Tuesday, August 10, 2021

ANTOLOGI ANAK GIFTED

 HANIF, ANAK GIFTED KU


(Tulisan ini sudah diterbitkan dan menjadi bagian dari buku ANTOLOGI ANAK GIFTED, Penerbit GRASINDO, ISBN 978-602-251-701-6  Tahun 2014)


Bayi Yang ‘Pintar’

Menikah lalu punya anak semasa masih kuliah dokter muda di FK Unair Surabaya itu sungguh luar biasa bagiku. Apalagi selesai aqiqah umur 7 hari, ibu terpaksa harus pulang dan merawat nenek yang sakit. Jadilah aku mengurus sendiri bayi Hanif sekaligus mengurus rumah tangga tanpa bantuan seorang pun.

Kata tetangga Hanif bayi yang ‘pintar’. Artinya tidak rewel dan merepotkan. Jarang sekali terdengar tangisnya baik siang atau malam. Bayi Hanif hanya menangis kalau ada yang sakit, misal ketika imunisasi atau kulit halusnya sedikit lecet  karena ruam popok. Hanif tidak menangis ketika mengkomunikasikan laparnya. Hanif juga tidak menangis ketika popoknya basah. Alhasil, aku tidak pernah terbangun malam-malam karena tangisan berisik, tapi karena tangan atau kakinya menggapai-gapaiku tanda ia lapar atau basah. 

Ketika sendirian di boks, Hanif suka bermain-main. Kakinya menjejak-jejak, tangannya menggapai-gapai, dan terus bergerak-gerak,  tapi tidak mencari wajahku. Dia tetap nyaman walau sendirian. Apalagi saat tidur, Hanif bisa berjam-jam tanpa terganggu. Meskipun tetangga sebelah sedang memperbaiki rumah dan suara palu yang beradu kayu berisik banget, Hanif tetap tidur tenang. Entahlah, saat itu aku tidak pernah berfikir bahwa nantinya Hanif lebih suka sibuk sendiri dan cuek dengan sekitar. 


Sedikit Bicara Banyak Bekerja

Julukan itu diberikan keluarga besar kami. Menggambarkan seperti itulah Hanif. Bergerak kesana kemari tanpa kata-kata. 

Hanif tidak mau bicara. Seingatku, ketika umur 9 bulan ia pernah babling seperti ‘mamam’ atau ‘babap’ ketika aku minta menirukan panggilan ke bapaknya. Setelah itu aku tidak ingat lagi pernah mengucapkan kata yang berarti. Hanya ‘uh.. uh.. ah.. ah’ saja atau menjerit. 

Setiap kali punya keinginan, dia akan langsung berusaha sendiri. Tiba-tiba kudapati dia sudah menarik kursi, memanjatnya, dan berusaha menggapai-gapai benda yang dia inginkan. Tapi aku tidak tahu maksudnya benda yang mana? Semakin aku gusar, semakin dia putus asa pula. Aku tidak mengerti dan dia tidak bisa membuat aku mengerti. Kami sama-sama putus asa dan berujung dengan tantrumnya Hanif. Marah, menangis dan aku makin kesal. 

Karena sedikit bicara dan banyak bekerja itu pula beberapa kali Hanif hilang. Sebentar saja kami lengah ketika bertamu ke rumah kakak, Hanif hilang dari pandangan kami. Seisi rumah kebingungan mencari. Akhirnya Hanif ditemukan bapaknya sedang bermain air keran di mushola stasiun kereta  yang berjarak 150 meter dari rumah kakak. Padahal saat itu jadwal kereta datang dan banyak penumpang turun. Seandainya salah seorang penumpang membawanya masuk ke kereta, kemana lagi kami harus mencari?

Setiap ke tempat baru, kami tidak boleh lengah mengawasi Hanif. Bisa saja tiba-tiba dia lari menjauh. Jangan harap dia akan menoleh dan berhenti ketika dipanggil namanya. Dia akan terus bergerak sampai aku atau bapaknya berlari dan menangkapnya. 

Insiden hilang itu masih terjadi sampai Hanif umur 10 tahun. Ketika mobil sudah distart dan rumah sudah terkunci, Hanif ternyata sedang asyik ikut bakar-bakar sampah di gang sebelah. Sebentar saja ikut antri tantenya di penjual serabi, Hanif sudah tidak ada. Menangis lah si tante. Ternyata Hanif jalan sendiri pulang ke rumah hampir sekilo jauhnya. Ketika di mall, di alun-alun kota, di sekolah lain waktu ikut lomba, tak terhitung lagi dengan jari. 

Soal tidak menoleh ketika dipanggil namanya itu, ibuku pernah juga galau. “Coba periksakan ke dokter THT saja. Jangan-jangan telinganya ada kelainan.” 

Tapi aku yakin telinganya baik-baik saja. Meskipun tidak menoleh ketika kupanggil, Hanif kulihat berespon ketika mendengar hal menarik baginya. Seperti suara televisi atau suara mainan. Jadi aku tidak membawanya periksa, juga ke klinik tumbuh kembang.  Aku pernah melihat anak dengan autisme ketika stase di klinik tumbuh kembang, dan itu tidak sama persis dengan Hanif. Hanya bekal itulah keyakinanku untuk terus memberinya stimulasi. Mainan puzzle, balok, dan semua barang yang bisa diotak atik adalah favoritnya. 

Seringkali mainan-mainan itu dimainkan dengan tidak semestinya. Seringkali aku dibuatnya terkejut dengan caranya main. Ketika umur 2 tahun, balok itu tidak disusun seperti biasa tapi dijajar-jajarkan terpisah. Ternyata dia mengklasifikasikan berdasar warna. Sekitar umur 4 tahun, balok yang sesuai petunjuk gambar semestinya untuk bentuk rumah, dia buat semacam stasiun peluncuran roket lengkap dengan roket dan ruang pengendali. Belum termasuk imajinasinya tentang mobil RC dan lain-lain.




Saatnya Sekolah

Umur 2,8 tahun Hanif masuk playgroup saat dia bahkan belum bisa menyebutkan namanya sendiri atau memanggilku ibu. Kata pertamanya yang muncul di usia 2,5 tahun aku ingat banget. Saat itu sedang di rumah eyangnya dan dia begitu tertarik dengan ikan di akuarium. Saat itulah dia bisa menunjuk dan berkata ‘iwak’ yang artinya ikan. Betapa bahagianya aku dan juga eyangnya. Hanif akhirnya berbicara. Aku terus mengajaknya menirukan semua kata termasuk memanggilku ibu. Meskipun kata yang keluar malahan ‘tidu’. Aku selama ini sangat merindukan panggilannya. Bagiku itu bukti bahwa dia membutuhkanku. 

Hari pertama sekolah, ketika ibu-ibu lain sibuk dengan insiden rewelnya anak-anak, aku bengong sendiri. Hanif berkeliling halaman sekolah tanpa menolehku lagi. Aku meninggalkan sekolah dengan perasaan aneh saat sebagian ibu terpaksa harus menunggui dalam kelas. 

“Hanif suka berkeliling-keliling di kelas. Hanya sebentar saja terlibat di kelompok. Dia lebih suka mengambil mainan atau memandang ke luar jendela .” Laporan pertama yang kuterima dari guru. Juga beberapa insiden yang masih dianggap wajar seperti menggoyang-goyang rak mainan sampai ambruk atau main keran air hingga basah kuyup. 

Kulihat Hanif tidak berusaha berbicara dengan teman-temannya. Mungkin karena kosakatanya yang masih terbatas. Tapi dari situlah mulai muncul konflik dengan teman. Ketika Hanif ikut antri di papan seluncuran, seorang anak mendorongnya hingga hampir terjerembab. Hanif keluar dari antrian, berlari menjauh, mukanya merah padam, kemudian tiba-tiba membenturkan badannya ke tembok, menjatuhkan diri ke lantai dan menangis keras. 

“Sepertinya Hanif belum bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya secara baik bu.” Demikian yang disampaikan guru yang juga sedikit belajar psikologi anak-anak. 

Kejadian seperti itu bukan hanya sekali. Ketika Hanif melihat ‘penderitaan’ teman lain atau ketika menonton teve dengan adegan menyedihkan, misalnya kartun Hatchi si lebah yang mencari mamanya yang pergi, hati Hanif seperti ikut hancur. Dia ikut merasakan dengan menyakiti dirinya sendiri. Aku harus berusaha keras mencegahnya membenturkan kepala.  

Mulai berbicara kemudian mulai sekolah, perbendaharaan kata Hanif maju pesat. Dia jadi anak yang cerewet dan banyak bertanya. Aku mengajarinya segala macam nama benda, yang mungkin bagi anak lain seharusnya sejak umur satu tahun. Paling senang dia dapat brosur supermarket dengan gambar barang dan harga. Dia tunjuk dan bertanya “Apa ini?” , aku menjawab nama barangnya sambil menunjuk pada tulisannya. Aku tidak tahu, cara ini rupanya membuat dia bisa ‘membaca’ berdasarkan kelompok huruf bahkan mungkin bentuk font. Ketika melihat kelompok huruf yang sama atau bentuk tulisan yang sama di lain tempat, dia akan menyebutkan bahwa itu ‘Pepsodent’ atau ‘Susu SGM’. 

Pertanyaan ‘Apa ini?’ itu sering membuat aku kelelahan juga. Yang sangat efektif membuat dia bisa diam adalah ketika menonton teve seperti acara Dora The Explorer atau VCD sains Harun Yahya. Akibatnya saat tes masuk TK, dan dia masih belum mau menyebut namanya sendiri ketika ditanya, dia diminta menggambar di kertas kosong. Hanif mencoret-coret dengan pensilnya bentuk bulat-bulat spiral di seluruh area kertas hingga penuh. Hanya itu saja. 

Guru pun bertanya, “Gambar apa ini, nak?”

“Galaksi Bima Sakti”

Kesenangannya pada sains terus berlanjut ketika TK. Sejak mulai bisa membaca pada akhir TK A (dengan caranya sendiri belajar, tidak pernah menyelesaikan buku pelajaran membaca dari sekolah), Hanif tidak lagi membaca dengan keras apalagi mengeja. Ketika kenaikan TK B dan setiap anak menerima hadiah bingkisan dari orang tua masing-masing, hadiah dari kami bukan mainan seperti kebanyakan orang tua lain. Kami memberinya hadiah dua buah buku sains 100 fakta tentang alam semesta dan 100 fakta tentang bumi. Isinya padat, penuh gambar, hurufnya kecil-kecil dan penuh istilah sains. Tapi Hanif justru sangat senang dan membacanya berulang-ulang. Itulah buku sains pertamanya. 


Air Mataku Tumpah. Apa Salahku?

Sensitif, keras kepala, marah, itu adalah siklus yang biasa aku hadapi. Aku mengira seperti itulah sifat semua anak. Merayu, negosiasi kadang sedikit memaksa. Tapi kami berusaha tidak pernah menyakiti secara fisik. 

Seperti kehidupan bertetangga biasanya, aku juga mengajaknya keluar rumah untuk bermain. Meski secara fisik berbaur, tapi Hanif sepertinya berputar-putar sendiri. Ambil batu, menggoyang-goyang pohon, lari-lari, menatap rumput lama-lama atau naik gundukan pasir milik tetangga. Kalau dia belum mau pulang atau kegiatannya aku cegah, sifat keras kepalanya muncul. Sedikit aku paksa, marahnya jadi luar biasa. Berguling atau bahkan tidur di tengah jalan. Tidak jarang akhirnya aku atau si mbak asisten hanya menungguinya bermain sendiri sampai dia bosan dan mau diajak pulang. 

Ketika aku membelikannya sepeda kecil, ia ikut mengayuh sepeda sampai ujung gang bersama anak-anak lain. Anak-anak ramai saling berlomba, tapi di ujung gang Hanif biasanya temenung. Mengayuh lagi, termenung lagi. 

Aku tidak bisa melepaskannya tanpa pengawasan. Dia bisa saja tiba-tiba ngeloyor ke tempat lain atau melakukan hal-hal yang berbahaya atau ‘mengganggu’ properti tetangga. Bukankah cukup mengganggu kalau dia mengambil kayu kemudian memukul-mukul pagar tetangga tanpa maksud atau mengambili batu-batu hias yang ada di pot atau melempar-lempar pasir tetangga yang sedang renovasi rumah. 

Suatu sore ketika terpaksa kutinggalkan bersepeda sendiri, beberapa saat kemudian, Hanif pulang. Sepeda dilempar begitu saja di teras, langkahnya risau, mukanya murung dan marah-marah tidak jelas. 

Ketika kutanya kenapa, dia marah. Ketika ku cegah tindakannya, aku justru dimusuhinya. Bahkan mengatakan hal-hal seperti aku tidak pernah sayang padanya. Aku bingung dan terdiam. Ketika akhirnya ia mereda, aku tidak lagi bertanya kenapa. Aku hanya bertanya bagaimana kegiatan bersepedanya sore ini. Apa yang menyenangkan. Barulah Hanif bercerita, ia jatuh dan menjadi olok-olokan anak tetangga. Katanya sepedanya jelek, terlalu kecil, sepeda bayi, dan hal-hal semacam itu. Bullying pertama. 

Sampai usianya lebih besar, aku belum juga berani meninggalkannya tanpa pengawasan sama sekali. Kadang aku awasi dari jauh atau dari balik jendela rumah. Olok-olokan bahwa dia aneh ketika berputar-putar sendiri atau ketika sama sekali tidak bisa menendang bola atau tidak bisa mengikuti cara bermain anak-anak lain kemudian dia marah dan melempari anak-anak dengan batu, semakin menambah daftar bullying yang dialaminya. 

Aku juga ingin dia aktif berjama’ah di masjid. Tapi jika sering berakhir dengan marah, menendang kotak infaq hingga berantakan, akhirnya dimarahi pengurus masjid “Anak siapa ini?” kami pun sedikit banyak terhinggapi rasa malu. Dan label sebagai anak aneh, anak stress, anak nakal,  mungkin semakin kuat terpatri di pikiran anak-anak maupun tetangga lainnya. Terpaksa kami putuskan, Hanif dan adik-adiknya pergi ke masjid hanya jika bersama bapaknya. Makin lama keputusan makin ekstrim, Hanif tidak keluar rumah kecuali dengan pengawasan dan lebih baik main sendiri di rumah bersama adik-adiknya.

Semasa di TK, Hanif tidak mengalami kendala berarti. Waktu bermain dan eksplorasi yang cukup banyak dan guru-guru yang selalu menyediakan diri berkomunikasi dengan orang tua. (Sebenarnya TK itu adalah TK kedua Hanif setelah sebelumnya bersekolah di TK pertama selama sebulan saja. Di TK pertama, Hanif sering menolak berangkat. Saat itu saya masih belum bekerja dan sempat melihat pembelajaran langsung di sekolah. Ketika semua anak berbaris dan Hanif hanya berkeliling, kepala sekolah menyebut di forum bahwa anak yang tidak mau berbaris sebagai jari kelingking yang artinya jelek, sedangkan anak yang mau baris sebagai jari jempol yang artinya top. Setiap usai jam sekolah, aku menanyakan ke guru kelas bagaimana Hanif hari ini? Jawaban guru selalu “Oh, Hanif baik-baik saja, pinter kok”. Jawaban ini terasa aneh dan membuat aku bertanya-tanya, apakah anak-anak cukup diperhatikan di sekolah ini? Apalagi pernah aku pergoki Hanif keluar kelas dan membuang kertas tugas gambarnya dengan muka merah padam dan guru tidak tahu kejadian itu. Ketika Hanif makin sering mogok, aku memaksa bapaknya memindahkan Hanif di TK lain yang masih satu grup dengan Playgroup nya dulu. Di TK baru ini saat menjemput di hari pertama, guru kelas langsung bertanya padaku, “Apakah Hanif memang suka melamun, bu? Hari ini dia lebih banyak berkeliling atau melamun menatap ke luar jendela”. Aku tersenyum. Itu artinya Hanif diperhatikan)

Awal masuk SD Islam fullday, Hanif terlihat masih bersemangat. Ibadah dan hafalannya sejak TK makin banyak. Kecintaannya pada sains juga makin terwujud hingga aku coba-coba mengikutkannya di lomba Olimpiade Sains Kuark 2009 saat kelas dua. Ternyata hasilnya mengejutkan. Hanif lolos 100 peserta dengan nilai tertinggi se Indonesia untuk mengikuti final di Jakarta. Keberhasilannya ini menginspirasi teman-teman lain mengikuti olimpiade yang sama di tahun-tahun berikutnya.

Menginjak kelas 3 sepertinya Hanif mulai ‘bermasalah’. Kata-kata seperti bosan sekolah, sering meluncur dari mulutnya. Marah-marah di sekolah hingga memukul guru dan teman serta kebiasaannya berkeliling dan keluar kelas makin sering kudengar. 

“Eh, mbak. Aku kemarin pas pagi-pagi ke sekolah, aku lihat anak mbak lagi di halaman, main-main tiang bendera. Sendirian. Padahal yang lain lagi belajar di kelas lho” seorang teman sesama wali murid melaporkan padaku. 

“Ya, mbak. Aku sudah tahu. Ustadzahnya juga sudah ngerti kok” kataku. 

Lain lagi dengan laporan teman suami. “Pak, aku pernah lihat Hanif anak sampeyan di masjid sekolah. Dikerubungi banyak teman-temannya. Aku lihat dia bicara terus. Kayaknya tentang black hole, worm hole atau apa gitu. Teman-temannya pergi dia masih ngomong aja”.

“Ya, Hanif memang begitu, pak. Suka bercerita” kata suamiku. 

Awal kelas 4 adalah mulainya masa-masa menegangkan bagi aku dan suami. Sampai sejauh itu, kami masih bisa mengerti dan yakin masalah akan terlewati. Kami tidak terlalu mempermasalahkan nilai-nilai sekolah yang biasa-biasa saja, kecuali bidang yang dia suka. Kami juga tidak mempermasalahkan soal rangking atau remidi mata pelajaran. Syukurnya, tidak ada sistem rangking di sekolah ini. 

Tapi kesedihan akhirnya melanda kami juga. Hanif menolak sholat. Berbagai cara kami tempuh di rumah. Mengajak baik-baik ke masjid, kadang ia mau kadang juga tidak. Mengiming-imingi dengan sesuatu, yang biasanya berhasil pada adiknya, Hanif mengatakan itu suap namanya dan tidak akan berhasil untuknya. Bahkan sampai intimidasi dengan meninggalkannya sendiri di rumah.

Setiap saat nasihat baik dari aku maupun bapaknya selalu kami berikan. Kadang aku bercerita kisah-kisah, atau perjalanan hidup seseorang atau hikmah-hikmah dari semua yang pernah kami lewati masa kecil dulu. Aku tahu dia mendengar, tapi tak kunjung berubah nyata. Mungkin kita harus lebih bersabar, kata suamiku saat itu.

Ketika secara fisik Hanif makin besar dan pembangkangannya merembet ke hal-hal lain seperti tidak mau mengaji bahkan tidak mau berpuasa, memusuhi adik-adiknya, melawan segala jenis aturan di rumah seperti jadwal memakai komputer dan lain-lain, sungguh mempermainkan kesabaran kami.

Laporan insiden kemarahannya yang makin banyak dari sekolah, telepon wali murid lain yang merasa anaknya terganggu, tekanan lingkungan dan keluarga besar pada kami, sempat memporak porandakan kesabaran yang kami bangun. Nasihat dan doktrin dari kakeknya yang penceramah agama, dijawab dengan perlawanan yang menghentak dada kami. Seperti gugatan siapa tuhan, dimana bukti neraka, kenapa keimanan harus dibuktikan dengan sholat dan gugatan-gugatan sejenis itu.

Kami berlaku keras padanya. Bagian yang pada akhirnya kami sesali. Setiap kali dia melawan, setiap kali pula kami bertengkar. Semakin aku memaksa, semakin dia akan menolakku mentah-mentah, bahkan balik menyerang secara fisik. Ketika matanya tajam, mukanya merah padam dan kata-katanya yang keras, hatiku terasa nyeri. Aku nyaris tidak mengenalinya sebagai anakku. Dia seperti berubah sebagai orang lain. 

Air mataku tumpah. Ketika kami mendo’akan anak-anak saat berthawaf tahun 2007, kami tidak mengira ini yang akan kami hadapi. Aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, apa salahku. 

Apakah kami salah mendidik? Apakah kami salah mengasuh? Jangan-jangan ada rizqi kami yang belum bersih atau ibadah kami yang kurang baik?

Aku merunut kembali ke masa-masa kehamilannya. Sempat perdarahan dan terancam keguguran di usia kehamilan 10 minggu dan perdarahan kedua di usia 12 minggu, hasil USG menunjukkan salah satu bagian plasenta tumpul yang artinya sempat terlepas dari dinding rahim. 

Dalam kondisi hamil muda yang cukup berat dan muntah-muntah hebat, aku masuk bagian psikiatri. Seorang pasien wanita di ruang VIP RSJ Menur bahkan pernah memijiti dan menggosokku dengan minyak angin. Seorang wanita muda yang menurutku ramah dan sudah terkendali dengan obat-obat yang diminumnya. Dia ingat betul suami yang membuatnya terganggu jiwa. Diapun ingat ketika orangtuanya memasukkannya ke RS dan bagaimana tali-tali mengekang tangan dan kakinya dan suntikan yang menyakitkan katanya. Dia ingin punya anak, dan sempat mendo’akanku memiliki anak yang sehat dan pintar. Do’a seorang pasien jiwa. 

Saat kehamilanku makin besar, aku tetap meneruskan kuliah di Rumah Sakit. Belajar teori, jaga malam, jaga UGD dan ikut melakukan tindakan operasi. Beberapa kali tersendat saat hamil muda dan saat persalinan, pendidikan dokter mudaku molor satu tahun. 

Apakah mungkin kondisi-kondisi itu berpengaruh pada bayiku? Tidak doyan makan apa-apa sampai kehamilan 4 bulan, perdarahan, jangan-jangan sempat ada kuman yang masuk dari Rumah Sakit atau bahan kimia atau jangan-jangan karena aku pernah stase di RSJ? Apakah ini semua salahku?

Air mataku tumpah setiap kali menghadapi keras kepalanya Hanif. Air mataku tumpah setiap kali orang lain atau keluarga mempertanyakan, kadang lebih kudengar sebagai menyalahkan. Air mataku tumpah setiap kali aku mengadukan semua pada Tuhanku. Ya Allah, apa salah kami. 


Aku Bertanya dan Kutemukan Jawaban

Aku terus bertanya apa yang sesungguhnya terjadi pada anakku. Kenapa Hanif begitu keras kepala. Kenapa Hanif tidak seperti anak lain yang begitu manis dan penurut.  Ada apa dengan dia?

 Dalam rangkaian mencari jawaban, kami mengambil jalan konsultasi pada psikolog. Psikolog pertama yang kami datangi, atas rekomendasi sekolah dari lembaga psikologi di kota kecil kami. Jawaban yang kami dapat saat itu sudah cukup mengejutkan. Saat itu Hanif berusia 9 tahun. 

Meskipun hasil pemeriksaan IQ menunjukkan hanya 110, yang kata psikolog diminta mengabaikan karena dia tidak memiliki alat tes kecerdasan untuk seusia Hanif, tapi menurut beliau Hanif sangat cerdas. Hanif memiliki dualisme sifat yang sangat berbeda, sangat sensitif sekaligus sangat keras kepala. Jika berada dalam fase keras kepala, maka dia bisa melakukan perlawanan yang sangat hebat. Semakin ditekan maka dia akan semakin melawan. Seperti gaya aksi reaksi ketika kita mendorong tembok sekuat tenaga kita. Jadi ketika ingin memasukkan sesuatu pemahaman, maka kami harus masuk ketika dia berada pada fase sensitif. Perlawanan itu, masih menurut psikolog, karena ada kebutuhan ekspresinya yang belum terpenuhi. Kalimat terakhir yang membuat kami takjub adalah bahwa pendidikan yang memadai untuk Hanif belum ada di Indonesia. Adanya mungkin di negara-negara maju atau di Singapura. Aku menggosok-gosok telingaku. Singapura? Itu seperti mimpi di siang bolong bagi kondisi finansial keluarga kami. 

Meski kami mulai memahami tentang Hanif dan melakukan apa yang disarankan psikolog, tapi aku masih belum memiliki gambaran besar tentang Hanif. Kenapa masih juga kami tertatih-tatih menghadapinya. 

Browsing di internet, itu yang aku lakukan. Kebetulan aku juga sedang melanjutkan studi S2 di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan sering mendapatkan tugas karya tulis. Entah sudah berapa macam keyword yang aku masukkan di mesin pencari, suatu hari aku masuk di blog seseorang dengan nama Belanda tapi berbahasa Indonesia, Julia Maria Van Tiel. Mataku membelalak. Setiap kalimat yang aku telusuri seperti mencocokkan pertanyaan dan jawaban tentang Hanif. 

Anak Gifted. Sebuah istilah yang ketika aku kuliah di bagian neurologi dan psikiatri yang bersinggungan pula dengan ilmu psikologi, belum pernah aku dengar. Bahkan ketika belajar tentang tumbuh kembang anak. Apakah ini ilmu baru?

Menginjak umur 10 tahun, Hanif kembali menjalani pemeriksaan psikologi atas inisiatifku sendiri. Aku membawanya ke fasilitas yang lebih baik. Unit Pelayanan Psikologi Universitas Airlangga Surabaya dan bertemu dengan ibu Dr. Hamidah, M.Si. 

Ibu psikolog yang lembut dan keibuan ini bertanya tentang masalah Hanif. Sebelum aku menjelaskan, aku meminta ijin Hanif, “Hanif, boleh ibu menceritakan semua ke bu Hamidah?”

“Yah nggak apa-apa, terserah.” 

Ketika aku mulai menceritakan tentang dirinya, Hanif menutup kedua telinganya kemudian merosot ke bawah meja. Dia sembunyi dan merangkak ke kolong meja dan kolong kursi. Bagiku perilaku seperti itu biasa dia lakukan di rumah ketika ingin lari dari kenyataan yang dia tidak suka. 

Tapi bagi bu Hamidah rupanya itu cukup menarik. “Kok sepertinya gifted, ya.” Bu Hamidah terus memperhatikan Hanif dengan seksama.

Aku tergagap, “Sepertinya begitu yang saya baca, bu” kataku.

“Apa indigo juga?”

Menurutku sepertinya tidak. Tapi Hanif sering juga sih tiba-tiba menjerit atau berteriak ketakutan ketika sendirian di kamar mandi atau tiduran di kamarnya. Katanya tiba-tiba dia berfikir bahwa air di kamar mandi mengandung kuman yang kalau dipakainya kumur pasti tak sengaja tertelan dan akan berkembang biak di seluruh tubuhnya. Itu membuatnya ketakutan menyentuh air.

Atau pikirannya tiba-tiba merasa sangat kecil sebagai manusia diantara jutaan galaksi. Bumi sangat rentan dengan kehancuran. Bagaimana kalau tiba-tiba sebuah meteor nyelonong jatuh atau lintasan komet yang berubah arah dan sebagainya. Aduh, pikiran yang lebay menurut kami. Tapi begitulah, dia sungguh serius ketakutan. 

Hasil pemeriksaan menunjukkan total skor IQ 123 dimana pada satu tes bisa mencapai 134. Ini sangat menakjubkan bagi kami. Pada tes yang dilakukan tahun 2013 ketika Hanif berumur 12 tahun, skor IQ nya mencapai 144.

Tapi ada kenyataan lain bahwa kepercayaan dirinya jatuh merosot pada level terendah. Situasi yang dapat membahayakan karena rasa putus asanya itu. Dan satu hal yang sungguh mencengangkan. Ketika bu Hamidah menggali perasaan Hanif dengan kelembutan khas seorang psikolog, muka Hanif yang mendung dan matanya berkedip-kedip cepat seperti menahan sesuatu dalam dadanya yang membuncah. 

Kurang lebih seperti inilah cerita yang terungkap. Saat akhir Hanif kelas tiga dan seperti biasa mengikuti kegiatan sholat berjama’ah di masjid sekolah, namanya tercatat oleh kakak kelas yang menjadi anggota TPDS (Tim Penegak Disiplin Sekolah) sebagai sebuah pelanggaran. TPDS adalah tim yang dibentuk oleh sekolah dengan merekrut anak-anak yang dianggap kompeten dan pintar sebagai wakil guru. Tugasnya mencatat dan melaporkan pelanggaran kedisiplinan murid-murid lain misalnya pelanggaran kebersihan, kerapian atau kedisiplinan ketika melaksanakan sholat berjama’ah. Jadi semacam polisi atau pengawas, bahkan mungkin mata-mata guru. 

Nama Hanif kemudian diumumkan di pengeras suara masjid sebagai pelanggar dan diharuskan menghadap ke kantor untuk mendapatkan tugas atau peringatan. Kejadian itu rupanya menyulut kemarahan Hanif. Bagi anak lain mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi bagi Hanif, menurut bu Hamidah, sungguh menghantam harga dirinya. Merasa disalahkan dan dipermalukan di depan umum, sementara dia adalah anak yang selalu berpikir logis. Tidak ada jalan untuk mengungkapkan alasan dan tidak tahu dimana letak kesalahannya membuat Hanif memilih melawan. Bahkan untuk seluruh peraturan di sekolah, Hanif lebih banyak tidak mengindahkan. Ketika ada hukuman sholat dhuha atau membaca Qur’an bagi yang terlambat masuk sekolah, Hanif menggugat keras, kenapa ibadah digunakan sebagai hukuman? 

Melihat seluruh kenyataan Hanif, aku dan suamiku mengubah sikap. Kami lebih banyak belajar tentang karakter anak gifted dan masalah yang mereka hadapi. Kami berusaha mengerti dan kami menerima Hanif apa adanya. Memandang lebih banyak pada potensinya yang besar sambil membimbing kekurangan yang dia punya. 

Beberapa kali kami ke sekolah berusaha menjelaskan dan menjelaskan meskipun soal TPDS sebagai sistem sekolah, kami tidak punya kekuatan berarti. Masih terasa pilu di hatiku ketika bu Hamidah berharap Hanif menangis keras dan mengeluarkan seluruh perasaannya yang tertahan. Kedisiplinan ibadah yang ditegakkan dengan ancaman, menyisakan luka yang bertahun-tahun kemudian masih sulit kami pulihkan. 


Dia Bisa Berprestasi

Hanif memang tidak serta merta berubah, tapi sebenarnya kami lah yang berubah. Penerimaan kami, cara pandang kami, pendekatan kami dan tentu saja energi kesabaran kami yang terus saling menguatkan. Ketika aku menangis, selalu tersedia dada suamiku untuk bersandar. Ketika suamiku letih, kuceritakan kisah anak lain yang kudapat dari forum orang tua anak gifted dan meyakinkan padanya bahwa kita tidak sendiri. Ketika kami berdua hampir jatuh, kami memilih tersungkur mengadu kepada Tuhan kami. 

Tidak serta merta pula masalah itu hilang, hanya menimbulkan lebih besar keberanian pada kami menghadapinya. Sepanjang kelas 5, lebih sering Hanif mogok sekolah. Alasannya bosan, tidak menyenangkan atau tidak merasa dihargai. Selain menghadap ke sekolah, kami menyuntikkan motivasi dan semangat padanya. Dia harus bisa bertahan. 

Apalagi ketika menghadapi bullying. Julukan autis, babon dan semacamnya, kami memilih menegarkan hatinya. Dia samasekali bukan autis, dan orang yang mengolok samasekali tidak mengetahui apa itu autis. Jadi kenapa harus mempedulikan?

Pada mata pelajaran yang tidak dia kuasai, kadang aku memilih cara yang instan. Aku tidak bisa berharap Hanif akan belajar dengan membuka buku atau berlatih soal, jadilah aku berdeklamasi tentang materi pelajaran yang harus dia ketahui untuk bisa menjawab soal ulangan esok hari. Mendengar apa yang aku jejalkan, kadang dia bertanya, “Setelah ulangan boleh aku lupakan, bu?”. Aku jawab ya sudah lupakan saja, daripada memenuhi otakmu. 

Meskipun lemah pada banyak bidang, kecintaannya pada sains terus kami beri ruang. Diskusi setiap saat, bahan bacaan yang berlimpah dan kesempatan mengikuti kompetisi. Olimpiade Sains Kuark yang dibina oleh Prof. Yohanes Surya dan sudah diikutinya sejak kelas 2, mengantarkannya menjadi finalis pada tahun 2009, 2011, 2012 dan 2013. Dua kali Bronze Medal disabetnya di tahun 2011 dan 2013. 


Aku Masih Berjuang

Perkenalanku dengan  anak gifted dan orang tua-orang tua lain yang memiliki masalah sama, membuat aku makin percaya diri. Dulu ada sebersit rasa malu dan merasa tidak perlu menceritakan masalah Hanif. Tapi saat ini aku lebih terbuka mengatakan pada sekolah, teman dan pihak manapun bahwa inilah anakku. Dia anak gifted. Dia memiliki potensi tinggi sekaligus memiliki kekurangan. Terimalah dia apa adanya. Pandanglah potensinya, dan bantulah kami mengatasi kekurangannya. 

Sebelum masuk SMP berasrama di Malang, selama berbulan-bulan kami melakukan pendekatan pada kepala sekolah dan kepala asrama. Aku menceritakan segala hal tentang kondisi Hanif. Memang tidak mudah, karena persepsi pertama orang selalu mengarah kepada anak autis. Istilah anak gifted belum banyak tersosialisasi di masyarakat. 

Aku tidak berharap muluk-muluk pada sekolahnya. Aku hanya berharap mereka  menerima dan mau mengerti Hanif apa adanya sekaligus memberinya ruang untuk kemampuannya. Aku tidak memaksakan Hanif masuk ke sekolah favorit yang mahal dan berkelas apalagi memiliki program akselerasi. Sekolah-sekolah seperti itu, yang kebanyakan memandang anak hanya dari segi akademis, aku khawatirkan hanya  akan memandang Hanif sebagai anak bermasalah. 

Meski belum sepenuhnya lepas dari masalahnya, Hanif aku pandang jauh lebih baik perilaku dan emosinya. Dia sudah tumbuh menjadi remaja dan sedang mempersiapkan diri menjadi tim robotik di sekolah. Keterbukaan dan optimisme kepala sekolah dan pembina sekolah, serta pendampingan dari ibu Dra. Iswinarti, M.Si, seorang psikolog dari Universitas Muhammadiyah Malang yang mendalami tentang anak gifted membuatku semakin yakin bahwa Hanif akan berhasil melewati hari-harinya menuju kesuksesan. 

Perjuanganku memang belum usai, tapi aku menjadi lebih kuat. Setidaknya lebih siap ketika hasil pemeriksaan psikologi kedua adik Hanif memiliki potensi yang sama dengan masalah yang berbeda. Psikolog menyalamiku dengan hangat, “Selamat untuk bapak dan ibu. Anda berdua dipercaya mengasuh anak-anak dengan potensi yang tinggi. Tidak semua orang tua mendapatkan karunia ini.” 



(Diselesaikan di Gresik pada tanggal 31 Desember 2013 pukul 23.57 WIB)

 



No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK