Ruangan Kepala Sekolah. Di kursi sudut itu aku menunggu. Berdebar.
Sayup-sayup dari luar ruangan terdengar langkah-langkah kaki. Makin jelas. Seperti .... suara alas kaki yang diseret.
Sejurus kemudian muncul sesosok anak remajaku. Bagian belakang sepatunya diinjak. Baju seragam kuning gadingnya kucel. Sebagian keluar dari celana yang diikat erat dengan ikat pinggang sampai celananya berkerut-kerut. Dasi yang hanya sekedar bertengger, jahitan di ujungnya terkoyak, menyisakan serat benang yang terburai-burai.
Aku menelusuri wajahnya yang mewarisi sebagian ketampanan ayahnya. Ah, tapi mungkin dia bahkan tak sempat mencuci muka dengan sabun. Rambut 'njeprak' nya makin tebal, tersembul banyak lembaran ketombe putih. Logam orthodontic braces nya tidak terawat. Mengingatkanku pada pesan orthodontis yang begitu mewanti-wanti. ' Kalau tidak dirawat, nanti susunan giginya sudah bagus tapi malahan giginya rusak'.
Mataku memanas. Perlahan Hanif mencium tanganku dan berkata lirih, "Aku baik-baik saja, bu"
Tidak. Ini bukan kamu, nak. Mana antusiasme. Mana ledakan-ledakan ide. Mana polahmu yang kadang membuatku jengkel.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Enam bulan lalu, aku mengantarkannya ke sekolah ini. Sekolah SMP berasrama di kota dingin. Ayahnya ingin si anak sulung masuk pendidikan pesantren.
Aku bernegosiasi dengan memilih sekolah berasrama yang tetap mengajarkan diniyah di sore hari. Murid yang tidak terlalu banyak, jumlah penghuni satu kamar yang hanya 2 - 4 orang, dan sewaktu -waktu boleh dikunjungi.
Enam bulan lalu aku mengantarkannya dengan meyakinkan diri sendiri. Bahwa anakku bisa. Bahwa dia yang Anak Gifted, akan mampu beradaptasi.
Meskipun, sebelum keputusan itu diambil, aku sudah berkonsultasi kembali dengan psikolog yang mendiagnosis Hanif sebagai Anak Gifted.
"Bu, karakter Hanif ini individual dan sulit bekerja sama. Dia juga mungkin akan mengalami kesulitan dengan aturan dan jadwal yang kaku. Jika menghendaki ananda masuk pendidikan pesantren, maka pastikan sudah dilatih kemampuan sosialisasinya."
Ketika aku mengutarakan pendapat psikolog, ayahnya memiliki pemikiran berbeda.
"Justru dengan dia di'cemplungkan' ke pesantren maka dia harus terpaksa sosialisasi dan kerjasama".
Aku tidak punya argumentasi lain.
Aku hanya punya satu keinginan. Biarkan aku menyampaikan apapun kondisi Hanif kepada Kepala Sekolah dan pembina sekolah. Aku akan memberikan seluruh buku-buku tentang Gifted dan hasil pemeriksaan psikologi Hanif. Aku ingin bicara lebih dulu dengan pihak sekolah.
Terkabul keinginanku ketika akhirnya dapat berdiskusi dengan kepala sekolah dan pembina. Sosok kebapakan. Itu kesan yang aku terima. Mereka orang-orang baik yang sangat berdedikasi untuk pendidikan.
Tetapi sebanyak apapun aku bercerita tentang Anak Gifted, tidak satupun yang terpahami dengan baik. Persamaan dengan Autisme kerap kali muncul. Sekolah ini sudah sering mendapatkan anak berkebutuhan khusus. Anak autis, anak down syndrome, anak dengan kondisi psikologis yang tertekan karena ayahnya yang seorang aktivis HAM telah tewas menjadi korban dan sempat menjadi headline berita nasional bahkan internasional. Anak dari keluarga broken home dan sederet model anak yang perlu perlakuan khusus.
Tapi tidak Anak Gifted. Belum pernah. Itu setidaknya yang aku cerna.
Hari ketika aku melepasnya, aku masih meyakinkan diri. Masih ada ayahnya yang akan mengunjungi setiap dua minggu dan tantenya yang sekolah di kota yang sama. Sabtu dan Minggu pasti akan menjadi hari penantianku mendapatkan cerita dari ayah dan tantenya. Hanif baik-baik saja. Ya, dia baik-baik saja. Katanya. Karena aku kemudian hamil kembali, dan tidak memungkinkan menjenguknya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------Sebuah telepon dari Kepala Sekolah. Setelah hampir enam bulan. Saat usia kehamilan adiknya pun beranjak menua.
"Ada beberapa masalah terkait Hanif, pak. Mohon orang tua bisa datang untuk membicarakannya"
Aku harus ikut. Mungkin ini bagian dari masalah giftednya. Meski dengan perut yang membuncit. Meski pulang pergi dengan kendaraan umum, karena mobil sedang opname cukup lama di bengkel.
Dan hari itu di ruang kepala sekolah, bersama beberapa guru yang ternyata memberikan pernyataan, atau laporan atau entahlah, pengaduan.
Aku sudah mempersiapkan diri.
Kepala sekolah membuka masalah Hanif. Sering terlambat masuk kelas. Tidur di bangku belakang selama pelajaran.
"Meskipun dia tidur, tapi kalau ditanya bisa menjawab bu. Saya akui di kelas saya. Tetapi ketika kami membiarkan dia tidur, maka teman-temannya yang protes."
Aku tersenyum, di sekolah sebelumnya juga hal ini sering terjadi. Bukan tertidur di kelas, tetapi tidak masuk kelas pada pelajaran yang tidak disukainya dan memilih berkeliling dan bermain-main di lingkungan sekolah. Aku sudah pernah menceritakan itu.
Kepala sekolah melanjutkan, pernah terjadi ketika Hanif tertidur, teman-temannya mengganggunya. Hanif marah dan melempar kedua sepatunya hingga kaca nako sekolah pecah. Dia marah seperti kesurupan dan membuat takut guru dan siswa lain.
Guru Bahasa Indonesia. Kata beliau, Hanif tidak pernah mengerjakan tugas. Terutama tugas merangkum. Apalagi tugas membuat dialog dan praktek dengan boneka tangan. Nilainya nihil. Kosong. Nol.
Guru Olahraga. Tidak pernah ikut olahraga. Selalu menghilang dan berkeliling sendiri. "Saya sih tidak memaksa, bu. Pokoknya dia hadir di lapangan aja saya kasih nilai. "
Guru Agama. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Ucapan sang guru sangat menghujam. Aku sangat paham, anakku punya keterbatasan hafalan. Putaran-putaran logika dalam otaknya tidak seperti anak biasa. Hafalan adalah hal yang paling sulit dia lakukan. Apalagi jika sekedar hafal tanpa pemahaman.
Ucapan-ucapan yang membuatku bertanya-tanya. Apakah aku salah ketika mengandung. Apakah aku memakan barang haram. Apakah aku tidak pernah berdo'a. Apakah aku salah mengasuh. Apakah ada sesosok syaithon yang menguasainya. Sementara aku dan suami dibesarkan di tengah keluarga pendakwah, kyai, da'i dan keluarga santri. Setiap rizqi yang kami terima, sungguh kami cermati dengan hati-hati. Batinku tertusuk nyeri.
Wali Kelas. Cerita yang diungkapkan wali kelas, membuat tubuhku merosot jatuh. Batinku makin remuk. Meski aku tegar menahan air mata.
Ada sebuah grup siswi perempuan. Mereka saling curhat. Mereka telah dijahili Hanif. Menyentuh. Katanya.
Aku menggeleng. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Bahkan nama-nama teman perempuan sekelasnya pun dia tidak pernah hafal. Tidak kenal. Teman lelaki pun hanya yang paling rajin mendekatinya saja yang ia tahu namanya. Tidak lebih dari sepuluh nama. (Bahkan hingga sekarang ketika tulisan ini dibuat, Hanif tidak bisa menyebutkan satu nama pun teman sekolah SMP nya)
Aku bertanya kenapa? Dua belas tahun aku menjadi ibunya, dia tidak pernah melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa alasan. Meskipun alasan itu tidak masuk akal normal, atau baru dipahami orang lain di belakang hari.
Aku bertanya lagi, apa yang sesungguhnya terjadi? Apa yang harus kulakukan?
Sebuah rencana sangsi atau hukuman. Itu inti yang akan dibicarakan hari ini.
"Dulu ada anak yang nakal dan tidak disiplin. Hukuman yang pernah dijatuhkan adalah, kita meminta si anak dan ayahnya mengecat dinding sekolah. Cukup efektif bu. Karena si anak jadi merasa bersalah ketika ayahnya ikut dilibatkan dalam hukumannya. Tidak perlu hukuman fisik seperti pukulan dan lainnya. Kami tidak melakukannya di sini." Usul salah satu guru.
Aku mengernyit. Suatu ketika di masa SD nya, Hanif menerima 'hukuman'. Namanya diumumkan di depan seluruh siswa sekolah. Masuk dalam daftar anak yang tidak tertib saat sholat.
Dia dipermalukan. Dia terluka. Dia tidak memahami, bagian mana yang salah dari sikapnya. Tidak ada penjelasan.
Dia marah. Sangat marah. Mewujudkan kemarahan dengan tidak mau lagi mengikuti sholat berjama'ah. Jika dia tidak berjama'ah, maka tidak akan ada pelanggaran aturan sholat berjama'ah. Bisakah orang di sekitarnya memahami ini? Akupun awalnya tidak memahami dan cenderung menyalahkannya. Sampai suatu hari itu terungkap di depan psikolog pemeriksanya. Aku menyesal. (Kisah ini sudah pernah diungkap di Buku Antologi Anak Gifted)
Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama.
Aku seringkali harus berdialog dengannya selama berjam-jam hanya untuk menjelaskan apa yang aku anggap 'kesalahan'. Bahwa sebuah kesalahan haruslah dipahami kedua belah pihak dan disepakati sebagai sebuah kesalahan atau pelanggaran aturan. Kalau belum pernah disepakati dengannya, maka tidak boleh ada klaim sepihak tentang definisi 'kesalahan dan pelanggaran'. Serumit itu cara berpikirnya.
"Maaf bu, ada juga yang harus diketahui. Kami khawatir soal kejahilan terhadap anak perempuan itu sampai ke orang tua para siswi, maka kami tidak punya pilihan lain bu. Sudah ada yang sempat menyampaikan ultimatum agar anak ibu mengundurkan diri dari sekolah."
Hatiku tertampar.
Wajah suamiku pias. Ada rasa malu yang tersembuyi. Malu jika menjadi orang tua yang tidak bisa mengajari anaknya kesopanan. Sementara suamiku adalah sosok yang begitu sabar dan santun.
"Baiklah bapak ibu, beri kami waktu."
"Saya rasa, kami perlu berkonsultasi dengan psikolog. Kami akan mengambil keputusan setelah ada hasil konsultasi dengan psikolog. Kami mohon dukungan itu."
Dan itulah yang aku dan suami rencanakan. Dalam jutaan tanda tanya yang masih berputar-putar di kepala.
No comments:
Post a Comment