Sunday, August 29, 2021

Gifted dan Sekolah. Bagian 2 : Sebuah Jawaban

 Aku menekan nomor ponsel psikolog di salah satu fakultas Psikologi Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Beliau yang mendiagnosis ke-Gifted-an Hanif. Beliau yang meyakinkanku.

Suara halus lembut Bu Hamidah (Alfatihah. Beliau menjadi salah satu korban pandemi covid-19 di Bulan Juli  tahun 2021) menyirami kegelisahanku. Aku menceritakan sekilas tentang Hanif. Sembari menahan tangis yang tercekat.

"Kira-kira apa yang terjadi dengan anak saya, bu?"

"Menurut saya, itu karena dia mengalami kebosanan."

"Bosan? Apakah karena kegiatan sekolah tidak menarik untuknya?"

"Ya, bu. Betul. Seorang anak gifted adalah anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan tinggi, memiliki daya kreativitas yang tinggi dan komitmen yang tinggi terhadap tugas."

The Three Ring Conception of Giftedness by Joseph Renzulli. Sebuah konsepsi dasar mengidentifikasi keberbakatan. Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa. 

"Anak Gifted memerlukan kegiatan yang lebih bervariatif dan menantang untuk mengeksplorasi seluruh kemampuannya. Itulah mengapa dia mudah bosan jika mengikuti cara belajar anak biasa. Kecepatan belajarnya membutuhkan asupan yang lebih dari pembelajaran biasa."

 "Dia suka tertidur di kelas."

"Iya bu, karena dia sudah tahu lebih dulu pelajaran yang disampaikan. Apalagi jika itu hanya bersifat pengulangan. "

"Atau tidak tertarik?"

"Seperti itu juga. Kalau tidak salah, Hanif suka dengan sains dan tekhnologi ya bu?"

"Betul. Dia sangat betah mengotak-atik komputernya. Selama di asrama, laptopnya hanya boleh dipakai hari Minggu"

"Nah, itu juga menjadi salah satu masalah. Dia sangat tertarik dengan komputer. Kalau mengotak- atik komputer menjadi kebutuhannya, maka apa yang bisa terjadi kalau kebutuhannya tidak terpenuhi?"

"Seperti orang yang kehausan." Aku mendesah.  

"Dia tidak mau mengerjakan tugas, bu" tambahku.

"Ya, karena cara belajarnya memang berbeda. Perlu diberi tugas yang lebih membuatnya tertantang." 

"Okh. Benar, bu. Tugas membuat rangkuman katanya sulit. Menurutnya semua terasa penting dan tidak bisa dipilih mana yang paling penting untuk ditulis. Juga tugas-tugas lain yang baginya gak berguna."

"Ya bu. Itulah tantangannya mendidik anak gifted. Lompatan berpikir yang jauh di atas teman sebayanya kadang membuat ia kesulitan di sekolah. Ada beberapa cara yang mungkin bisa sebagai solusi. Sekolah memberikan pengayaan pelajaran yang lebih tinggi atau mungkin ada kegiatan ekstrakurikuler yang bervariasi dan sesuai dengan minatnya."

"Ada rencana sekolah mendatangkan guru robotik, bu." Aku mengingat dialog ku dengan kepala sekolah. Ada rencana, tapi belum terlaksana. Antara lain karena peminatnya mungkin baru Hanif saja. 

"Nah, saya kira itu bisa dicoba."

Aku menerawang kembali. Sejam yang lalu aku ditunjukkan rapor bulanan Hanif. Kolom-kolom nilai yang kosong. Rangking 29 dari 30 siswa. 

Tergelitik dengan nilai salah satu mata pelajaran. Komputer. Nilai yang tercantum hanya 60, jauh di bawah nilai ketuntasan minimal. Bagaimana bisa seorang anak yang sejak usia 2,5 tahun sudah berkutat dengan komputer dan bahkan kelas lima SD sudah belajar pemrograman secara otodidak, hanya mendapatkan nilai bawah?

Aku susuri bagian materi tes tulis yang diambil untuk nilai rapor: Prosedur menyala matikan CPU, Pengertian Hardware, Pengertian Software, dan sebagainya. Aku tersenyum kecut. 

Benar kata bu Hamidah. Terlalu mudah. Untuk apa dikerjakan? Coba minta Hanif bercerita tentang sejarah komputer dan bahasa pemrograman yang dia ketahui. Coba minta Hanif langsung mendemokan program yang sudah ia buat. Mungkin pengetahuannya malah akan melebihi guru komputernya. Seperti ayahnya yang pernah mengakui kalah. 

"Jadi apa yang harus kami lakukan sekarang."

"Coba saya bantu menghubungi kawan psikolog di universitas setempat." Bu Hamidah menyebut sebuah universitas swasta ternama di kota dingin itu. "Beliau concern di anak gifted. Beliau saat ini tengah menyelesaikan doktoral. Mungkin bisa membantu mendalami lagi kondisi Hanif saat ini."

Setetes air dingin membasahi hatiku. Baiklah, kita mulai lagi sesi-sesi konseling. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa menjadi cermin yang mengambarkan kondisi Hanif secara utuh. Aku tidak bisa menjelaskan kepada orang lain dengan seluruh bias yang aku sandang sebagai seorang ibu. Aku butuh bantuan expert. 

-----------------------------------------------------------------------------------------------


Bu Iswinarni sudah berumur. Pembawaanya tenang dan terjaga, seperti para psikolog lain yang pernah kami temui. 

Setumpuk kertas yang usai beliau periksa, dan selembar hasil rangkuman yang rupanya butuh bubuhan tandatangan. 

Kami di sini. Aku dan suamiku. Ruang konseling psikologi. Hanif sudah menjalani pemeriksaan beberapa hari lalu. 

"Kami melakukan tes khusus untuk gifted. Sesuai informasi yang saya dapat dari Bu Hamidah." Kalimat yang mulai serius setelah sekian basa-basi kami. 

"Selain Tes WISC kami juga melakukan Tes Binet. Untuk anak gifted memang dilakukan lebih dari satu tes untuk dapat dibandingkan. Apalagi pada anak gifted yang juga mengalami keterbatasan verbal." lanjut Bu Iswin.

Wechsler Intelligence Scale for Children. Dua tahun sebelumnya, nilai tes WISC Hanif menunjukkan skor IQ 123. Bu Hamidah mengatakan bisa lebih tinggi. Karena tes psikologi hanya memotret pada satu waktu saja. Sedangkan Hanif saat itu berada pada kondisi tertekan. Meskipun begitu, Bu Hamidah mendiagnosis Gifted pada Hanif melalui ciri-ciri yang lain. Sebagaimana teori tiga cincin Pak Renzulli. 

Anak Gifted memiliki intelegensia tinggi, tetapi tidak semua anak dengan intelegensia tinggi adalah anak gifted. Bright Child, adalah salah satu kategori anak dengan intelegensia tinggi. 

Seperti ini salah satu tulisan di situs Psychology Today : 

        "A bright child knows the answer, the gifted learner ask the questions"

Anak Gifted sangat kritis dengan banyak pertanyaan. Setiap satu jawaban yang kita berikan, dia akan mempertanyakan lagi jawaban itu. Hingga si penjawab akan kelabakan dan kehabisan jawaban. Meskipun pertanyaannya masih belum habis juga. 

Begitulah keseharian yang aku hadapi sebagai seorang ibu. Kalau meminta dia melakukan sesuatu, aku harus bisa menjelaskan dengan detil alasannya. Bahkan untuk sebuah perintah "Ayo, mandi!" 

Kenapa?

Ya supaya badanmu bersih.

Aku tidak merasa kotor. Tidak main-main dengan kotoran.

Ya kan badanmu mengeluarkan keringat dari kelenjar keringat. Ingat kan kamu juga minum, jadi juga mengeluarkan keringat. Nah, keringat yang keluar dari pori-porimu itu bercampur dengan debu-debu dari lingkungan. Jadinya lengket dan hanya bisa dibersihkan dengan mandi dengan sabun.

Debu-debu yang mana. Memangnya di dalam rumah ada debu?

Iiih, banyak debu halus. Ukuran mikro. Sel epitel kulitmu itu juga secara berkala akan mati digantikan dengan sel baru di bawahnya. Itu namanya daki. Kalau dakimu menumpuk campur keringat, bisa jadi tempat kuman berkembang loh. Kamu tahu kan kalau di seluruh permukaan kulit kita banyak bakteri Staphylococcus. Bangkai bakteri-bakteri yang mati itu juga jadi kotoran. Tahu?

Dia tahu semua yang aku bicarakan. Dia pelahap buku-buku teks fisiologi kedokteran sejak kelas 3 SD. 

Setelah setengah jam di dalam kamar mandi tanpa suara percikan air, Dia lari tunggang langgang keluar lagi dengan teriakan hebat, Aaaaaaaaaa..........

Kenapa? Ada apa?

Aaaaaaaa......., aku takut. Air di bak mandi kan air mentah. Banyak bakteri kecil-kecil ukuran mikro. Nanti nempel di kulitku. Nanti masuk mulut kalau aku kumur-kumur........

---------------------------------------------------------------------------------------------

Aku kembali menyimak untaian kata Bu Iswin. 

"Jadi begini, bu. Dua macam tes yang kami lakukan untuk Hanif adalah untuk perbandingan. Jika ada hasil yang berbeda atau timpang, maka kami akan mengambil nilai perfomance  tertinggi."

Bu Iswin menyodorkan hasil pemeriksaan untuk kami baca. Seratus empat puluh empat. Skor IQ yang tertulis. 

"Tingkat intelegensianya tinggi. High ability."

Bu Iswin menunjuk dengan ujung penanya. 

"Tingkat kreativitasnya terlihat tertekan."

"Kenapa ya, bu?" 

"Hm, Hanif rupanya berada pada kondisi tertekan dan hampir ke arah depresi."

Aku menghela nafas. Rasa bersalah menelusup dalam relung hati. Mungkin inilah jawabannya 


Bagian 1: Dia yang Hilang



No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK