Panggilan ..
Suatu malam suami menanyakan sesuatu,
"Kalau kita dapat rejeki, adik ingin apa?"
"Ya, mungkin nambah furniture dapur sama renovasi sedikit" ujarku tidak terlampau berharap.
"Kok hanya itu?"
"Lha, emang rejekinya seberapa sih?"
"Cukup buat berhaji!"
"Okhhh!" Giliran aku yang terpana.
Warzuqhum Min Haitsu Laa Yahtasiib. Dan Allah memberi rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.
Sejak tahun pertama pernikahan, sebuah rekening tabungan haji menjadi tempat gantungan cita-cita. Hanya uang 500 ribu yang pertama kali bercokol di sana. Selanjutnya, janji Allah untuk 'mencukupkan rizqi' saja yang kami tunggu, cepat atau lambat.
Allah memenuhi janjinya di saat yang tidak pernah kami duga. Tahun kedelapan, Allah tiba-tiba mencukupkan tabungan yang sebelumnya bahkan belum cukup untuk biaya satu orang. Rizqi itu pun berlebih dan masih bisa menutup KPR dan kredit mobil sehingga tidak lagi menanggung hutang.
KemurahanNya bahkan tidak hanya sampai disitu. Daftar tunggu pun hanya satu tahun saja. Kami membayar porsi haji di pertengahan 2006 dan berangkat di tahun 2007. Subhanallah, inilah sebuah 'panggilan'.
Dan panggilan itu adalah sebuah proses, tidak hanya menunggu.
Banyak orang bilang kalau punya dosa, nanti ketika haji akan ditampakkan seluruh dosa-dosanya (apakah karena itu yang merasa banyak dosa justru takut berhaji?). Banyak pula yang mengalami pencerahan dan peristiwa-peristiwa ajaib selama berhaji.
Nah, selama berhaji hatiku dag dig dug membayangkan peristiwa ajaib apa yang akan kualami? Oh, jangan-jangan tidak sengaja aku punya kesalahan yang nanti akan kuterima balasannya disana?
Setiap kali menuju Masjid aku mencari-cari mungkin ada kelebat orang berbaju putih-putih seperti dialami seorang ibu yang kubaca di majalah.
Setiap kali Thawaf aku kadang memandang ke atas Ka'bah, katanya ada orang yang pernah melihat jajaran bayangan malaikat yang sujud dan ruku' disana. Tapi yang kulihat hanya sekumpulan burung merpati terbang kesana kemari, tidak berputar-putar layaknya orang Thawaf. Kulihat lagi ke atas menembus hingga ke langit, mungkin aku nanti melihat seberkas cahaya yang indah dan kemilau. Tapi yang aku lihat hanya kegelapan dan kepekatan karena seringkali kami Thawaf di malam hari.
Dan ternyata semua prosesi haji kami berjalan lancar-lancar saja tanpa halangan berarti dan tentu saja tanpa KEAJAIBAN.
Perihal balasan atas dosa-dosa itu aku sempat menanyakan kepada ustadz pembimbing. Menurut beliau tidaklah sepenuhnya seperti itu. Yang benar adalah ketika berhaji, apa yang menjadi kebiasaan, sifat, dan sikap selama di tanah air, akan terbawa dan semakin tampak. Orang yang biasa mengumpat, disana ia akan terbawa mengumpat. Orang yang biasa berkelahi, orang yang biasa mencuri, semua kebiasaan itu akan tampak disana.
Mungkin itu juga yang terjadi pada salah satu pasangan muda dalam rombongan kami. Kebiasaan bertengkar itukah yang membuat mereka pun ramai bertengkar hebat disana dan diakhiri dengan tamparan sang suami. Diketahui oleh seluruh jam'ah dan diselesaikan oleh ustadz pembimbing. Masya Allah.
Tapi akhirnya ada satu peristiwa 'ajaib' juga yang aku alami. Kacamataku pecah terinjak kakiku sendiri akibat kuletakkan sembarangan di atas tempat tidur. Lantas dimana keajaibannya?
Hehe, itu mungkin akibat aku menganggap enteng pesan suami untuk membawa kacamata cadangan sejak dari tanah air dan pesannya tiap hari untuk meletakkan kacamata di tempatnya dalam koper. Jawaban "Iya ... ya" itu yang sering keluar dari mulutku sambil lalu.
Jadilah sisa perjalanan haji aku lewati tanpa kacamata. Dan ajaibnya lagi aku tidak merasa kesulitan bahkan ketika membaca Al Qur'an. Tambah ajaib lagi sampai ke tanah air kacamata pun sudah tidak terpakai lagi, seakan-akan sembuh begitu saja. Tapi tetap saja bagiku, itu bukan keajaiban yang menakjubkan seperti dalam cerita-cerita pengalaman haji orang lain.
Sepulang ke tanah air, bertemu dengan tetangga dan teman yang bersama-sama haji tahun itu juga hanya saja kami berbeda kloter. Tak terelakkan berbagi cerita bersama.
"Kami mengalami hujan di Mekkah, takut banget. Katanya kalau kena hujan disana kita bakalan sakit berat" kata salah satu teman.
Alhamdulillah kami tidak mengalaminya. Ternyata hujan dan banjir di Masjidil Haram terjadi sesaat setelah kami meninggalkan Mekkah menuju Madinah.
"Kalau saya waktu sekembalinya dari Mina menuju hotel, di perjalanan bis kami terhalang badai pasir. Baru kali itulah kami melihat badai pasir yang menakutkan." ujar teman yang lain.
Subhanallah, perjalanan kami kembali dari Mina tidak terhalang apapun. Kami meninggalkan Mina pada tanggal 13 (Nafar Tsani), sedangkan teman itu kembali dari Mina pada tanggal 12 (Nafar Awwal). Dan berbagai cerita dan kesulitan serta halangan dari banyak orang yang bertemu kami.
Sungguh, aku baru merasakan betapa Allah memberi kemudahanNya. Dan sungguh kemudahan-kemudahan itu menjadi 'keajaiban' tersendiri bagi kami. Pantaslah kalau pembimbing kami selalu mengingatkan agar senantiasa berdo'a memohon kemudahan dan kelancaran.
Beberapa hari setelah waktu kepulangan di tanah air, aku baru sempat membongkar isi koper. Ketika mengeluarkan isinya yang terakhir, sebuah benda mungil terjatuh ke lantai. Kartu GSM ku.
Ketika berhaji kami mengganti kartu GSM kami dengan kartu lokal. Aku sudah merasa menyimpannya baik-baik, tetapi menjelang kepulangan tiba-tiba kartu itu tidak ada di tempatnya. Panik dan sedih lantaran semua nomor penting ada di PhoneBook nya. Suami memintaku mengikhlaskan dan akupun akhirnya lupa. Dan ketika akhirnya ia muncul tiba-tiba padahal ketika di Madinah koper sudah aku bongkar 3-4 kali, aku berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti anak kecil.
Oh, Inilah KEAJAIBAN!
Suatu malam suami menanyakan sesuatu,
"Kalau kita dapat rejeki, adik ingin apa?"
"Ya, mungkin nambah furniture dapur sama renovasi sedikit" ujarku tidak terlampau berharap.
"Kok hanya itu?"
"Lha, emang rejekinya seberapa sih?"
"Cukup buat berhaji!"
"Okhhh!" Giliran aku yang terpana.
Warzuqhum Min Haitsu Laa Yahtasiib. Dan Allah memberi rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.
Sejak tahun pertama pernikahan, sebuah rekening tabungan haji menjadi tempat gantungan cita-cita. Hanya uang 500 ribu yang pertama kali bercokol di sana. Selanjutnya, janji Allah untuk 'mencukupkan rizqi' saja yang kami tunggu, cepat atau lambat.
Allah memenuhi janjinya di saat yang tidak pernah kami duga. Tahun kedelapan, Allah tiba-tiba mencukupkan tabungan yang sebelumnya bahkan belum cukup untuk biaya satu orang. Rizqi itu pun berlebih dan masih bisa menutup KPR dan kredit mobil sehingga tidak lagi menanggung hutang.
KemurahanNya bahkan tidak hanya sampai disitu. Daftar tunggu pun hanya satu tahun saja. Kami membayar porsi haji di pertengahan 2006 dan berangkat di tahun 2007. Subhanallah, inilah sebuah 'panggilan'.
Dan panggilan itu adalah sebuah proses, tidak hanya menunggu.
Dimana Keajaibannya?
Banyak orang bilang kalau punya dosa, nanti ketika haji akan ditampakkan seluruh dosa-dosanya (apakah karena itu yang merasa banyak dosa justru takut berhaji?). Banyak pula yang mengalami pencerahan dan peristiwa-peristiwa ajaib selama berhaji.
Nah, selama berhaji hatiku dag dig dug membayangkan peristiwa ajaib apa yang akan kualami? Oh, jangan-jangan tidak sengaja aku punya kesalahan yang nanti akan kuterima balasannya disana?
Setiap kali menuju Masjid aku mencari-cari mungkin ada kelebat orang berbaju putih-putih seperti dialami seorang ibu yang kubaca di majalah.
Setiap kali Thawaf aku kadang memandang ke atas Ka'bah, katanya ada orang yang pernah melihat jajaran bayangan malaikat yang sujud dan ruku' disana. Tapi yang kulihat hanya sekumpulan burung merpati terbang kesana kemari, tidak berputar-putar layaknya orang Thawaf. Kulihat lagi ke atas menembus hingga ke langit, mungkin aku nanti melihat seberkas cahaya yang indah dan kemilau. Tapi yang aku lihat hanya kegelapan dan kepekatan karena seringkali kami Thawaf di malam hari.
Dan ternyata semua prosesi haji kami berjalan lancar-lancar saja tanpa halangan berarti dan tentu saja tanpa KEAJAIBAN.
Perihal balasan atas dosa-dosa itu aku sempat menanyakan kepada ustadz pembimbing. Menurut beliau tidaklah sepenuhnya seperti itu. Yang benar adalah ketika berhaji, apa yang menjadi kebiasaan, sifat, dan sikap selama di tanah air, akan terbawa dan semakin tampak. Orang yang biasa mengumpat, disana ia akan terbawa mengumpat. Orang yang biasa berkelahi, orang yang biasa mencuri, semua kebiasaan itu akan tampak disana.
Mungkin itu juga yang terjadi pada salah satu pasangan muda dalam rombongan kami. Kebiasaan bertengkar itukah yang membuat mereka pun ramai bertengkar hebat disana dan diakhiri dengan tamparan sang suami. Diketahui oleh seluruh jam'ah dan diselesaikan oleh ustadz pembimbing. Masya Allah.
Tapi akhirnya ada satu peristiwa 'ajaib' juga yang aku alami. Kacamataku pecah terinjak kakiku sendiri akibat kuletakkan sembarangan di atas tempat tidur. Lantas dimana keajaibannya?
Hehe, itu mungkin akibat aku menganggap enteng pesan suami untuk membawa kacamata cadangan sejak dari tanah air dan pesannya tiap hari untuk meletakkan kacamata di tempatnya dalam koper. Jawaban "Iya ... ya" itu yang sering keluar dari mulutku sambil lalu.
Jadilah sisa perjalanan haji aku lewati tanpa kacamata. Dan ajaibnya lagi aku tidak merasa kesulitan bahkan ketika membaca Al Qur'an. Tambah ajaib lagi sampai ke tanah air kacamata pun sudah tidak terpakai lagi, seakan-akan sembuh begitu saja. Tapi tetap saja bagiku, itu bukan keajaiban yang menakjubkan seperti dalam cerita-cerita pengalaman haji orang lain.
Akhirnya 'Keajaiban'
Sepulang ke tanah air, bertemu dengan tetangga dan teman yang bersama-sama haji tahun itu juga hanya saja kami berbeda kloter. Tak terelakkan berbagi cerita bersama.
"Kami mengalami hujan di Mekkah, takut banget. Katanya kalau kena hujan disana kita bakalan sakit berat" kata salah satu teman.
Alhamdulillah kami tidak mengalaminya. Ternyata hujan dan banjir di Masjidil Haram terjadi sesaat setelah kami meninggalkan Mekkah menuju Madinah.
"Kalau saya waktu sekembalinya dari Mina menuju hotel, di perjalanan bis kami terhalang badai pasir. Baru kali itulah kami melihat badai pasir yang menakutkan." ujar teman yang lain.
Subhanallah, perjalanan kami kembali dari Mina tidak terhalang apapun. Kami meninggalkan Mina pada tanggal 13 (Nafar Tsani), sedangkan teman itu kembali dari Mina pada tanggal 12 (Nafar Awwal). Dan berbagai cerita dan kesulitan serta halangan dari banyak orang yang bertemu kami.
Sungguh, aku baru merasakan betapa Allah memberi kemudahanNya. Dan sungguh kemudahan-kemudahan itu menjadi 'keajaiban' tersendiri bagi kami. Pantaslah kalau pembimbing kami selalu mengingatkan agar senantiasa berdo'a memohon kemudahan dan kelancaran.
Beberapa hari setelah waktu kepulangan di tanah air, aku baru sempat membongkar isi koper. Ketika mengeluarkan isinya yang terakhir, sebuah benda mungil terjatuh ke lantai. Kartu GSM ku.
Ketika berhaji kami mengganti kartu GSM kami dengan kartu lokal. Aku sudah merasa menyimpannya baik-baik, tetapi menjelang kepulangan tiba-tiba kartu itu tidak ada di tempatnya. Panik dan sedih lantaran semua nomor penting ada di PhoneBook nya. Suami memintaku mengikhlaskan dan akupun akhirnya lupa. Dan ketika akhirnya ia muncul tiba-tiba padahal ketika di Madinah koper sudah aku bongkar 3-4 kali, aku berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti anak kecil.
Oh, Inilah KEAJAIBAN!
No comments:
Post a Comment