Showing posts with label Qsah Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Qsah Hikmah. Show all posts

Tuesday, March 23, 2010

Episode Fir'aun



Layar turun, background ruang pertemuan kantor yang sejuk dan modern. Kursi-kursi telah terisi para karyawan. Mr CHI direktur perusahaan eksportir produk kayu mengambil tempatnya. Perawakan kurus, berkulit kuning pucat, rambut masih legam, sepasang mata bersudut lancip, mulai bersabda:

"Saya jalankan perusahaan ini dg penuh kedisiplinan. Saya wajibkan semua karyawan mematuhi aturan kedisiplinan itu dg ketat.

Tidak ada alasan tidak masuk kerja barang seharipun kecuali cuti resmi dan libur resmi. Barang siapa yang tidak masuk karena alasan tertentu meskipun alasan sakit harus menanggung denda POTONG GAJI 5 % . "

Gong membahana pertanda Episode Fir'aun mulai menampakkan wujudnya

"Sakit itu adalah kesalahan kalian sendiri. Seharusnya semua orang berinvestasi untuk menjaga kesehatannya sendiri agar tidak sakit. Kalau kalian sakit pilek itu adalah akibat kurang olahraga, kurang makanan bergizi, kurang vitamin, jadi kurang daya tahan tubuh. Kalau anda sakit perut itu akibat makan yang tidak bersih. Kalau kalian sakit kencing manis itu adalah akibat berlebihan makan manis. Maka dari itu saya tidak memberi ijin dan toleransi untuk orang sakit. Tidak masuk kerja tetap harus potong gaji. Titik "

Episode Fir'aun dengan baju kebesaran, mahkota berkilat, dan tongkat berujung kepala singa, berdiri mengangkat kepala.

"Kalau orang tua anda sakit itu adalah kesalahan mereka, mengapa sejak dulu tidak menjaga kesehatan. Anda tidak punya kewajiban membantu mengobatkan mereka. Harusnya mereka sejak muda sudah menginvestasikan alias menabung untuk keperluan mereka kelak ketika tua. Jadi tidak menjadi beban anak-anaknya. Maka dari itu saya tidak pernah menyetujui pinjaman ke kantor atas alasan membantu pengobatan orang tua yang sakit."

Episode Fir'aun mengangkat dirinya sebagai TUHAN

"Saya selalu berinvestasi dan menjaga kesehatan saya. Dan buktinya, lihat , sampai detik ini saya tidak pernah sakit samasekali. Dan saya juga sudah mempersiapkan kebutuhan saya kelak di hari tua sehingga saya tidak perlu menjadi beban anak saya sebagaimana saya tidak mau memikul beban orang tua saya. Jadi adil bukan. Setiap orang memikul bebannya sendiri-sendiri."

JRENGG.. Episode Tuhan semakin membiarkan Fir'aun terjerumus dalam kepongahan. Sampai sebuah takdir yang tak bisa dihindari. KEMATIAN

Tuesday, March 2, 2010

SECUKUPNYA......

Dalam sebuah acara pertemuan di sebuah Yayasan Islam, tibalah saatnya perjamuan makan siang. Perjamuan terbagi dalam 2 ruang, untuk kaum lelaki dan untuk kaum wanita dg sistem Prasmanan alias masing-masing orang mengambil sendiri.

Sebuah meja besar sudah terhidang aneka makanan dan minuman. Entah karena sudah sangat lapar ataukah terburu-buru ingin segera pulang, para ibu berdesak-desakan mengambil makanan tanpa perlu ada antrian. Satu demi satu semua makanan sudah berpindah ke piring-piring. Teriakan-teriakan para ibu membuat kalang kabut panitia.
"Bu, satenya nih HABISS !!!"
"Ya, ini juga nasinya tambahin !!!"
"Eh, mana ini kok tinggal kuahnya, pancinya aja sekalian bawa ke sini!!"

Karena merasa masih muda dan tidak terbiasa berebutan, saya memilih pelan-pelan mengikuti arus dan memberi kesempatan ibu-ibu yg lebih tua dengan prasangka baik bahwa hidangannya masih mencukupi.
Akhirnya tiba di meja dan usai mengambil piring, nasi sudah habis dan panitia tidak lagi muncul membawa tambahannya. Saya mengambil 3 potong lontong yg potongannya setengah hancur. Terpikir anak saya yg tidak suka lontong, tapi saya segera menghibur diri, alhamdulillah anak-anak sudah makan bekal roti dan susu. Kalaupun masih lapar, toh sepulang dari acara ini masih bisa mampir ke Warung Makan.
Sampai di piring lauk, sudah tinggal tulang bandengnya saja. Sampai di tempat soto kikil, hanya sesendok kuah yg mampu masuk ke piring. Satu buah kerupuk cukup melengkapi. Setelah itu tidak ada lagi. Padahal di belakang saya masih ada belasan orang yg berjajar.
Bismillah. Cukuplah untuk mengganjal perut yg pagi tadi lupa sarapan karena sibuk mempersiapkan anak-anak.

Usai memindahkan isi piring, pandangan saya berkeliling. Astaghfirullah, sungguh pemandangan yang membuat hati teriris. Piring-piring bekas makan yg berserak di meja, di bawah bangku, di dekat tong sampah. Bukan itu yang membuat makin sedih, tapi makanan yang masih tersisa di atasnya. Potongan daging yang tidak habis digigit, bertusuk-tusuk sate yang terserak bahkan tumpah di tanah, nasi yang teronggok begitu saja menunjukkan bahwa si empunya piring mengambil porsi yang melebihi kemampuan makannya. Pemandangan itu begitu kontras mengingat banyak orang yang tadi tidak kebagian. Sungguh jauh pula dari gambaran akhlak seorang Muslim seperti yang telah diajarkan oleh Nabi SAW.

Seandainya setiap orang mengambil 'SECUKUPNYA' maka panitia tak perlu kalang kabut dan malu. Seandainya setiap orang tidak merasa 'takut tidak kebagian' maka tidak ada yang mengambil BERLEBIHAN. Seandainya setiap orang mengingat temannya yang lain dan tidak mengambil sikap 'aji mumpung' maka tidak akan ada kesenjangan KEKENYANGAN-KELAPARAN.

Sikap 'SECUKUPNYA' sesungguhnya mencakup segala hal dalam kehidupan. Kalau kita sudah cukup 1 piring, tak perlu mengambil 2-3 piring, kalo badan kita hanya bisa menyetir 1 mobil tak perlu mengkoleksi 2-3 mobil untuk setiap pagi dipanaskan saja. Kalau kita sudah cukup dengan uang belanja yang diberikan suami maka tak perlu menuntut sehingga sang suami harus korupsi Kalau kita sudah cukup ............ dan lain-lain.

Kapan kita merasa 'cukup'? Adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan kemampuan kita mengukur diri sendiri. "Kalau membuat Baju ukurlah Badan sendiri" begitulah kira-kira maknanya. Nah, sayangnya lebih banyak yang merasa "bisa dan mampu" dan mengakibatkan selalu merasa "TIDAK CUKUP"

Seandainya salah seorang dari kita ditawarkan sebuah jabatan yang menggiurkan, akankah kita mencoba mengukur kemampuan diri sendiri dan akhirnya menolak "Maaf saya tidak berkemampuan memegang jabatan itu, saya merasa cukup ada di bidang yg saya geluti sekarang" ataukah yang lebih banyak menerima karena merasa mampu dan tidak cukup lagi dg jabatannya yg sekarang?

Wallaahua'lam. Semoga Alllah SWT menganugerahkan perasaan "CUKUP" sehingga kita senantiasa bersyukur terhadap apa yang kita terima. AMIN

Sunday, November 29, 2009

Emak 'yang juga' Ingin Naik Haji


Mungkin tidak terlalu mirip skenario "Emak Ingin Naik Haji" nya Mbak Asma Nadia, Tetapi Emak yang satu ini sungguh ada di dunia nyata. Berumur 63 tahunan, janda, petani, biasa dengan kostum kebaya dan kain panjang dilengkapi kerudung kecil sebahu. Mak Nji menghabiskan sepanjang umur hidupnya di tempat kelahirannya sebuah desa terpencil di kabupaten Lamongan. Adalah teman sekamar, satu rombongan KBIH dalam ibadah haji tahun 2007 yang lalu.
Mak Nji dan seluruh rombongan kami tiba di kota Mekkah dalam suasana yang haru biru.... dalam gema kalimat talbiyah yang tiada henti-hentinya. Dalam persiapan pondokan dan pembagian kamar, Mak Nji, My Roommate, baru menyadari kalau tas tentengnya tidak ditemukan dalam tumpukan barang milik rombongan. Padahal disitulah pakaian gantinya untuk umroh malam itu. Meski kemudian ketua rombongan melapor kepada ketua kloter, tentu masih butuh waktu untuk melacak keberadaan barang itu yang mungkin saja terbawa oleh rombongan atau kloter lain.
"Bu Bidan....." Mak Nji memulai pembicaraan. Mungkin karena saya perempuan muda dan lebih pantas menjadi Bidan maka beliau sering salah memanggil 'Bu Dokter' mejadi 'Bu Bidan'
"Saya mau nempil (Beli) bajunya sampeyan yang itu, pake uang Indonesia berapa harganya ?"
Saya mengamati baju jubah putih yang meskipun masih tergolong baru tetapi kan sudah dua atau tiga kali saya pakai. Memang saya sengaja membawa beberapa potong baju berwarna putih bersih untuk ibadah haji ini.
Akhirnya dengan paksaan dari Mak Nji, karena saya tidak enak hati menjual baju bekas pakai, jubah putih itupun beralih tangan dan beliaupun berumroh dengannya.
Mak Nji berasal dari desa yang sama dengan ketua rombongan sekaligus pembimbing ibadah dari KBIH kami, Ustadz Mun.
"Saya itu sudah pasrah sama Ustadz Mun...." Suatu hari dalam kamar pondokan kami.
"Saya sudah ndaftar satu tahun sebelumnya untuk dapat kursi, saya jual sawah saya sepetak.Trus pas mau pelunasan kemarin ini saya terkena musibah, hampir-hampir saya tidak jadi berangkat..." Mak Nji tercenung dan menerawang.
"Anak saya perempuan satu-satunya ditinggalkan oleh suaminya begitu saja dengan menanggung beban hutang yang cukup banyak. Anak saya kemudian harus pergi ke Malaysia bekerja keras di sana untuk kehidupan kami, sebab sawah saya sudah terjual untuk biaya haji ini. Cucu saya dua orang, saya yang merawat dan memenuhi kebutuhan mereka sebisa saya. Jadi saya bilang ke Ustadz Mun terserah bagaimana saya ini supaya tetap bisa naik haji. Umur saya sudah tua, barangkali ini kesempatan terakhir saya"
"Lantas bagaimana kata Ustadz Mun..?" saya ingin tahu juga
"Beliau bilang sudah yang penting sampeyan berangkat, nanti soal di Mekkah ikut apa kata saya saja. Jadi saya ini sekarang ngawulo saja sama Ustadz. Uang riyal saya (kembalian dari pemerintah untuk Living Cost) nanti saya bawa pulang lagi untuk bayar-bayar keperluan cucu."
Jadi demikianlah Mak Nji setiap hari memasak makanan untuk Ustadz Mun, mencucikan baju beliau dan membantu apa saja keperluan ustadz.
Ketika jama'ah lain ada yang sibuk mengumpulkan puluhan jerigen air zam-zam kemudian dikirim ke Indonesia lewat jasa pengiriman dengan harga yang aduhai mahalnya (kalau dihitung-hitung harga per jerigennya sama dengan kalau beli di pusat oleh-oleh haji di Indonesia), maka Mak Nji pun sibuk mengumpulkan juga. Setiap hari bila pergi ke Masjidil Haram, beliau membawa plastik untuk menampung air zam-zam dari keran-keran yang tersedia kemudian digendongnya pulang dengan tas punggung souvenir kartu perdana GSM Arab Saudi pemberian dari teman se jama'ah. Air itu dikumpulkan sedikit demi sedikit dalam 2 jerigen besar dalam tas kopernya.
"Ah, tas koper saya penuhi air zam-zam saja. Ini akan menjadi oleh-oleh saya yang paling berharga."
Ketika jama'ah lain, terutama para ibu, berbelanja apa saja untuk oleh-oleh (kadang-kadang saya pikir jangan-jangan oleh-oleh sajadah itu di Pasar Turi Surabaya juga banyak), Mak Nji hanya menanyakan harga-harganya. Beberapa kali beliau titip sesuatu bila saya bersama suami sedang keluar maktab.
"Saya titip boneka unta yang seperti punya bu Kas kemarin, satu saja buat cucu saya yang kecil."
Besoknya lagi Mak Nji sudah punya bermacam oleh-oleh. Ada tasbih, teko warna emas, sajadah, dll. Itu adalah pemberian para jama'ah lain, karena biasanya dengan beli banyak harganya bisa murah jadi tidak sayang membaginya satu buat Mak Nji, mungkin karena beliau sering bertanya dengan mupeng (muka pengen).
Kaget juga suatu hari ketika saya bercerita tentang pembantu saya yang minta naik gaji padahal gajinya sudah 500rb sebulan, Mak Nji dengan yakin dan seriusnya mengatakan "Kulo mawon tak nderek sampeyan, nggih" (Saya saja yang ikut anda ya) Duh Mak Nji, harus berapa saya menggaji untuk pembantu bertitel Hajjah?
Dan begitulah Mak Nji ketika pulang ke tanah air dari bandara Madinah, wajah beliau sumringah. Tas koper yang berat penuh dengan air zam-zam, tas tenteng yang penuh dengan pakaian dan perlengkapan, dan sebuah gendongan (betul-betul kain gendong) untuk menggendong oleh-olehnya seperti seorang bakul jamu. Dan ajaibnya tidak terkena razia petugas bandara untuk memasukkan kelebihan barang tentengan ke bagasi, padahal banyak dari kami yang terpaksa melakukannya dengan resiko barang yang hilang atau rusak. Subhanallah

Saturday, September 26, 2009

Hafidzah di Dunia Tanpa Warna


Arafah namaku, meski aku belum pernah sampai ke lembah yang mulia itu. Mungkin saja itu cita-cita Bapak dan Emak agar aku sampai ke sana suatu hari nanti.
Masa kecilku tumbuh dalam suasana yang sangat menyenangkan. Setiap pagi dan petang aku ke Langgar untuk mengaji. Di depan rumah orangtuaku yang megah dan kokoh di bawah pohon sawo yang rindang, itulah Langgar bagi setiap anak di sekitar rumahku untuk mengaji, tentu saja di bawah bimbingan Bapak.
Aku tumbuh di tengah keluarga besar di rumah yang juga sangat besar. Hingga tiba bagi gadis seusiaku untuk menikah. Maka datanglah seorang lelaki gagah yang berasal dari keturunan yang baik (seharusnya bergelar Raden dan mempunyai garis keturunan dari salah satu Wali Songo di Pantura). Lulusan pesantren pula. Maka mulailah kehidupanku yang indah. Seorang anak perempuan yang lucu mengawali rumah tangga yang harmonis. Suamiku, Ismail, sering ke luar daerah untuk berdagang dan tentu saja berdakwah. Hingga kehamilanku yang kedua, begitu terasa masa kehamilan yang berat itu. Alhamdulillah, masa kehamilan yang susah itu berakhir dengan hadirnya 2 anak lelaki kembar identik. Subhanallaah, aku hanya mengharapkan satu anak lelaki namun Allah memberiku dua sekaligus. Belum lama aku menimang jabang bayi, sebuah wabah penyakit cacar menyerang mataku dan akhirnya aku harus merelakan hilangnya kedua penglihatanku, duniaku. Allah, sedikit cobaanMu ini hanya untuk mengujiku agar lebih sabar. Penglihatanku adalah dari Engkau dan bila Engkau memintanya kembali maka aku tiada berdaya.
Suamiku yang aku cintai mendapati kenyataan pahit itu biasa saja, namun aku tidak tahu isi hati di relungnya yang terdalam. Ketika kemudian ia membicarakan dg orangtuaku tentang rencana kepergiannya untuk tinggal di tempat yang jauh dan membawaku serta, aku tidak tahu bahwa orangtuaku tidak setuju. Pada akhirnya yang aku tahu kenyataan bahwa aku tidak lagi mengasuh anak-anak bersamanya. Praktis semua kebutuhan dan pengasuhan anak-anak dalam kendali orangtua kemudian berlanjut pada saudara lelakiku. Aku tidak pernah tahu bagaimana langkah kaki pertama si kembarku, pun hanya kudengar kenakalan-kenakalan mereka, karena amat sedikit kontribusi pendidikanku atas mereka.
Dalam kepekatan dan kesunyian aku menciptakan bait-bait laguku sendiri, mengabarkan rindu hatiku pada suamiku yang masih kucinta. Namun dalam layar tanpa warna itu semakin peka matahatiku, pendengaranku, dan makin terbuka otakku untuk merekam ayat demi ayat yang biasanya aku dengar. Pelan-pelan aku setiap hari menyimak orang-orang tercinta mengaji dan kemudian aku mengulangnya sembari siapapun juga menyimak untuk membetulkan bacaanku. Subhanallah, karena tiada cahaya lain yang mengalahkan ayat-ayat itu di otakku maka akupun menjadi seorang Hafidzah. Maka kegiatanku sehari-hari adalah menyimak dan membetulkan bacaan anak-anak yang mengaji dan kemudian meminta mereka menyimak bacaanku.
Dan hal itu berlanjut terus hingga anak-anak dewasa dan aku ikut anak perempuanku dan suaminya ke kota lain. Di rumah anakku setiap sore berkumpul anak-anak untuk belajar mengaji, dan akupun kebagian jatah mengajar juga, tentu saja dengan caraku.
Tahun-tahun berlalu. Kabar dari suami (atau mantan suami?) selalu aku dengar melalui berbagai jalan. Setelah terpisah, ia menikah 2 kali dan masing-masing mendapatkan 3 anak. Dengan istri yang terakhir ia bertempat tinggal di kompleks masjid, selain mengajar juga megelola sebuah toko kelontong. Kabarnya ia sudah membangun rumahya yang megah, dan menjadi cukup kaya dan terpandang.
Aku bahagia, anakku lelaki masih mencari ayahnya dan menyambung tali perdarahan hingga ke anak-anak dan cucunya. Aku sering menanyakan pada anakku itu kabar dari ayahnya. Sementara anak perempuanku sungguh terlalu dalam luka hatinya untuk membuka pintu maaf bagi ayahnya
Kini aku masih tinggal bersama anak perempuanku. Setiap kali cucu, cucu menantu, dan buyut-buyutku datang berkunjung, mereka harus rela aku raba untuk mengenali wajahnya. Alhamdulillah mereka semua tumbuh sempurna dan meraih kehidupan yang mulia. Ada cucuku yang menjadi guru, perawat, pengusaha, bahkan ada yang menjadi dokter. Sungguh aku bahagia mendengar semua keberhasilan mereka yang tak pernah lupa mereka ceritakan untukku.
Dan satu demi satu orang-orang itu meninggalkanku. Suamiku, istri keduanya, istri ketiganya yang jauh lebih muda dari aku dan menantu lelakiku. Kadang aku bertanya mengapa bukan aku yang Allah panggil lebih dulu. Aku tiada berdaya apa-apa, tiada ada manfaatnya. Namun penyakit-penyakit metabolik yang menggerogoti mereka seakan-akan menjauhi tubuhku.
Ada satu hal yang membuatku sangat sedih dan semakin tak berguna. Tiada lagi anak-anak yang mengaji karena mereka pergi ke TPQ yang modern dan baik di masjid-masjid dengan ustadz/ustadzah yang pintar dan menarik. Aku pernah mendengar bahwa seorang hafidz/hafidzah bila hilang hafalannya maka akan masuk ke dalam neraka. Sungguh aku tidak ingin nanti aku mati dalam keadaan lupa dengan hafalan Qur'anku. Ya Allah sungguh aku tak mau itu terjadi. Sungguh aku siap menghadapMu kapanpun jua bahkan detik ini ketika aku yakin masih bisa menjaga ayat-ayatMu.

MBAH SENOK


Mbah Senok alias Mbah Nok tergopoh-gopoh kembali menuju rumahnya. Saat itu Jum'at 2 hari menjelang Ramadhan 1430 H. Rukuhnya yang setengah lusuh karena tidak pernah tersentuh setrika merek apapun berkibar-kibar saat ia menyusuri jalan yang menghubungkan masjid dan rumahnya. Memang rumahnya hanya 150 meter di belakang masjid desa. Pak Nas yang hendak menuju masjid untuk shalat Jum'at berpapasan dengannya dan menyapa heran "Ada apa Mbah Nok kok kembali ?"."Eh, iya anu Pak Guru uang buat ngisi kaleng saya ketinggalan. Saya mau ambil dulu.." Pak Nas alias Pak Guru Nas , begitu setiap orang memanggilnya, mafhum adanya, beliau tahu meskipun Mbah Nok adalah janda miskin namun tetangganya itu selalu istiqomah berinfak setiap Jum'at meski 'cuma' lima ratus rupiah.
Pak Nas pun melanjutkan langkahnya menuju masjid, tertatih-tatih karena lutut kanannya bekas operasi 4 bulan lalu. Sampai menjelang khatib naik mimbar Jama'ah putri di bagian belakang gaduh dan menjerit-jerit. Para lelaki pun berhamburan melihat apa yang terjadi. Pak Nas melongok lewat sekat yang memisahkan Jama'ah putri dan putra. Mbah Nok dalam shalat Tahiyatal Masjid ambruk saat sujud dan menghembuskan nafas terakhir. Subhanallah, Pak Nas pun tiada pernah lupa kisah perjalanan hidup Mbah Nok.

Berpuluh tahun yang lalu Mbah Nok sejak kecil hidup dalam kemelaratan. Ketika menikah pun bukan kebahagiaan dunia yang ia dapatkan. Suami yang melarat dan mati muda meninggalkan satu anak lelaki yang harus dihidupinya. Saat itu kefakirannya amat dekat dengan kekufuran. Belum ada cahaya iman dalam hati. Hingga ia masuk dalam lingkaran gerakan separatis organisasi komunis terlarang, meskipun barangkali ia tak faham betul dan hanya ikut-ikutan. Saat itulah suaminya terbunuh dalam operasi menumpas gerakan itu di desanya.
Dan kehidupannya sebagai janda yang bermasa depan suram pun dimulai. Tertatih-tatih.. terseok-seok... 
Syukurnya upaya rehabilitasi dari ulama setempat sekelas Mbah Haji Mabruri mulai menerangi hatinya. Mbah Nok pun rajin mengikuti pengajian, mulai menginjak masjid, dan ketaatannya pada setiap apa yang disampaikan Mbah Haji membawanya pada sebuah kehidupan baru. Sampai Mbah Haji meninggal dan masuk pada generasi Pak Nas, Mbah Nok tetap 'ngawula' untuk selalu mendapatkan bimbingan dalam kehidupannya. 
Hingga ketika akhirnya Mbah Nok meninggal dunia seluruh tetangga terharu dan terenyuh melihat akhir hidupnya yang Insya Allah Husnul Khotimah.

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK