Malam beranjak di 10 hari terakhir Ramadhan. Tarawih berjama'ah di masjid telah usai, dilanjutkan dengan lantunan tadarus anak-anak desa. Beberapa kali terdengar suara orang dewasa mengoreksi bacaan Al Qur'an mereka.
Modin Atmo tidak biasanya pulang cepat dari masjid. Melangkah masuk melewati pintu rumah kayu jati yang kokoh. Suara dehemnya membangunkan istrinya yang baru saja merebahkan diri di kamar.
"Sampun kondur, pak?" Istri Modin Atmo melongok dari balik pintu.
"Iya bu, ini mau nemani Zein"
Modin Atmo bersandar di kursi sebelah Zein, anak keduanya yang sedang menonton teve. Istrinya kembali berbaring di kamar. Sesekali Modin Atmo berkomentar tentang acara teve bersama anaknya.
Pukul sebelas malam itu, malam Jum'at terakhir di bulan Ramadhan, Modin Atmo beranjak keluar rumahnya untuk meludah. Sejurus kemudian terdengar langkahnya tergesa masuk kembali. Nada suaranya berubah, ketika memangil-manggil istrinya.
"Bu.. bu.... mrene, bu!.. cepetan, bu!..." Modin Atmo kali ini berbaring membujur di kursi panjang.
Kalimat yang hampir seperti kata perintah itu membuat istri Modin Atmo terlonjak, segera mendatangi suaminya.
"Inggih, wonten nopo, pak?" Istri Modin Atmo dan Zein mendekati sang Modin. Air mukanya berubah memucat.
"Bu, sudah waktunya bu. Ini sudah waktunya saya meninggal, bu. Sudah dekat....".
Istri Modin dan Zein saling memandang. Risau.
***************
"Para bapak dan ibu warga dusun Gambiran. Sekali lagi saya sampaikan. Saya sudah menjadi modin di dusun ini lebih dari tiga puluh tahun. Dan Insya Allah saya tetap bersedia mengabdikan diri sebagai modin sampai akhir hayat saya." Suara Modin Atmo dari corong Masjid Sabilil Muttaqien menggema ke seluruh penjuru desa. Hal yang selalu beliau sampaikan di sela-sela kegiatan pengajian di Masjid.
"Dan bapak ibu juga sudah tahu semua. Saya tetap memegang teguh prinsip saya. Barangsiapa warga dusun Gambiran ini yang tidak menjalankan sholat meskipun beragama Islam, maka kalau meninggal, saya tidak bersedia menshalatkan. Sekali lagi saya katakan, ini sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi. Beliau tidak menshalatkan orang yang selama hidupnya tidak mau menjalankan kewajiban shalat lima waktu."
Hadirin pun manggut-manggut. Beberapa orang warga yang tergolong baru, saling berbisik sembari memandang Modin Atmo penuh tanda tanya.
"Jadi bapak ibu, saya harapkan bapak ibu semua menjalankan sholat. Meskipun masih rubuh gedhang, yang penting ikut sholat dulu. Mangertos, nggih!"
"Nggiiiiiiiihh.. "
Usai ceramah, Lurah Abdi mendekati Modin Atmo.
"Pak Modin, jaman sekarang masak harus keras seperti itu. Bagaimana nanti kalau didemo keluarga si mayit kalau tidak disholatkan." Lurah Abdi menepuk bahu Modin Atmo lembut.
"Pak Lurah, meskipun saya ditembak, saya tetap tidak mau mensholatkan. Ya monggo kalau panjenengan mau mensholatkan sendiri. Pokoknya saya tidak mau." Wajah Lurah Abdi pun memerah.
Setidaknya, selama jabatan modin masih melekat pada Modin Atmo, seluruh warga takut bila ketahuan tidak pernah menjalankan sholat. Sebagai orang Islam atau ber-KTP Islam, merupakan sebuah aib yang memalukan bila saat meninggalnya tidak disholatkan.
Dalam catatan jabatannya, 'hanya' dua kali Modin Atmo tidak mensholatkan warga yang meninggal. Pertama, seorang warga yang diketahui berdasarkan saksi para tetangga tidak pernah menjalankan sholat. Dan kedua, seorang warga yang mati bunuh diri.
Pada keduanya, Modin Atmo hanya memandikan, mengkafani dan menguburkan saja. Karena sang modin tidak mensholatkan, otomatis warga yang lain juga enggan atau takut mensholatkan. Jadilah istilah orang Jawa, matinya di-glundung-kan saja. Tanpa sholat dan tanpa do'a. Hanya sekedar dikubur agar bangkainya tidak mengganggu orang lain.
***********************
"Pak, apa ada yang dirasa sakit? saya pijeti ya, pak." Istri Modin memijit-mijit kaki dan lengan Modin Atmo.
"Ndak ada bu, ndak ada yang sakit. Lho bu, ini sudah dekat. Benar bu, saatnya sudah dekat ini. Panggilkan semua anak-anak, bu." Modin Atmo terus berbicara dengan tenang.
Dengan isyarat, istri Modin meminta Zein lebih mendekat, juga Risma, anak perempuannya beserta Joko sang menantu yang baru saja pulang dari Masjid. Risma menopang kepala ayahnya di sisi kanan.
"Istighfar nggih, pak. Bapak jangan bicara macam-macam. Insya Allah bapak nanti sehat." Risma berbisik di telinga sang ayah. Wajahnya masih diliputi kebingungan. Bukankah ayahnya tidak menunjukkan gejala sakit apapun. Bahkan beberapa jam yang lalu masih menjadi imam tarawih.
"Ndak nduk, ini sudah dekat. Do'akan bapak ya." Modin Atmo memejamkan mata perlahan.
Istri Modin mengangkat tangan dan berdo'a "Ya Allah, ampunilah kami sekeluarga. Paringono kesehatan dumateng bapak, lan seger kuwarasan."
"Nduk.... Le.... bu.... Sepurane bapakmu iki. Selalu do'akan bapak ya. Insya Allah sudah dekat. Allah... Allah... Astaghfirullah... Laa Ilaaha Illallah..."
Modin Atmo meletakkan kedua tangannya bersedekap di dada. Bibirnya terus lirih mengucap istighfar, takbir dan tahlil.
Risma, dengan wajah yang masih sulit percaya, mengambil tangan ayahnya dan meluruskannya dari posisi sedekap. Tangannya terus menopang kepala sang ayah.
"Allaaaaah.........."
Satu hentakan suara terakhir dari bibir Modin Atmo, kepalanya terkulai jatuh ke pelukan Risma di sisi kanan.
Tidak ada tangisan pecah. Semua tertahan di dalam dada ibu dan anak-anak itu....
(Based on true story. Seperti dituturkan istri modin. Nama dan tempat disamarkan)
No comments:
Post a Comment