Semua Salah Saya ......
Pak Oerip satu-satunya jamaah haji dalam rombongan yang terlihat sakit berat. Stroke telah 'memakan' separuh badan kanannya. Setiap berjalan bertopang lengan anak lelaki atau istrinya yang juga tertatih-tatih oleh osteoarthritis. Ya, Pak Oerip berhaji bersama anak lelaki, istri, dan menantunya.
"Semua salah saya, Jeng. Saya banyak menyakiti istri dan anak-anak saya."
Saya dan suami mendengarkan dengan seksama.
"Ketika muda, kerja saya adalah sopir antar pulau. Uang saya banyak tapi saya jarang pulang ke rumah. Saya suka main perempuan bahkan punya istri muda. Saya juga suka marah pada istri dan anak-anak saya. Istri saya mengurus anak-anak saya sendirian. Sungguh dia istri yang tegar. Bahkan juga mencari tambahan penghasilan buat sekolah anak-anak sampai mereka semua lulus kuliah."
Saat itu Pak Oerip dititipkan kepada kami di hotel, karena menantu dan anaknya mengantar Bu Oerip pergi ke Roudhoh di Masjid Nabawi.
"Sampai suatu hari saya terserang stroke. Istri muda saya tidak mau merawat saya dan minta bercerai. Saya pulang kembali ke istri dan anak-anak. Mereka menerima saya dalam keadaan begini."
Setitik air bening mengambang. Kata-katanya yang terucap agak cadel cukup menggambarkan penderitaannya kala itu.
"Saya sakit parah, tidak bisa bicara dan bergerak samasekali. Istri saya tetap merawat saya. Saya menerima kalau dia mengeluh dan marah pada saya. Memang semua salah saya. Segala omelannya itu tidak sebanding dengan kelakuan saya menyakiti hatinya. Sejak saat itu saya bertaubat, memasrahkan semuanya pada Allah swt. Alhamdulillah, Allah masih berkenan memberi saya kesempatan berhaji ini."
Pak Oerip bisa menjalani semua prosesi haji, meskipun dari atas kursi roda. Bahkan di Mina, seluruh jama'ah bergantian mendorong untuk membantunya sampai ke Jamarat, melempar jumrah. Beliau pulang ke tanah air dengan selamat.
Ini Tabungan Anak Saya, Bu Dokter ...
"Alhamdulillah, bapak bisa berhaji berdua bersama istri, ya" ucap saya suatu hari di sela tugas saya memeriksa kesehatan Calon Jama'ah Haji. Umur mereka belum terlampau tua untuk ukuran CJH di desa yang rata-rata berangkat haji kala usia telah senja.
"Nggih, alhamdulillah bu, pandonganipun (do'anya, jw). Ini uang tabungan anak saya, bu dokter." kata si bapak.
"Saya ini tukang becak, lha ibuknya jualan ikan di Pasar Pahing"
Saya terkesima. Kulit si bapak yang legam dan lengannya yang kekar memang menunjukkan beliau adalah pekerja keras.
"O, ya. Bagaimana ceritanya, pak?"
"Anak kami 2 bu dokter. Anak saya tiap kuliah kami bekali dengan tabungan. Maksud kami buat biayanya sampai lulus. Pokoknya tiap hari kami selalu menyisihkan buat ngisi tabungan. Ini anak saya sudah lulus semua dan ternyata anak saya mengembalikan kelebihan biaya kuliah yang ada di tabungannya itu. Ya, tabungan itu yang kami pakai buat berangkat haji sekarang ini. Alhamdulillah bu dokter, wong ngatase kulo tukang becak kemawon (orang saya ini cuma tukang becak saja, jw)."
Subhanallah, meskipun beliau hanya tukang becak tapi keinginannya berhaji mengalahkan keinginannya akan rumah, kendaraan, atau kemewahan dunia lainnya.
Pasangan Sederhana
Datang mengunjungi pasangan ikhwan-akhwat itu bersama keluarga di rumah yang sedang-sedang saja dan tidak berkesan mewah. Tidak ada mobil yang parkir di carport, hanya sebuah motor bebek biasa.
Ketika memasukinya semakin terlihat kesederhanaan hidup mereka. Tidak ada sofa cantik, tidak ada perabot kayu mahal, tidak ada hiasan dinding indah. Ruang tamu hanya berhampar karpet biasa dan sebuah meja lesehan mungil. Namun sambutan hangat selalu terasa dari setiap tutur kata dan bahasa tubuh. Anak-anak pun nyaman dan gembira.
Kunjungan itu dalam rangka menyambut mereka pulang berhaji. Ya, pasangan sederhana itu baru saja berhaji.
Sang suami adalah pegawai lembaga penelitian pemerintah, sedang sang istri ibu rumah tangga dengan sedikit usaha jahit-menjahit yang dilakukannya sendiri.
"Alhamdulillah, kami nabung sedikit-sedikit. Bagi kami haji harus masuk prioritas karena termasuk rukun Islam setara dengan sholat, zakat, dan puasa. Insya Allah dengan sedikit usaha setiap orang akan mampu melaksanakannya. Asalkan kebutuhan yang pokok sudah terpenuhi" Urai pasangan itu penuh hikmah.
Kunjungan itu pula yang semakin memantapkan kami untuk meneruskan niat berhaji. Sejujurnya ada sedikit rasa malu dalam hati. Bukankah bagaimanapun juga kehidupan kami terasa lebih mewah. Rumah yang sedikit lebih besar, perabot rumah yang sudah tidak bisa nambah lagi kecuali harus mengeluarkan yang lama, motor, mobil, dan barang-barang yang kadang harus branded.
Jadi, apalagi halangan kami? Haruskah menunggu umur yang makin tua dan uang lebih? Barangkali memang tidak menjadi ke-umum-an bila kami berhaji sekarang. Anak-anak masih sekolah, bukan termasuk orang yang kaya raya, dan belum mapan.
"Kriteria 'mampu' untuk berhaji adalah ada biaya untuk melakukan perjalanan dan hidup di sana dan ada yang ditinggalkan untuk biaya hidup keluarga dengan layak. Kriteria mampu bagi kami bukanlah mampu untuk selamatan, mampu untuk membeli oleh-oleh mahal, dan mampu membawa uang saku berlimpah." lanjut mereka bijak.
Hmm, betul juga kriteria mampu bukanlah pula harus mempunyai rumah besar dan mewah, menunggu anak-anak dewasa dan selesai sekolah, apalagi harus menunggu dibiayai dari menjual sebagian tanah atau sawah.
Bukankah sudah ada penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidup dengan layak, anak-anak tetap bisa sekolah di sekolah yang layak yang bahkan tidak murah itu, dan masih ada dana pula untuk selamatan secukupnya dan oleh-oleh sepantasnya.
Belajar dari pasangan sederhana itu sungguh membuat kami ringan melangkah.
Ibu Renta
Pertama kali keluar dari maktab untuk menunaikan umrah haji ba'da Isya', saya dan suami sengaja mengambil tempat paling belakang dari barisan rombongan. Antara lain sebagai bentuk tanggungjawab suami sebagai salah satu ketua regu. Perjalanan 2 km menuju Masjidil Haram ditempuh dengan langkah-langkah cepat seirama dengan kelompok di barisan depan, membelah arus manusia yang hilir mudik. Tanda saputangan batik di leher masing2 anggota membuat kami tidak takut tersesat atau salah mengikuti rombongan orang lain.
Satu kilometer sebelum mencapai masjid, tepat di depan kami dua orang wanita tua anggota jama'ah yang tercecer di belakang. Berjalan tertatih-tatih.
Rupanya Mbah Siti, salah satu dari kedua wanita itu, mengalami gangguan nyeri punggung yang hebat bila dipakai untuk berjalan jauh. Jadilah kami mengawal mereka berdua dan berjalan perlahan-lahan dengan diselingi istirahat setiap 10 meter. Bu Sri, wanita yang lebih muda rupanya adalah adik ipar Mbah Siti, tertatih-tatih memapah kakaknya. Jadilah kami tidak hanya mengawal tapi juga bergantian memapah agar Mbah Siti bisa berjalan tegak.
Kelebat saputangan batik dari rombongan di depan makin lama makin tenggelam dalam kerumunan arus manusia. Rupanya teman-teman rombongan tidak menyadari kami berempat tertinggal di belakang.
Dengan perjuangan keras kami sampai di Masjidil Haram. Meski sempat tertinggal dengan jama'ah lain yang sudah melakukan umrah, pembimbing (setelah berhasil kami kontak lewat HP), akhirnya mengawal kami untuk melakukan umrah. Alhamdulillah, semua prosesi sejak thawaf hingga sa'i berjalan sempurna, meski tertatih-tatih dan bergantian merelakan bahu jadi tumpuan.
Ibu dan nenek baru! Selanjutnya keakraban itu mengalir begitu saja.
"Mbah Siti orang terpandang dan kaya di desa, Jeng. Anak Lurah dan suaminya pun jadi Lurah. Jadi sejak kecil nggak pernah kangelan (menderita kesulitan, jw)." Bu Sri yang energik itu memulai ceritanya.
"Anak-anaknya semua sudah sukses. Ada yang jadi dokter spesialis, ada yang dokter gigi, dll."
"Oh .... "
Aku hanya berfikir seandainya aku memiliki ibu yang renta akankah aku biarkan berangkat haji sendiri sementara aku sudah cukup mampu untuk berangkat pula?
Ah, setiap orang punya pertimbangan. Mungkin anak-anaknya yang tidak sempat atau sebuah halangan membuat mereka tidak punya pilihan lain.
TKHI
Dokter yang satu ini kakak kelas, sedang mengambil pendidikan spesialis. Berteman baik dengan suami karena kegiatan masjid antar kampus. Bertemu beliau di Mekkah adalah sebuah kejutan yang menyenangkan.
Kadang dia tiba-tiba saja muncul di belakang kami ketika kami sedang bergandengan tangan menyusuri Ibrahim Khalil Road menuju Masjidil Haram.
"Duh, enaknya kalau haji berdua" Ujarnya setengah menggoda.
"Makanya mas, istrinya cepetan diajak juga. Masa sampeyan terus bolak-balik" suami membalasnya.
Ya, dokter yang satu ini adalah petugas TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia). Ia datang mendahului kloter pertama dan pulang setelah kloter terakhir terbang. Thawaf dan mencium Hajar Aswad sampai bosen. Bagaimana tidak, wong dia bisa Thawaf ketika Jama'ah Haji masih sepi. Dan satu lagi, ia menjadi petugas tidak hanya sekali. Itulah keuntungan jadi TKHI, bisa berkali-kali haji, memenuhi kebutuhan ruhani, tanpa keluar duit eh malah dibayar.
Nah, giliran kami ketiban untung juga. Datang ke tempat tugasnya, pulang dapat sekantong obat bagus untuk kebutuhan jama'ah satu rombongan.
Seorang temannya sesama petugas menghampiri saya. Dokter wanita yang terkesan berwajah kaku.
"Tugas dimana, dik?"
"Oh, saya di Puskesmas mbak"
"Gak sekolah lagi?"
"Eng ..., nggak tahu ya mbak. Sepertinya lebih berat ke anak-anak"
"Emang dokter di Puskesmas bisa dapet ilmu apa? Cuma begitu-begitu aja. Masa depan suram"
Kalimat terakhir memang menghujam, tapi saya tersenyum. Meski 'cuma' jadi dokter di Puskesmas desa tapi nikmat sekali punya kesempatan luas berhaji berdua dengan suami tanpa perlu jadi TKHI, berwajah tegang dan kelelahan.
Dan satu lagi, bukankah dimanapun tempat kita ada banyak hal berguna yang bisa kita lakukan. Mendulang pahala dan keberkahan hidup, mereguk kenikmatan dunia akhirat.
No comments:
Post a Comment