Monday, April 25, 2011

Ternyata Menabung Itu Kebiasaan Jelek!


"Ternyata menabung itu kebiasaan jelek."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Mas.
Aku gosok-gosok telingaku, mungkin aku salah dengar atau kalimatnya belum lengkap. Aku menatap kedua matanya menunggu sesuatu.

Mas mengusap pipiku lembut seakan mengerti pancaran mataku yang tak mengerti.
"Iya, ternyata menabung itu kebiasaan jelek!" Ia kembali mengulang dengan sebuah penegasan.

Hmm, bukannya falsafah menabung sudah mendarah daging semenjak kecil? Bahkan pepatah 'Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit' jadi ajaran baku di Sekolah Dasar?
Gendang telingaku pun masih jelas merekam suara Titik Puspa, artis senior dengan lagunya yang menasional

Bing Bang Bang yuk kita ke Bank
Bang Bing Bung yuk kita nabung
Tang Ting Tung hei jangan dihitung...
Tahu-tahu kita nanti dapat untung...

Sederet celengan ayam, celengan bumbung bambu, dan kawan-kawannya mungkin ikut protes lewat mataku.

Seakan memahami air mukaku, Mas merengkuh tanganku dan membawanya ke dada, ikut merasakan kenangan masa kecil lewat matanya yang menerawang.

"Mas dulu punya banyak sekali celengan. Mas termasuk anak yang paling rajin menabung."
Mas tersenyum, mungkin terbayang celengan bambu dengan celah kecil untuk memasukkan uang. Kalau sudah penuh, maka membukanya harus dengan menggergaji salah satu ujungnya. Celengan buatannya sendiri bersama sang ayah.

"Setiap kali penuh satu celengan, Mas akan membawanya ke Kantor Pos. Sejak SD Mas sudah punya buku Tabanas sendiri, bahkan saat itu Mas harus jinjit ketika di loket."

Kini aku yang tersenyum. Aku pernah punya buku Tabanas sendiri, warna coklat dengan gambar celengan di depannya. Sungguh sebuah prestasi tersendiri.

Belum ada komputer saat itu, jadilah jumlah tabungan dan saldonya ditulis tangan dan dibubuhi stempel Kantor Pos. Seingatku hanya beberapa kali menabung, selanjutnya celengan-celenganku di rumah tidak pernah menunggu penuh. Isi perutnya harus keluar kalau ibu atau bapak memerlukan uang.

"Tahu nggak, suatu hari tabungan Mas jumlahnya bahkan cukup untuk membeli sebidang sawah. Saat itu Mas masih di Tsanawiyah." Aku terkejut sekaligus kagum, membandingkan dengan nasib tabungan dan celenganku.

"Kebiasaan menabung terus berlanjut sampai Mas kuliah, dan bahkan sampai kita menikah"
Yaaa, aku ingat itu. Bukan hanya satu nomor rekening, tapi beberapa rekening di lebih dari satu Bank.

"Tapi Mas baru menyadari sekarang, ternyata kebiasaan menabung Mas itu berakibat jelek."
Aku ternganga. Nah ini dia, aku ingin tahu apa maksudnya.

"Kebiasaan menabung dan memperbanyak tabungan itu sepertinya membuat Mas jadi pelit. Sangat berat untuk mengeluarkan uang, kecuali zakat tentunya."

Hmm, untuk zakat memang sudah biasa disisihkan sejak awal menerima uang. Sudah dianggap bukan milik kami lagi. Tapi tak urung aku teringat juga dengan sekian proposalku yang teronggok tanpa realisasi. Renovasi dapur, perbaikan pintu kasa, beli peralatan dapur, mengganti beberapa perabot kurang layak. Waktu beli rumah dulu, kami musti mengganti lokasi yang lebih mungil karena Mas menganggap terlalu berlebihan dengan tipe rumah besar yang aku pilih. Padahal aku tahu, uang kami lebih dari cukup untuk membayar DP nya.

Soal proposal yang sulit terealisasi, belakangan aku lebih pintar. Aku pakai sistem klaim alias minta ganti karena aku 'tombokin' dulu. Dulu aku pikir jangan-jangan memang aku terlampau boros, tapi kini Mas menyadari dirinya pun terlalu pelit.

"Mas baru sadar sekarang, ketika bekerja dengan usaha sendiri. Betapa berat mengeluarkan uang untuk investasi usaha. Jadi kurang berani mengambil resiko. Masih takut kekurangan uang, padahal toh uang itu berputar dan menghasilkan keuntungan."

"Dan satu lagi yang Mas rasakan. Hanya menabung terus tanpa sebuah tujuan. Kalaupun ada, itu hanya tujuan abstrak yang mendorong untuk terus menumpuk-numpuk harta."

Oke, aku setuju dengan itu. Dorongan menabung seringkali hanya untuk 'persiapan' masa depan, berjaga-jaga 'kalau-kalau' ada kebutuhan. Bahkan mungkin terselip pula rasa takut 'jangan-jangan' nanti tidak punya uang, tidak bisa makan, tidak bisa bayar sekolah, dan lain-lain.

Bukankah Islam pun melarang ummatnya menumpuk harta? Dan mendorong untuk menginvestasikan, memutar, dan mendorong putaran roda perekonomian?

"Mas punya sebuah ide untuk kita dan anak-anak."

Apa itu? Aku menunggu...

"Kita tetap harus menabung, tapi kita harus merubah cara kita menabung. Kita hanya menabung jika kita punya rencana besar dan tujuan yang jelas. Misalnya menabung sampai cukup untuk biaya umroh atau anak-anak menabung sampai cukup membeli mikroskop. Kalau sudah terwujud, kita menabung lagi untuk sebuah tujuan jelas lainnya."

Ya, sebuah gagasan menarik. Selama ini anak-anak hanya aku belikan celengan begitu saja. Dan mereka pun menabung begitu saja, tanpa sebuah motivasi dan tujuan yang nyata. Menabung Untuk Sebuah Tujuan Nyata! Sungguh gagasan yang menarik.

"Nah, kalau ada keperluan, kita tidak perlu menyesal harus mengeluarkan uang. Tidak perlu takut memutar uang dalam usaha kita. Tidak ada gunanya menahan-nahan uang, toh bila bukan lagi milik kita, ia akan keluar juga dengan berbagai cara."

Aku mengangguk setuju. Mas pun merengkuh tanganku makin erat.

No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK