Friday, July 16, 2010

Istriku, Aku Mencintaimu. Tapi ....


Hidup terpisah dengan suami di awal pernikahan terpaksa harus dijalani. Suami bekerja di ibukota sementara aku masih harus menyelesaikan kuliah di Surabaya. Itulah resiko mahasiswa menikah di semester 6, padahal masih separuh lagi yang harus diselesaikan.

Bertemu suami pun akhirnya harus diatur agar budget tidak menggelembung. Bersyukur sekali kalau bisa bertemu dua minggu sekali, kadang-kadang malah bisa sebulan baru bertemu. Tapi pada waktu-waktu liburan kuliah yang panjang bisa menjadi nikmat tersendiri.

Soal kangen? sudah pasti dong. Apalagi kan masih terhitung pengantin baru.

Suatu kali sesuai jadwal kepulangan yang telah disepakati, suami tidak langsung menuju rumah kontrakan kami. Tapi lebih dulu pulang ke rumah ibunya (mertua ), dan baru sore harinya bertemu di rumah mungil kami. Praktis waktu bertemu harus berkurang seharian.

Nah, ceritanya nih, aku jadi istri yang lagi cemburu. Wajah sebel sudah terpasang ketika sebuah pertanyaan meluncur dari bibir suami,

"Kenapa sih, ada apa?"

"Mas nggak langsung pulang ke Surabaya, nggak kangen sama aku ya." Setengah merajuk.

Suami tersenyum, menyentuhkan jari jemarinya ke pipiku yang menghangat.

"Dik, kalau aku kangen sama istriku itu sudah pasti. Dan tidak perlu diragukan lagi."

Sembari mengangkat daguku, ia pun tersenyum lagi.

"Tapi, adik kan tahu, Ibu sekarang tinggal sendiri. Sudah tidak ada Bapak yang dulu mencintainya. Sementara anak-anaknya semua sudah berkeluarga. Kalau bukan anaknya yang merindukan dan menyisihkan cinta untuknya, maka siapa lagi yang akan merindukan Ibu?"

Aku terdiam mencerna kata-katanya.

"Dan lagi, sebagai seorang anak laki-laki maka kepatuhannya pada seorang Ibu haruslah lebih besar. Kalau kita nanti punya anak laki-laki, aku akan selalu menanamkan pada mereka untuk senantiasa mencintai dan mematuhi ibunya."

"Bukankah adik tidak ingin punya suami yang durhaka karena terlalu mencintai istrinya?"

Aku menggeleng lemah.

"Bukankah aku pernah bercerita tentang saat kelahiranku yang sulit. Ketika ibu sudah memucat dan harus berjuang melahirkanku di tangan dokter kandungan yang hampir-hampir membawa nyawa beliau."

Aku tahu, ketika bersalin di dukun masih marak, suamiku sudah harus forcep ekstraksi oleh Spesialis Obsgyn
Aku merenung. Berkali-kali aku telah melihat yang seperti itu ketika sedang stase di VK Bersalin, hanya saja ketika itu aku belum sepenuhnya memahami arti 'melahirkan'.

Suamiku memandang jauh ke dalam mataku, disibakkannya anak rambutku yang tergerai manja.

"Sayang, kalau saja ibu tidak rela berjuang, maka aku tidak akan hidup dan tidak akan menjadi suamimu. Sebaliknya, akupun berterima kasih kepada ibumu yang telah melahirkan dan mendidik engkau sehingga aku mendapatkan istri sepertimu."

Diraihnya jemari tanganku dan dibawanya ke dalam dadanya. Ada perasaan hangat yang mengalir begitu saja.

"Istriku, aku mencintaimu. Tapi relakanlah aku tetap berbakti kepada ibuku. Maukah engkau ...?"

"Ya, tentu saja." Aku tersenyum ketika sebuah kecupan membawa terbang gundah yang kemudian menghilang entah kemana.

Ya, setiap ibu juga punya hak atas anak-anaknya. Kenyataannya suamiku tak sedikitpun mengurangi hakku sebagai seorang istri. Cintanya pun berlimpah dan tak pernah berhenti mengalir dalam setiap detik kehidupan kami.

Ibunya dan ibuku tidak pernah menuntut terlampau banyak. Melihat kami berkunjung, melihat kami tersenyum bahagia, dan kami mendengarkan kata-kata beliau, menjadikan kelembutan seorang ibu terpancar demikian kuat. Sungguh, tidak ada lagi alasan merampas cinta seorang suami hanya untuk istri seorang diri.

Subhanallah, ternyata ketiga anak yang kemudian kulahirkan semuanya laki-laki. Dan suamiku pun memenuhi janjinya untuk mendidik anak-anaknya.

No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK