangtuaku yang megah dan kokoh di bawah pohon sawo yang rindang, itulah Langgar bagi setiap anak di sekitar rumahku untuk mengaji, tentu saja di bawah bimbingan Bapak.
Aku tumbuh di tengah keluarga besar di rumah yang juga sangat besar. Hingga tiba bagi gadis seusiaku untuk menikah. Maka datanglah seorang lelaki gagah yang berasal dari keturunan yang baik (seharusnya bergelar Raden dan mempunyai garis keturunan dari salah satu Wali Songo di Pantura). Lulusan pesantren pula. Maka mulailah kehidupanku yang indah. Seorang anak perempuan yang lucu mengawali rumah tangga yang harmonis. Suamiku, Ismail, sering ke luar daerah untuk berdagang dan tentu saja berdakwah. Hingga kehamilanku yang kedua, begitu terasa masa kehamilan yang berat itu. Alhamdulillah, masa kehamilan yang susah itu berakhir dengan hadirnya 2 anak lelaki kembar identik. Subhanallaah, aku hanya mengharapkan satu anak lelaki namun Allah memberiku dua sekaligus. Belum lama aku menimang jabang bayi, sebuah wabah penyakit cacar menyerang mataku dan akhirnya aku harus merelakan hilangnya kedua penglihatanku, duniaku. Allah, sedikit cobaanMu ini hanya untuk mengujiku agar lebih sabar. Penglihatanku adalah dari Engkau dan bila Engkau memintanya kembali maka aku tiada berdaya.
Suamiku yang aku cintai mendapati kenyataan pahit itu biasa saja, namun aku tidak tahu isi hati di relungnya yang terdalam. Ketika kemudian ia membicarakan dg orangtuaku tentang rencana kepergiannya untuk tinggal di tempat yang jauh dan membawaku serta, aku tidak tahu bahwa orangtuaku tidak setuju. Pada akhirnya yang aku tahu kenyataan bahwa aku tidak lagi mengasuh anak-anak bersamanya. Praktis semua kebutuhan dan pengasuhan anak-anak dalam kendali orangtua kemudian berlanjut pada saudara lelakiku. Aku tidak pernah tahu bagaimana langkah kaki pertama si kembarku, pun hanya kudengar kenakalan-kenakalan mereka, karena amat sedikit kontribusi pendidikanku atas mereka.
Dalam kepekatan dan kesunyian aku menciptakan bait-bait laguku sendiri, mengabarkan rindu hatiku pada suamiku yang masih kucinta. Namun dalam layar tanpa warna itu semakin peka matahatiku, pendengaranku, dan makin terbuka otakku untuk merekam ayat demi ayat yang biasanya aku dengar. Pelan-pelan aku setiap hari menyimak orang-orang tercinta mengaji dan kemudian aku mengulangnya sembari siapapun juga menyimak untuk membetulkan bacaanku. Subhanallah, karena tiada cahaya lain yang mengalahkan ayat-ayat itu di otakku maka akupun menjadi seorang Hafidzah. Maka kegiatanku sehari-hari adalah menyimak dan membetulkan bacaan anak-anak yang mengaji dan kemudian meminta mereka menyimak bacaanku.
Dan hal itu berlanjut terus hingga anak-anak dewasa dan aku ikut anak perempuanku dan suaminya ke kota lain. Di rumah anakku setiap sore berkumpul anak-anak untuk belajar mengaji, dan akupun kebagian jatah mengajar juga, tentu saja dengan caraku.
Tahun-tahun berlalu. Kabar dari suami (atau mantan suami?) selalu aku dengar melalui berbagai jalan. Setelah terpisah, ia menikah 2 kali dan masing-masing mendapatkan 3 anak. Dengan istri yang terakhir ia bertempat tinggal di kompleks masjid, selain mengajar juga megelola sebuah toko kelontong. Kabarnya ia sudah membangun rumahya yang megah, dan menjadi cukup kaya dan terpandang.
Aku bahagia, anakku lelaki masih mencari ayahnya dan menyambung tali perdarahan hingga ke anak-anak dan cucunya. Aku sering menanyakan pada anakku itu kabar dari ayahnya. Sementara anak perempuanku sungguh terlalu dalam luka hatinya untuk membuka pintu maaf bagi ayahnya
Kini aku masih tinggal bersama anak perempuanku. Setiap kali cucu, cucu menantu, dan buyut-buyutku datang berkunjung, mereka harus rela aku raba untuk mengenali wajahnya. Alhamdulillah mereka semua tumbuh sempurna dan meraih kehidupan yang mulia. Ada cucuku yang menjadi guru, perawat, pengusaha, bahkan ada yang menjadi dokter. Sungguh aku bahagia mendengar semua keberhasilan mereka yang tak pernah lupa mereka ceritakan untukku.
Dan satu demi satu orang-orang itu meninggalkanku. Suamiku, istri keduanya, istri ketiganya yang jauh lebih muda dari aku dan menantu lelakiku. Kadang aku bertanya mengapa bukan aku yang Allah panggil lebih dulu. Aku tiada berdaya apa-apa, tiada ada manfaatnya. Namun penyakit-penyakit metabolik yang menggerogoti mereka seakan-akan menjauhi tubuhku.
Ada satu hal yang membuatku sangat sedih dan semakin tak berguna. Tiada lagi anak-anak yang mengaji karena mereka pergi ke TPQ yang modern dan baik di masjid-masjid dengan ustadz/ustadzah yang pintar dan menarik. Aku pernah mendengar bahwa seorang hafidz/hafidzah bila hilang hafalannya maka akan masuk ke dalam neraka. Sungguh aku tidak ingin nanti aku mati dalam keadaan lupa dengan hafalan Qur'anku. Ya Allah sungguh aku tak mau itu terjadi. Sungguh aku siap menghadapMu kapanpun jua bahkan detik ini ketika aku yakin masih bisa menjaga ayat-ayatMu.

No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK