Friday, February 24, 2012

Antara Ibu dan Sekolah

Sore jam pulang sekolah. Ciiiiittt... suara rem sepeda yang aku kenal, sejurus kemudian terdengar keributan suara besi pintu pagar beradu ketika Hanif membukanya dengan terburu-buru...
"Ibuuuuukkkk......." suaranya seperti diliputi galau dan agak bete atau malah mungkin memendam marah.

"Yaaa.." saya menyahutnya dari dalam rumah. Bahkan salam pun terlupa, hmmm pasti ada sesuatu yang darurat.

"Ibuk,  tekanan sama suhu itu berbanding terbalik apa berbanding lurus?" pertanyaan itu masih terdengar galau, sambil memarkirkan sepeda sembarangan dan melepas sepatu secepat ia bisa.

Saya berpikir sebentar, "Berbanding .... lurus.." sahut saya masih dari dalam rumah.

"Nah, kan. Aku sudah bilang ke ustadz tapi malah nggak percaya... huuuuuh!"
Sambil ia masuk ke rumah, melepaskan tas punggungnya dengan sebuah hentakan. 
Hmmm. Perlu penanganan segera nih.

Saya menyambut tasnya dan memandang wajah yang memerah karena matahari dan peluh membasah setelah mengayuh sepedanya. Sepasang mata di balik kacamata itu masih terlihat kesal.

"Wah emang ada apa nih...?" saya membimbingnya duduk di meja makan dan saya pun mengambil tempat di sampingnya.

"Tadi ada pembahasan soal sains. Aku bilang tekanan itu berbanding lurus sama suhu, tapi kok ustadz malah bilang berbanding terbalik... gimana sih"

"Kamu udah bilang alasanmu?"

"Iyaaaa..... aku udah bilang buktinya kalau di tempat tinggi dengan tekanan udara yang semakin rendah, suhunya kan juga semakin rendah. Contohnya di puncak gunung... iya khan?" nada suaranya masih juga terdengar kesal.

"Menurut ibu juga begitu. Trus gimana tanggapan ustadz?"

"Ustadz masih ngeyel terus sich... "

"Mungkin ustadz punya alasan lain. Gini aja, kamu cari buktinya, ada rumusnya kok termodinamika. Trus besok diskusi sama ustadz dilanjutkan lagi, oke..."


MEMPERTAHANKAN KEBENARAN YANG DIYAKINI

Peristiwa 'gugatan' Hanif terhadap sang guru tidak terjadi sekali saja. Suatu kali ia bercerita.

"Aku tadi diminta ustadz menuliskan reaksi dari fotosintesis. Tapi katanya malah salah, ada yang kurang."

"Apa katanya yang kurang?"

"Aku sudah nulis rumus kimianya  6CO2(g)  + 6H2O(aq) --> C6H12O6(s) + 6O2(g)  sama ustadz disalahkan soalnya nggak ada sinar mataharinya. Disuruh nambahin + sinar matahari. Padahal sinar matahari itu nggak ikut bereaksi buk"

"Oya,.." saya mengernyitkan dahi juga. Hmm, bukannya dari jaman SD saya dulu fotosintesis pasti ya sinar matahari. Tapi saya ingin tahu juga dengan alasan Hanif.
"Jadi menurut kamu gimana lo.."

"Gini buk, sinar matahari dalam fotosintesis itu berupa foton yang diserap sama kloroplas, tapi nggak ikut bereaksi. Dia cuma jadi seperti katalisator untuk mempercepat reaksi. Tahu nggak buk, sebenarnya pas malam hari tumbuhan juga masih berfotosintesis, tapi tidak secepat waktu siang hari."

Wow kernyit saya makin dalam. Hanif pun membuka laptopnya dan menjelajah internet. Beberapa artikel dari sumber-sumber terpercaya menguraikan detil fotosintesis plus reaksinya yang ternyata sangat rumit. Terus terang saya juga baru tahu, karena biologi tumbuhan bukan bidang saya sekarang.

"Oh, iya ya... bener juga katamu Hanif"

PENYAKIT SEORANG GURU (DAN ORANG TUA)

Pertanyaan saya selanjutnya adalah, apakah si ustadz telah mengkonfirmasikan jawaban Hanif sebelum menyalahkan dan membuatnya kecewa? Dari Hanif pula ada cerita bahwa telah terjadi perdebatan sengit antara ia dan ustadznya. Bukankah saya sudah tahu, si anak ini akan mempertahankan kebenaran yang dia yakini dengan sekuat tenaga?

Penyakit seorang guru adalah 'guru tidak pernah salah', 'murid harus menerima/menelan apa yang diberikan guru'. Wajar sih, sebuah egoisme orang dewasa yang tidak mau kalah pintar dari anak kecil. Bahkan pepatah Jawa menguatkan egoisme ini "Koyo kebo nusu gudel" alias seperti kerbau menyusu pada anak kerbau.

Sayangnya peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan itu sempat menorehkan luka dan menjatuhkan harga diri seorang Hanif di depan kelas. Dan biasanya di rumah, tugas saya adalah membuka kedua lengan saya dan memperbaiki luka-luka itu sekuat tenaga.

Dan sayangnya pula, hal itu juga termasuk penghargaan terhadap kekritisan anak untuk bertanya. Komentar seperti "Gitu aja di tanyain, masak nggak ngerti sih", atau menjawab "Ya, pokoknya begitu". Barangkali sangat jarang seorang guru (atau orang tua) menjawab, "Wah, ibu belum tahu sampai disitu ya. Coba kita sama-sama cari jawabannya. Atau mungkin kamu sudah pernah membaca jawabannya yang itu? Bisa dibagi sama ibu..."

Meski tidak bisa saya pungkiri juga, sebagai orang tua (dengan umur yang lebih tua) kadang terjangkit juga dengan penyakit egois itu.

"Hanif bukannya yang menyebabkan jarum kompas selalu menunjuk arah utara selatan itu karena jarum tertarik medan magnet bumi?" Suatu kali ketika saya membaca jawabannya di lembar soal pembinaan OSN.

"Lhooo nggak gitu buk, itu karena jarumnya juga mengandung magnet, jadi pakai prinsip tolak menolak dan tarik menarik kutub magnet"

"Ah, masak sih ya... setahu ibuk semua jarum bisa kan?" teringat pelajaran kompas ketika SD dulu.

"Aduuh, nggak semua jarum lah, besi nggak bisa, bla... bla...."

Dan kelanjutannya adalah saya terus mendebat dengan dasar ingatan masa kecil, dan Hanif terus bertahan dengan logikanya hingga hampir menangis mempertahankan jawabannya ketika saya masih saja belum bisa menerima. Saya memutuskan menjeda diskusi sampai si Ayah pulang.

Akhirnya di sore hari, saya memilih mengakui kebenarannya.
"Hanif, hehehe... ternyata kamu yang benar. Ibuk sudah tanya bapak. Memang nggak semua jarum. Medan magnet bumi sangat kecil, dan jarum yang dipakai adalah baja yang megandung medan magnet yang juga kecil. Ibuk pikir-pikir kalau semua bisa ditarik medan magnet bumi maka semua besi akan bergerak ke kutub ya... Oke... Toss dulu!"

"Nah, apa aku bilang.."

Dan saya tidak perlu merasa harga diri saya sebagai orang tua jatuh atau merasa seperti jadi kerbau. Bukankah saya bukan ahli segala sesuatu?


No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK