"Ma'af ibu-ibu menunggu agak lama. Tadi briefing sebentar soalnya pas waktu sholat ashar ada yang tidak tertib,"
Mama Nabil, dengan suara besarnya, berkata pada ustadzah "Nabil tadi tidak mau sholat ya ust, memang anak itu. Di rumah juga gitu, Ust. Saya bilang kalau gak mau sholat nanti dimarahin ustadzah." Mama Nabil menunjuk-nunjuk anaknya yang sedang memasang sepatunya dengan cuek. Nabil mencolek-colek lengan temannya dan terus bergurau.
"Bukan hanya Nabil kok bu. Hari ini anak-anak muslim banyak yang gurau sholatnya."
"Pokoknya begini saja Ust...." Mama Nabil mengambil tangan anaknya dan memutar tubuh Nabil menghadap ke Ustadzah.
"Besok lagi kalau Nabil tidak mau sholat ustadzah bilang ke Nabil kalau Mamanya nggak mau jemput. Biarin saja di sini, ya Bil. Ngerti nggak kamu....!"
Ustadzah tersenyum kecut. Saat briefing anak-anak dinasehati dengan lemah lembut, tetapi giliran mamanya kok malah marah-marah? Sepertinya Mama mengesankan Ustadzah suka marah, ustadzah suka mengancam, ustadzah suka menghukum, dan anak harus takut sama ustadzah. Hmmm rupanya ada sesuatu yang harus dibenahi di sini.
Sekolah Islam sedang mekar dan bergairah tuk tumbuh dimanapun. Dulu orang tua harus bekerja keras mendapatkan sekolah yang mengajarkan pelajaran agama dengan resiko sekolah udik, tidak favorit dan dicibir orang. Saya dulu harus bersekolah dua, pagi ke SDN favorit, siang ke Madrasah kampung, malam masih harus mengaji ke guru ngaji (bukan TPQ seperti sekarang). Tetapi sekarang sudah sepatutnya kita bersyukur betapa mudah mendapatkan sekolah Islam yang baik dan cukuplah dikatakan tidak 'kampungan'. Jadilah orangtua berebut kursi terutama di sekolah-sekolah Islam yang super bonafit. Sekali lagi kita seharusnya makin bersyukur karena gairah orang tua pun mencapai titik kesadaran akan pentingnya pendidikan agama.
Akan tetapi seperti sebuah 'Partai Islam' semakin besar ia maka semakin sulit pengendaliannya dan semakin sulit memilih orang-orang yang 'murni' perjuangannya. Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak di sekolah Islam pun sangat beragam. Seorang kawan berkeliling mencari palygroup dan TK Islam favorit di kotanya, yang bonafide dan terjangkau kocek.
Katanya "Kalau di sekolah Islam itu enaknya kita gak susah ngajari ngaji sama do'a, Mbak. Senang kalau lihat dia hafalan, trus seragamnya juga cute dan lucu. Lagian masih usia TK, ntar kalo SD masuk SDN favorit biar nanti juga bisa masuk SMP dan SMA favorit dan kuliah masuk negeri..."
Disamping kepentingan orang tua yang beragam, masalah kesinambungan antara pendidikan di sekolah dan di rumah pun bermacam-macam. Beberapa sekolah mengupayakan kesinambungan itu dengan buku penghubung, media konsultasi orang tua dengan guru kelas, kajian IOM / Komite sekolah, bahkan komunikasi via telepon dan Home Visit. Tetapi berapa banyak orang tua yang rajin mengisi dan menganggap perlu sebuah buku penghubung. Berapa banyak yang datang untuk konsultasi pada saat jam konsultasi? Berapa banyak yang ikut kajian?
Ketika anak diajari Hadits 'sesungguhnya kita dilarang menampakkan aurat kita', ternyata di rumah dan di tempat kerja ibunya tidak berjilbab. Bahkan seorang teman mendandani anaknya dengan baju tank-top kalau sedang bepergian.
Ketika ustadz/ustadzah mengajar dengan lemah lembut penuh kasih sayang, sang ibu tetap menjadi 'penguasa' anaknya.
Ketika sekolah menganggap TK sebagai sekolah bermain, orang tua sibuk mengirim anaknya les membaca, bhs Inggris, menggambar. Seorang teman setiap malam marah-marah karena anaknya yang TK itu sulit diajar menulis dan membaca (di waktu yang sama, tanpa saya memaksa, saya hanya mengajak anak menyimak buku yang saya baca dengan keras dengan intonasi menarik, subhanallah sebelum lulus TK mereka sudah bisa membaca).
Belum lagi latar belakang pekerjaan orang tua yang beraneka, pegawai bank riba, pegawai asuransi konvensional, bisnis MLM tidak syar'ie, pejabat yang bergelimang kemewahan, hanya karena mereka mampu membayar biaya sekolah yang melangit maka sekolah tidak punya daya. Karena itu beberapa lulusan sekolah Islam yang melanjutkan sekolah ke sekolah negeri favorit seperti tidak berbekas apa yang sudah diterimanya di sekolah Islam dulu, apa yang sudah diperjuangkan oleh ustadz/ustadzahnya dulu.
Jadilah tugas sekolah makin berat dan rumit. Mendidik anak sekaligus orang tuanya.
Namun mutiara-mutiara penyejuk tetap saja akan tumbuh dan butuh untuk dipupuk. Sepulang dari mendapatkan pelajaran tentang hadits menutup aurat, Rahma menolak keluar rumah bila tanpa selembar jilbab menghias mukanya yang cantik. "Bunda, aku malu keluar kalau tanpa kerudungku, kalau nanti jumpa sama ustadzah aku lebih malu lagi. Bunda, aku juga malu kalau bunda nggak pakai kerudung. Aku mau diajak pergi kalau bunda juga pakai kerudungnya, ya"
Seorang teman yang masih kontrak rumah, pekerjaan suami yang pegawai biasa, berupaya sungguh-sungguh memasukkan anaknya ke sekolah Islam.
"Ya, bagi kami pendidikan anak yang paling penting, Mbak. Kita bekerja mati-matian buat apa. Jadi selama kami masih mampu menyekolahkan anak ke sekolah yang baik, maka hal-hal lain tidak terlalu kami pikirkan. Dan sekolah ini saya anggap cocok dengan visi saya, mendidik anak dengan kasih sayang dan dengan model pembiasaan."
Tetapi pernahkah kita dan sekolah Islam itu merenungkan. Seorang ustadz muda yang bekerja hanya di jalan dakwah, membina sebuah panti asuhan Islam dengan penghasilan yang relatif kecil (meskipun beliau dan istrinya tak pernah lepas berucap syukur), bertempat tinggal di dekat sekolah Islam favorit itu. Beliau pernah punya keinginan menyekolahkan anaknya ke sekolah itu tentu saja, tetapi itu adalah hal yang kemudian beliau buang jauh. Anaknya cukup bersekolah di TK kampung dan Madrasah kampung.
Seandainya saja sekolah Islam menyisihkan kuota kursinya untuk anak-anak ustadz seperti ini, dan seandainya saja orang tua murid sedikit membayar lebih untuk subsidi kuota itu, maka anak ustadz akan dapat juga menikmati sekolah Islam dengan fasilitas yang cukup baik, dan tentu saja kesinambungan antara pendidikan di sekolah dan di rumah akan tetap terjamin. Artinya insya Allah apa yang diupayakan ustadz/ustadzah di sekolah Islam tidak sia-sia.
Wallaahu A'lam
No comments:
Post a Comment