Tuesday, September 30, 2014

Anakku Gifted: Akhirnya Homeschooling (bag. 1)

Enam bulan, ya, tepat enam bulan kulepaskan Hanif di sekolah pesantren. Meskipun pada sesi konsultasi terakhir dengan psikolog tidak disarankan, toh saat itu dengan berbagai pertimbangan, sedikit tekanan dan satu tahun persiapan dan pencarian, kami pun memutuskan.

"Yang muridnya tidak banyak biar Hanif diperhatikan, yang pengasuhnya penuh kasih sayang, yang peraturannya tidak terlalu ketat, yang boleh dikunjungi sewaktu-waktu, yang aku bisa melihat langsung suasananya termasuk kamarnya..." sederet syarat yang aku utarakan ke suami.

"Oya, aku ingin pastikan aku bisa bercerita kondisi Hanif pada kepala sekolah dan kepala asrama sebelum daftar. Bila perlu aku berikan buku-buku, hasil pemeriksaan dan lain-lain." Dan semua itu benar-benar aku lakukan.

Nyatanya enam bulan, ya, tepat enam bulan, keputusan itu menjelma sebuah 'kesalahan'. Hanif ku tidak kukenali lagi. Aku kehilangan sebuah ciri khasnya yang luar biasa. ANTUSIASME.

Tidak lagi tertarik dan meledak-meledak ketika aku membahas tentang kimia organik misalnya, atau tertarik berdiskusi tentang fenomena sosial, peristiwa alam, kondisi umat Islam bahkan tentang perpolitikan.
Ketika aku kemudian lebih sibuk bertanya tentang bagaimana situasi sekolah, keseharian, guru dan teman, hanya beberapa jawaban pendek berulang.

'Nggak apa-apa, aku nggak apa-apa'
'Nggak usah lah'
'Nggak tahu'
'Biasa aja'
'Aku baik-baik saja'

Gambaran tentang situasi sekolahnya pun menjadi gelap meskipun aku selalu meyakinkan diri bahwa dia sedang 'baik-baik saja'.

Hingga sebuah telepon dari kepala sekolah menguatkan insting seorang ibu bahwa sesungguhnya dia tidak sedang 'baik-baik saja'. Diskusi dengan pihak sekolah berujung pada sesi konseling kembali dengan psikolog. Hasilnya pun meretakkan hatiku.

Sesungguhnya dia sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Akumulasi berbulan-bulan tentang rasa tertekan, bosan, kemampuan yang tidak tersalurkan, tidak merasa dihargai, teman dan guru yang tidak tahu harus bagaimana bisa memahaminya yang kemudian bermuara pada peristiwa-peristiwa yang sayangnya menjadikan dia berlabel sebagai 'Anak Bermasalah'.

'Tidak mau mengerjakan tugas Bahasa Indonesia'
'Selalu tidur di kelas'

'Melempar sepatu ke jendela hingga kacanya pecah'
'Tidak mau mengikuti pelajaran olahraga'
'Mengganggu anak-anak perempuan'
dan sederet keluhan yang bertubi-tubi ditudingkan guru kepada kami.

Pendekatan satu tahun sebelumnya dengan kepala sekolah untuk menyamakan persepsi dan visi tidak menjadikan otomatis kebijakan sekolah dan pemahaman guru menjadi ramah untuknya. Terlebih orang tua wali murid yang lain. Ancaman gelombang protes karena anaknya merasa 'terganggu' kenyamanan mereka belajar, makin membulatkan tekad kami mengambil keputusan yang luar biasa berat. Berhenti belajar di sekolah!

HOMESCHOOLING

Tidak pernah membayangkan ketika aku membaca cerita temanku yang meng-homeschooling-kan anaknya, ternyata aku harus melakukannya juga. Opsi ini menurut kami adalah jalan terbaik ketika psikolog tempat kami konsultasi hanya memberi tiga pilihan: sekolah khusus, sekolah alam yang kegiatannya lebih bervariasi untuk mencegah kebosanan dengan catatan tidak pula menjamin dia akan tidak bermasalah, dan homeschooling.

Sekolah khusus tidak terjangkau baik akses maupun biaya bagi kami. Bahkan bisa jadi belum ada yang benar-benar ideal di negara ini. Sekolah dengan kelas akselerasi, tidak pula direkomendasikan oleh psikolog kami. Selain citra 'eksklusif'nya yang pasti akan membenturkan kami di prosedur awal, kelas akselerasi lebih cocok untuk anak dengan ketekunan belajar yang tinggi. Gifted tipe ke-6.

Satu-satunya sekolah alam yang kami datangi, memiliki tim psikologi. Sayangnya menurut catatan, sekolah itu belum pernah menerima anak dengan kategori  highly gifted seperti tercantum dalam hasil pemeriksaan yang selalu kami bawa. Mereka bersedia menerima Hanif dengan janji "Kami nanti akan pantau perkembangannya". Sebuah janji yang belum memberi keyakinan kepada kami bahwa Hanif akan tertangani dengan baik, sementara biaya yang harus kami keluarkan akan sangat tinggi dan tempatnya yang sangat jauh dari rumah kami.

Melangkah menuju homeschooling. Sebuah pilihan yang pasti akan membuatku sibuk menjawab pertanyaan dari keluarga, kerabat, tetangga dan teman. "Kenapa Hanif tidak sekolah?"
Hai hai, aku sudah mempersiapkan jawabannya.

"Sekolah dong, namanya homeschooling. Sekarang ini banyak artis, atlet dan anak berbakat musik yang menjalani homeschooling karena fokus berprestasi pada bidangnya itu. Dapat ijazah juga kok nantinya. Bisa untuk daftar kuliah juga. " Sembari aku sebutkan nama lembaga homeschooling milik seorang psikolog anak terkenal di Jakarta tempat aku berafiliasi. Kredibilitas, itu yang kami beli di lembaga ini. Nyatanya para penanya kemudian tidak menggugat lebih jauh pilihan kami.

3 comments:

  1. Umi...maaf sebelumnya. Saya bole tanya2 lebih dalam tentang hanif? Kebetulan putra saya mengalami hal yg hampir menyerupai putra umi. Terima kasih sebelumnya

    ReplyDelete
  2. Umi...maaf sebelumnya. Saya bole tanya2 lebih dalam tentang hanif? Kebetulan putra saya mengalami hal yg hampir menyerupai putra umi. Terima kasih sebelumnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ibu maaf, lama saya tdk update blog. Bisa add FB saya : Anik Luthfiyah

      Delete

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK