Tak ada satupun Cermin yang sempurna Bersih. Pasti ada goresan atau titik hitam yang menyebabkan kita diwajibkan melakukan pembersihan dalam setiap waktu
(cuplikan kata orang terkenal)
Intisari nasehat ustadz dalam sebuah kajian Tazkiyatun Nafs.
Hati manusia (Qalb) dalam dada (Shadr) ibaratkan sebuah cermin. Ia merefleksikan atau memantulkan apapun cahaya yang menimpanya.
Bila cermin itu bersih, maka kita akan dapat memakainya untuk bercermin. Ia akan memantulkan dan menampilkan wajah kita apa adanya. Yang buruk, yang cantik, yang sedih, yang marah, yang bersemangat. Juga dapat untuk mengukur diri kita, pendekkah, kecilkah, besarkah, mampukah, atau bahkan bila sama sekali tidak pantas.
Sebaliknya bila cermin itu kotor, penuh debu, noda, bahkan tanah liat, maka kita tidak lagi bisa bercermin di sana. Semakin tebal kotorannya maka semakin sedikit bahkan tidak ada samasekali cahaya yang dapat menembusnya. Padahal cahaya itulah sebagai sumber petunjuk dan penerang hati. Maka dapat dipastikan Hati menjadi gelap gulita, tidak peduli, dan akhirnya menjadi sekeras batu.
Noda dalam cermin itu bermula dari hal-hal yang kecil dalam keseharian yang seringkali kita tidak sengaja. Dalam sholat dan dalam ibadah kita sehari-hari, selalu istighfar dan permohonan ampun yang kita ucapkan. Adalah untuk membersihkan cipratan-cipratan debu dan noda itu, supaya hati kembali menjadi terang dan bersih.
Setiap hari saja selalu ada noda yang tak sengaja mengotori cermin itu dan harus segera dibersihkan terus menerus, namun adakalanya justru manusia itu sendiri yang sengaja melempar 'lempung' di muka cerminnya sendiri.
Perbuatan mencuri (termasuk di dalamnya korupsi yang terang-terangan dan tidak terang-terangan), perbuatan maksiat (mulai alasan TTM, selingkuh hingga perzinaan), sampai kepada perbuatan syirik (datang ke dukun, paranormal, atau kah "kyai").
Berapa percepatan 'pengotoran' kita pada cermin dibanding kecepatan untuk upaya menghapusnya?
Bila seseorang sudah merasa beribadah dengan tunduk, khusyu', setiap hari bertahajud, wirid, do'a bersama. Kemudian diiringi dengan korupsi, memanfaatkan jabatan, selingkuh, bahkan datang ke dukun peramal. Siapakah yang bisa menjamin bahwa cermin itu selalu terjaga bersih? Apalagi bila noda yang tiap hari dilemparkan tergolong noda berat dan sulit dibersihkan.
Apalagi bila sengaja melemparkan kotoran tebal, dengan kualitas ibadah yang 'pas-pasan'?
Bukankah dalam beribadah itu manusia hanya melihat lahirnya saja, akan tetapi nilai dan pahala itu hanya Allah saja yang tahu.
Bukankah di akhirat nanti ada orang yang dalam keadaan bangkrut ketika seluruh amal ibadahnya yang luar biasa banyaknya itu hangus tak bersisa alias tak ada nilainya.
Dan bukankah mendatangi peramal (yang bisa memberitahu tentang kejadian esok hari) sama dengan menghanguskan 40 hari ibadahnya yang akan datang? Sia-sia ...... sungguh sia-sia.
Cermin Hati yang telah kotor dan sengaja dilempari sendiri dengan kotoran-kotoran yang lain, telah kehilangan fungsinya. Tidak bisa lagi merefleksikan apa yang ada di depannya. Tidak bisa lagi menerima cahaya untuk penerangnya. Tidak bisa lagi menerima dengan jernih peringatan-peringatan dan kebaikan-kebaikan yang ditawarkan orang lain. Tidak bisa lagi mendengar refleksi orang terhadap dirinya. Karena telah begitu tebal dakinya.
Satu-satunya ... cara untuk menembus kotoran yang demikian tebal itu hanyalah ....... DO'A
Do'a seorang ibu dan do'a seluruh kaum muslimin.
Sepotong do'a akan mencari jalannya dan menembus cermin yang buram. Menusuk pada kekuatan sang cermin dan melelehkan energi kekotoran yang mengikat kuat. Sehingga seberkas cahaya akan mudah masuk dan kekuatan refleksi sang cermin akan kembali.
Mari kita satukan kekuatan do'a kita.
wow... hebat!!!
ReplyDelete