Dalam sebuah acara pertemuan di sebuah Yayasan Islam, tibalah saatnya perjamuan makan siang. Perjamuan terbagi dalam 2 ruang, untuk kaum lelaki dan untuk kaum wanita dg sistem Prasmanan alias masing-masing orang mengambil sendiri.
Sebuah meja besar sudah terhidang aneka makanan dan minuman. Entah karena sudah sangat lapar ataukah terburu-buru ingin segera pulang, para ibu berdesak-desakan mengambil makanan tanpa perlu ada antrian. Satu demi satu semua makanan sudah berpindah ke piring-piring. Teriakan-teriakan para ibu membuat kalang kabut panitia.
"Bu, satenya nih HABISS !!!"
"Ya, ini juga nasinya tambahin !!!"
"Eh, mana ini kok tinggal kuahnya, pancinya aja sekalian bawa ke sini!!"
Karena merasa masih muda dan tidak terbiasa berebutan, saya memilih pelan-pelan mengikuti arus dan memberi kesempatan ibu-ibu yg lebih tua dengan prasangka baik bahwa hidangannya masih mencukupi.
Akhirnya tiba di meja dan usai mengambil piring, nasi sudah habis dan panitia tidak lagi muncul membawa tambahannya. Saya mengambil 3 potong lontong yg potongannya setengah hancur. Terpikir anak saya yg tidak suka lontong, tapi saya segera menghibur diri, alhamdulillah anak-anak sudah makan bekal roti dan susu. Kalaupun masih lapar, toh sepulang dari acara ini masih bisa mampir ke Warung Makan.
Sampai di piring lauk, sudah tinggal tulang bandengnya saja. Sampai di tempat soto kikil, hanya sesendok kuah yg mampu masuk ke piring. Satu buah kerupuk cukup melengkapi. Setelah itu tidak ada lagi. Padahal di belakang saya masih ada belasan orang yg berjajar.
Bismillah. Cukuplah untuk mengganjal perut yg pagi tadi lupa sarapan karena sibuk mempersiapkan anak-anak.
Usai memindahkan isi piring, pandangan saya berkeliling. Astaghfirullah, sungguh pemandangan yang membuat hati teriris. Piring-piring bekas makan yg berserak di meja, di bawah bangku, di dekat tong sampah. Bukan itu yang membuat makin sedih, tapi makanan yang masih tersisa di atasnya. Potongan daging yang tidak habis digigit, bertusuk-tusuk sate yang terserak bahkan tumpah di tanah, nasi yang teronggok begitu saja menunjukkan bahwa si empunya piring mengambil porsi yang melebihi kemampuan makannya. Pemandangan itu begitu kontras mengingat banyak orang yang tadi tidak kebagian. Sungguh jauh pula dari gambaran akhlak seorang Muslim seperti yang telah diajarkan oleh Nabi SAW.
Seandainya setiap orang mengambil 'SECUKUPNYA' maka panitia tak perlu kalang kabut dan malu. Seandainya setiap orang tidak merasa 'takut tidak kebagian' maka tidak ada yang mengambil BERLEBIHAN. Seandainya setiap orang mengingat temannya yang lain dan tidak mengambil sikap 'aji mumpung' maka tidak akan ada kesenjangan KEKENYANGAN-KELAPARAN.
Sikap 'SECUKUPNYA' sesungguhnya mencakup segala hal dalam kehidupan. Kalau kita sudah cukup 1 piring, tak perlu mengambil 2-3 piring, kalo badan kita hanya bisa menyetir 1 mobil tak perlu mengkoleksi 2-3 mobil untuk setiap pagi dipanaskan saja. Kalau kita sudah cukup dengan uang belanja yang diberikan suami maka tak perlu menuntut sehingga sang suami harus korupsi Kalau kita sudah cukup ............ dan lain-lain.
Kapan kita merasa 'cukup'? Adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan kemampuan kita mengukur diri sendiri. "Kalau membuat Baju ukurlah Badan sendiri" begitulah kira-kira maknanya. Nah, sayangnya lebih banyak yang merasa "bisa dan mampu" dan mengakibatkan selalu merasa "TIDAK CUKUP"
Seandainya salah seorang dari kita ditawarkan sebuah jabatan yang menggiurkan, akankah kita mencoba mengukur kemampuan diri sendiri dan akhirnya menolak "Maaf saya tidak berkemampuan memegang jabatan itu, saya merasa cukup ada di bidang yg saya geluti sekarang" ataukah yang lebih banyak menerima karena merasa mampu dan tidak cukup lagi dg jabatannya yg sekarang?
Wallaahua'lam. Semoga Alllah SWT menganugerahkan perasaan "CUKUP" sehingga kita senantiasa bersyukur terhadap apa yang kita terima. AMIN
hihihi... lucu. masak begitu aja rebutan. apalagi sumpek-sumpekan gitu. aneh? benar-benar aneh?
ReplyDelete