Berani Mengambil Keputusan
"Saya ditampar suami, Bu"
Seorang ibu muda berusia 25 tahunan menunjukkan lebam di pipi kanannya.
"Sekarang rasanya telinga saya berdenging dan sakit, saya minta diperiksa"
Saya periksa lebamnya yang melebar hingga ke bawah telinga, daun telinganya masih memerah, liang telinganya...
"Alhamdulillah gendang telinga masih baik, ibu saya kasih obat anti nyeri saja, lebamnya nanti dikompres sendiri di rumah."
And she start crying...
"Saya sudah beberapa kali dipukul suami. Sebenarnya saya ingin bercerai saja dari dia, tapi saya kasihan dengan anak saya.." Si Ibu menarik nafas panjang
"Setiap kali dia selesai menyakiti, katanya dia sedang tidak sadar trus dia menyesal dan minta ma'af pada saya. Tapi kenapa itu selalu berulang? Saya pernah mengancam akan melaporkan itu, tapi dia bilang punya saudara polisi yang akan membantunya, dia juga bilang kalau kejadian itu kan terjadi di dalam rumah kami jadi percuma saja, tidak ada saksi."
"Ibu sudah coba cari bantuan?"
"Saya sudah pernah ke BP4, oleh Pak Kyai suami saya dinasehati, saat itu dia sudah berjanji. Tapi kenyataannya... "
"Jadi apa rencana ibu?"
"Saya akan mencari jalan untuk bisa bercerai, saya sudah tidak kuat"
Satu bulan kemudian si Ibu datang kembali. Memakai kaca mata hitam bersama seorang anak lelaki berusia 5 tahunan yang pendiam dan terlihat menahan diri untuk bergerak (bandingkan dengan anak saya yang sangat aktif!).
Saat si Ibu melepas kacamata terlihat lebam merah kehitaman melingkar di sekitar bola mata kirinya.
"Dia melakukannya lagi, Bu"
Saya menghela nafas. Subhanallah, ibu ini masih kuat menanggung deritanya sendiri.
"Saya sudah menghubungi saudara saya dan minta bantuan. Sekarang saya sudah benar-benar siap untuk berpisah. Tidak baik bagi anak saya untuk melihat kejadian seperti ini terus menerus. Saya hanya minta ibu bersedia jadi saksi bahwa ibu memeriksa saya dalam keadaan seperti ini kalau suatu saat nanti suami saya berkelit dan tidak mau mengakui."
"Semua saya catat dalam status ibu, tetapi untuk keperluan hukum ibu melapor pada kepolisian untuk dimintakan Visum ke Rumah Sakit pemerintah."
"Saya akan pikirkan itu, Bu"
Setelah itu si Ibu tidak terlihat lagi di sekitar komplek saya, semoga ia telah mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Menyembunyikan Fakta
Seorang ibu muda yang lain datang diantar oleh majikannya.
"Tiga hari yang lalu saya ke'jedok' pintu, mata saya jadi merah, sudah saya kasih obat tetes mata tapi belum sembuh."
Saya lihat kelopak mata kiri yang lebam, selaput bening bola mata yang terisi bekuan darah di separuh bagiannya. Tidak ada luka-luka yang lain. Saya tersenyum.
"Kebentur pintu biasanya jidat dulu, Mbak."
Si Mbak diam tertunduk, dia tidak mau membicarakannya lagi. "Saya cuma ke'jedok' pintu, kok."
Mbak itu adalah pembantu harian di sekitar kompleks. Pekerjaannya mencuci, setrika dan bersih-bersih. Dari pagi sampai sore dia bekerja di tiga tempat bergantian. Salah seorang majikan lamanya pernah bercerita kalau si Mbak sering lebam-lebam. Setiap kali ditanya alasannya selalu kebentur atau jatuh.
"Saya nggak percaya bu kalau jatuh. Saya desak terus akhirnya dia cerita kalau sering dipukul suaminya, tukang mabuk. Katanya suaminya suka marah kalau dimintai uang buat keperluan rumah. Makanya dia kerja sampai gantian di tiga tempat biar dapat uang cukup buat keperluan dia sama anaknya. Saya bilang, kurang ajar banget suamimu itu, kerjanya cuma makan tidur tapi masih mukulin juga. Masak istrinya yang disuruh kerja. Tapi ya itu bu, dia milih mengalah."
Akhirnya Bercerai
Seorang ibu gemuk datang ke klinik. Usianya 30 tahunan. Wajahnya gusar dan panik.
"Bu, saya minta resep obat untuk menggugurkan kandungan, saya sudah telat 2 bulan."
"Ibu punya suami?"
Saya sudah pernah menghadapi permintaan seperti ini beberapa kali sebelumnya. Tapi biasanya mereka berwajah remaja belasan tahunan, kadang bersama pacarnya yang imut juga.
"Ya bu, punya."
"Jadi kenapa mau digugurkan?"
"Saya itu istri kedua. Suami saya lebih tua dari saya. Kami sudah menikah sekitar setengah tahunan. Saya masih belum siap kalau punya anak soalnya keluarga saya belum menerima pernikahan saya, lagian suami saya kerjanya masih nggak keruan, pokoknya masih banyak masalah deh, Bu. Jadi saya nggak ingin tambah masalah lagi kalau ada anak."
Perlu waktu yang lama untuk meyakinkan ibu ini bahwa saya tidak akan pernah meluluskan permintaannya. Selain tanggung jawab etika profesi juga ada tanggung jawab yang lebih besar.
Tiga bulan kemudian.
Si Ibu Gemuk datang lagi dengan wajah cerah dan sumringah. Diantar oleh dua orang lelaki berumur 20-an yang katanya adiknya.
"Akhirnya saya keguguran sendiri bu. Saya sebenarnya minum jamu-jamu juga, sich."
Astaghfirullah...
"Saya sekarang sudah dalam proses cerai dengan suami. Tapi adik-adik saya minta saya periksa dan memastikan kalau saya tidak sedang hamil jadi nanti biar enak nggak ada beban lagi."
".............."
Anak Merekam Semuanya
Anak lelaki berwajah Arab putih bersih itu merintih di bed. Ibunya yang cantik dengan kerudung hitam dengan selaput kesenduan mengatakan bahwa anaknya sudah berhari-hari panas naik turun.
"Saya sudah kasih obat turun panas tapi nggak sembuh-sembuh. Dia juga tidak mau makan sama sekali. Muntah juga. Kami baru saja pindahan dari luar kota. Kami sewa rumah di komplek ini."
Dengan diagnosa yang tidak terlalu jelas, salah seorang keluarga Ibu Cantik mengisahkan bahwa si ibu dan anak diambil paksa oleh saudara lelakinya karena sering jadi korban penganiayaan suaminya yang seorang 'preman'. Sebenarnya ia adalah keluarga etnis Arab yang kaya. Tetapi demi keselamatan ibu dan anak, maka keluarga kecil itupun tidak lagi utuh. Anak harus menghadapi situasi baru di kota ini dengan anggota keluarga lainnya. Sebuah dukungan keluarga yang baik.
"Bapakku itu penjahat, ibukku sering dipukuli. Aku nggak suka sama bapak." kata si Anak.
Ya, memang si Anak hanya butuh rasa aman dan ketenangan serta ketulusan kasih sayang.
Beberapa hari kemudian, sebuah sepeda kecil menghampiri saya di depan rumah. Seorang anak berwajah Arab yang putih bersih dengan seutas senyum.
"Bu Dokter, aku sudah sembuh. Aku juga udah makan."
"Oh, Alhamdulillah, anak pintar. Sudah minum susu juga?"
"Belum. Aku pulang dulu ya, minum susu..."
Saya pun melambai.
Dari Sisi Hati Nurani Seorang Suami?
Penulis dan konsultan keluarga, Muh. Fauzil Adhim, dalam sebuah kolom Muslim Smart di Majalah BMH News edisi Desember 2009 berjudul "Setetes Darah Istri Tercinta" menceritakan betapa indah dan luar biasa saat ia mendampingi istrinya melahirkan anak keduanya. Beliau menjadi saksi setetes darah istri yang telah mengalir untuk kelahiran anaknya, kerelaan akan rasa sakit tak terkira, pertaruhan nyawa untuk keselamatan anak tercinta. Pengalaman itu pun senantiasa menjadi inspirasi dalam hidup dan dunia kepenulisan serta psikologi anak.
"..... Anak yang dilahirkan dengan darah dan airmata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinistakan. ......."
"........Setelah merasakan pengalaman mendampingi detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terrlibat langsung dalam proses persalinan istrinya............... Padahal keterlibatan suami dalam proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak."
Saya bertanya kepada suami saya, bagaimana perasaan seorang lelaki? Ia pun tak habis pikir, bagaimana bisa seorang lelaki yang menyakiti istrinya sekaligus menidurinya? Itu adalah gambaran dari sebuah jiwa yang sakit.
Khalifah Umar Bin Khattab, seorang yang terkenal keras wataknya, pemabuk di kala masih jahil-nya, bagaimana beliau bersikap terhadap istrinya?
Seorang sahabat datang ke rumah khalifah bermaksud mengadukan istrinya yang cerewet dan suka menuntut. Sebelum sampai ia bertamu, didengarnya dari dalam rumah istri khalifah yang sedang marah, kemudian khalifah pun keluar rumah tanpa membalas kemarahan istrinya dengan cercaan apalagi pukulan atau tamparan.
Sahabat itupun berkata, "Wahai Amirul Mukminin, aku datang kesini hendak mengadukan istriku yang cerewet dan pemarah. Tapi sungguh aku melihat istrimu lebih cerewet dan pemarah dari istriku sedangkan engkau tetap bersabar."
Khalifah Umar yang perkasa pun menjawab, "Aku tidak berhak marah terhadap istriku, sebab aku tahu ia lah yang telah melahirkan anakku, ia juga bersusah payah melayani kebutuhanku dan merawat anakku. Jadi aku sama sekali tidak berhak marah padanya."
Akhirnya sahabat itupun pulang dan tidak jadi mengadukan istrinya.
Lantas bagaimana sikap seorang lelaki menghadapi istri yang bersalah dan tidak menjaga amanat suami? Semua sudah ada aturan yang jelas dalam ajaran Islam. Tidak akan ada yang diperlakukan semena-mena dan tidak adil. Dalam rangka mendidik istri yang 'nusyuz' diperbolehkan memukul di tempat yang tidak menimbulkan bekas luka dan cacat. Tetapi bukankah untuk bisa mendidik istri, maka seorang suami harus baik dan berilmu? Dan itu menjadi kewajiban seorang laki-laki sebelum memulai kehidupan berumah tangga. Maka wahai anda para Ummahat, senantiasa pilihlah seorang lelaki yang Sholeh sebagai suami, demi kebahagiaan keluarga dan ketentraman jiwa. Wallaahu A'lam.
No comments:
Post a Comment