"Mau kemana Umi?"
Umi Ain merapikan jilbabnya dan menyematkan bros mungil sederhana.
"Janjian sama ibu-ibu Bi, kondangan ke walimah anaknya pak Burhan"
"Oh iya, hari ini ya. Hati-hati deh Umi."
"Assalamu'alaikum Abi. Berangkat dulu, titip anak-anak"
"Ya, wa'alaikum salam"
-------------
Setelan blouse dan rok rapi, sandal yang layak dan tidak lupa dompet serta sebuah amplop putih. Umi Ain keluar pagar rumah menunggu ibu-ibu tetangga berkumpul. Pak Burhan adalah salah satu marbot masjid kompleks yang sering membantu-bantu kegiatan warga termasuk kebersihan lingkungan masjid dan perumahan.
Undangan dari tetangga apalagi yang kurang mampu sudah seharusnya jadi prioritas karena mereka sudah bersusah payah mengundang dan menyediakan suguhan.
Rombongan ibu-ibu berdatangan. Mereka janjian berjalan kaki saja, toh jarak rumah Pak Burhan dari gang hanya 200 meter, suara sound sistemnya pun berdentam-dentam jelas terdengar dari rumah Umi Ain. Tapi tak urung Umi Ain terkesima juga melihat dandanan ibu-ibu lain.
Bu Dahlan memakai baju ala Syahrini yang terkenal itu, lengkap dengan pernik-pernik berkelap-kelip dan kerudung modis yang berlapis-lapis.
Perhiasan bu Andari sepertinya dikeluarkan semua dari kotaknya hingga mengeluarkan suara krincing-krincing.
Hampir semua ibu-ibu itu memakai make-up lengkap, sandal hak tinggi dan entahlah yang anak muda bilang namanya wedges, Umi Ain tidak terlalu faham dengan fashion. Plus tas-tas pesta yang cantik-cantik.
Seingat Umi Ain undangan dari Pak Burhan bertempat di rumahnya dan bukan di gedung atau ruang pertemuan masjid tertentu dan tanpa jam tertentu yang berarti tidak ada acara seremonial. Karena itu ia memakai baju kasual yang cukup rapi dan sopan. Toh rumah Pak Burhan ada di kampung samping gang perumahan. Dan mereka sepakat berjalan kaki dan ini sedang musim hujan.
Ah sudahlah, Umi Ain tidak perlu memprotes penampilan ibu-ibu. Toh mereka dengan senang hati bergaya seperti barbie menyusuri gang kampung sambil berkipas-kipas karena matahari sore itu masih sedikit garang.
Limapuluh meter di depan rumah Pak Burhan, jalanan pavingnya rusak disana-sini dan memunculkan tanah basah sisa guyuran hujan. Umi Ain sudah tahu itu karena beberapa kali datang ke rumah Pak Burhan. Di kejauhan tampak pak Burhan dan istrinya menyongsong rombongan dengan hangat dan merasa sangat dihargai, ketika insiden demi insiden mulai terjadi....
"Aduh... sendalku nih.. tolong dong" ujung lancip sandal Bu Dahlan menancap di tanah basah, sulit dibebaskan. Sementara Bu Danang mengangkat roknya tinggi-tinggi karena memang panjangnya hampir menyentuh tanah. Keringat Bu Syahid meleler satu demi satu membawa lunturan bedak.
Umi Ain sibuk membantu sana-sini
Rumah Pak Burhan yang sederhana tak kalah serunya. Pintu rumahnya yang rendah memaksa ibu-ibu sedikit merunduk untuk melewatinya. Kerudung Bu Pais yang menonjol tinggi tak urung tersangkut juga. Aduh, mudah-mudahan kain paris mahalnya nggak ada yang robek, Umi Ain berdo'a dalam hati.
Dan puncaknya adalah, acara dilaksanakan dengan cara lesehan di tikar yang mengalasi lantai semen yang sudah retak di sana-sini. Suguhan kue dan makanan mulai berdatangan. Tapi tampak sekali ibu-ibu tidak bisa menikmatinya. Sibuk melepas sandal, mengamankannya dan berkipas-kipas kepanasan. Belum lagi merapikan kerudung atau rok yang terlipat-lipat dan kusut karena duduk di lantai.
Umi Ain tersenyum kecil, yah ibu-ibu... kalau mau kondangan dilihat dulu situasi kondangannya. Alias dandanan disesuaikan dengan situasi dan tempatnya. Bukan asal pengen dandan cantik dan gemerlap saja. Bagi orang kecil seperti Pak Burhan, kedatangan kita saja sudah cukup membuat beliau bahagia.
No comments:
Post a Comment