Beberapa teman bertanya
"Gimana sih caranya biar anak suka baca?"
"Les bacanya dimana Bunda?"
"Ngajarinya gimana ya? Kok anakku susah banget diajarinya?"
Pertanyaan itu meluncur bertubi-tubi ketika melihat anak-anak yang tidak keluar-keluar dari perpustakaan sekolah (sampai saya harus merayu mereka pulang), lebih tertarik buku baru ketimbang Play Station atau cara mereka menjelaskan sesuatu yang menunjukkan banyak referensi bahkan kadang-kadang imajinasi yang 'aneh'.
Saya tidak mempunyai teori khusus dan tidak menerapkan metode tertentu, tapi mungkin sharing pengalaman bisa memberi sekedar inspirasi.
Sejak mereka bayi banyak hal yang bisa menjadi stimulus bagi mereka. Suara-suara ibu, nyanyian, kadang bercerita sendiri (pada awal saya bercerita pada bayi pertama saya rasanya memang agak aneh... ngomong sendiri... hihihi).
Sejak mereka 'melek' segala bentuk dan segala warna adalah stimulus yang menyenangkan. Dari sekedar menempel bentuk dari kertas lipat warna-warni di dinding, mainan balok berwarna dan bergambar, hingga bentuk-bentuk huruf di Play Mat.
Ketika mereka mulai menyusun Play Mat, saya melompat ke huruf A dan meneriakkan riang, "Wow ini A". Lalu saya melompat lagi ke huruf H ... "Ini H ... seperti Hanif..." lalu dengan senang hati kaki kecilnya ikut melompat ke sebuah huruf... "B..." teriak saya riang.. dan seterusnya hingga saya capek berteriak meski kakinya tidak lelah menginjak deretan huruf.
Segala benda bisa jadi media belajar. Guling kecilnya diletakkan lurus, ia pun berteriak senang... "Iiii..."
Kemudian guling itu ditekuknya sedikit.... "eeeL..." Lalu dilengkungkan berkelok-kelok dan jadilah "..eeeSS"
Playdough, adonan kue donat atau apapun yang ada di sekitar rumah adalah media belajar yang tak habis-habis.
HOREEE... AKU BACA ....
Setiap anak adalah peniru ulung. Setiap anak punya rasa ingin tahu yang luaaar biasa besar.
Ketika orang tua ingin anak suka membaca, maka berilah contoh dan mereka akan meniru dengan mudah.
Sebuah buku bergambar warna-warni dengan sedikit kalimat jadi pancingan pertama. Saya membaca ceritanya dengan asyik dibumbui sedikit improvisasi pada kalimat dan intonasi. Yang paling menarik adalah cerita lucu dan cerita seru. Kalau mereka mendekat ingin tahu, maka jari saya menunjuk dimana kalimat yang berbunyi seru itu. Tidak perlu mengajak apalagi memaksa. Bukankah anak-anak selalu ingin tahu? Maka buat mereka penasaran.
Bisa jadi buku itu akan mereka rebut dan dipandang lekat-lekat. Dan ketika sang buku 'tidak bercerita lagi' mereka tinggalkan atau malahan disobek. Itulah kesabaran dan itulah sedikit harga yang harus dibayar. Hanya ulangi dan ulangi sampai mereka mengerti bahwa si buku hanya akan bercerita kalau dibaca.
Mengenal buku dari gambar? Mengapa tidak?
Selembar brosur promo dari supermarket pun boleh jadi awalan. Gambar benda-benda yang mereka kenal seperti susu, sikat gigi, odol dan bedak boleh jadi. Tangan kecilnya menunjuk pada gambar dan mereka menyebutnya riang. Yang belum mereka kenal akan muncul sebagai sebuah kata tanya "Apa ni?" dan saya menyebutkan merek yang tertulis di sana. Lama-lama saya menyadari bahwa mereka juga hafal bentuk font dan kata dalam benda-benda itu.
Dan ketika mereka sudah tahu beberapa huruf atau kata, lingkungan sekitar adalah media yang tidak terbatas. Tulisan di baliho, rambu jalan, penunjuk jalan, bungkus makanan, semua akan menajadi hal yang menarik. Bahkan sebuah perjalanan akan berisi penuh dengan pembelajaran. Keuntungannya anak-anak akan belajar dengan senang hati dan lebih kaya akan kosakata, bentuk huruf, warna dan sebagainya.Sebagai orang tua hanya perlu menaikkan level kesabaran meladeni semua keingintahuan mereka.
Lebih mudah sebenarnya mengarahkan adik bila kakak-kakak telah melewati proses 'membacanya'. Bukankah anak adalah peniru ulung? Maka adik adalah peniru kakak yang sangat baik.
Ketika kakak-kakak mencapai keasyikan membaca, maka adik tidak mau kalah. Ia juga mengambil buku, meskipun kadang merebut apa yang dibaca si kakak dan meskipun, tentu saja, adik belum bisa membaca.
"Adik, ceritanya bagus lho... ayo dibaca" kata si kakak.
Adik membuka buku pada halaman yang disukainya kemudian diam terpekur memandang gambar atau tulisannya.
"Kok kamu belum baca?" kata kakak
"Aku baca dalam hati kok.... " jawab adik diplomatis dengan mimik yang tidak mau dianggap enteng.
Tentu saja saya tertawa, karena adik memang belum bisa baca tapi ia tidak mau kalah. Saya tidak perlu membandingkan dengan kakak-kakaknya. Yang saya perlukan hanyalah menciptakan suasana yang menyenangkan bagi kakak dan adik untuk berinteraksi dan terjadi transfer ilmu yang efektif. Mengajari kakak sekaligus memberi kepercayaan kepada adik bahwa dia pasti akan bisa.
Mulai belajar membaca sekaligus akan diikuti dengan belajar menulis. Soal media? Wow, rumah kita menyediakan segalanya. Menulis di pasir? Menulis atas kue donat? Bahkan menulis dengan jari di punggung buat ditebak. Lucunya anak-anak suka karena mereka pun kegelian... hehehe..
Jangan sakit hati kalau anak-anak menulis di lantai atau dinding rumah. Ada juga sih yang menyediakan kertas khusus atau papan tulis atau kertas karton lebar yang ditempel di dinding khusus untuk corat-coret anak.
Tapi tahu kan anda, ketika media itu tak cukup lagi menampung ide mereka, maka dinding yg indah itu akan sangat menggiurkan. Kosong, besar, tinggi, ... sebesar dan setinggi angan-angan mereka.
Mula-mula coretan itu hanya 30 senti dari lantai, makin tinggi seiring tumbuhnya badan mereka. Dan wow akhirnya mereka mengambil kursi dan naik di atasnya hingga mencapai coretan tertinggi....
Maka saya tinggal mengecatnya kembali bila sudah penuh, tapi lama-lama capek juga mengecat karena generasi pencoret terus dilanjutkan oleh si adik dan adik berikutnya.
Nggak pernah tertarik dan nggak pernah terpikir. Pada beberapa anak mungkin hasilnya sangat bagus dan memuaskan, tapi saya tahu pada anak saya tidak akan berlaku demikian. Diantara alasan orang tua memutuskan les adalah karena target masuk SD favorit yang salah satu ujian masuknya adalah lancar membaca dan menulis.
Soal 'kebisaan' membaca saya tidak pernah menetapkan target waktu. Dan soal masuk SD, saya tentu memilih SD yang satu visi dengan saya bahwa syarat masuk SD tidak harus sudah lancar baca tulis. Tapi saya sungguh bersyukur, rata-rata anak saya sudah bisa membaca menjelang naik ke TK B, dan ketika SD mereka bahkan sudah membaca buku cerita lengkap dengan intonasinya yang baik.
Ketika TK, para guru dan kepala sekolah menginformasikan kepada orang tua bahwa kurikulum membaca diajarkan juga tetapi dengan porsi yang tidak berlebihan dan menyesuaikan perkembangan anak. Ada pula buku acuan belajar membaca yang mereka punyai mulai jilid 1 sampai 5.
Saya membiarkan anak mengikuti kurikulum sekolah, dan ketika di rumah saya tidak perlu mengulangi dengan buku yang sama (yang membosankan dan monoton dengan font huruf standar, ini menurut saya lo).
Maka cara saya mengecek kemampuan baca mereka adalah dengan langsung mengajak mereka membaca, apakah itu buku, koran atau majalah yang begitu kaya warna, dan punya berbagai macam bentuk font dan ukuran.
Saya membaca dengan jari telunjuk menelusur dimana suku kata yang berbunyi seperti yang saya ucapkan itu. Tahukah anda? Cara berfikir anak-anak tidak selalu berurutan mulai A sampai Z. Tapi pikiran mereka melompat-lompat dengan percepatan yang luar biasa. Jadilah mereka tidak pernah menyelesaikan jilidnya di sekolah, belum selesai jilid yang ketiga mereka sudah bisa membaca apa saja.
Lain kakak, lain juga adik. Ketika jaman si kakak, buku, koran dan majalah cukup, dan kami belum punya unit komputer. Ketika kami sudah memiliki PC, eksplorasi adik lebih banyak disana. Boleh juga dimulai dari EduGames, tapi si adik malah memulai dari Word, Power Point dan Excel. Dengan melihat ibu dan ayahnya bekerja di komputer rupanya cukup buat bekal eksplorasinya. Sekali lagi, bukankah anak adalah peniru yang ulung?
Begini cara belajar si adik (dan saya tidak harus menungguinya di depan komputer). Ia membuat tabel di Excel kemudian berpura-pura membuat daftar harga makanan di restoran.
"Ibuu.... Nasi Goreng tulisannya gimana?"
Sambil saya menjemur baju, saya mengeja "eN... A... eS... I..........." adik pun sibuk menekan tuts.
"eS itu yang kayak gimana bu?" teriak adik lagi
"Oh, yang lengkung dua itu lo dik, yang kayak cacing"
"O, ya.. aku sudah tahu.."
Begitulah seterusnya, karena menulis adalah membaca dan membaca adalah menulis. Dan sekali lagi yang kita perlukan sebagai orang tua hanyalah kesabaran! Untunglah si Ayah kompeten di bidang komputer, jadi kerusakan software (akibat eksplorasi mereka tentu saja) tidak menjadi masalah besar.
"Asal nggak dibanting aja itu komputer" kata si Ayah.
Dan adik pun tidak berhenti membuat kejutan, bahkan ia pun meniru saya membuat presentasi di Power Point lengkap dengan animasinya pada usia TK.
Ketika internet mulai kami perkenalkan (tentu sudah dilengkapi dengan perangkat keamanan oleh si Ayah), eksplorasi mereka makin luar biasa, tidak hanya soal membaca tapi sampai juga pada kemampuan Bahasa Inggris. Kosakata mereka kadang mengejutkan saya, yang bahkan saya sendiri tidak tahu artinya dan harus membuka kamus!
Sungguh, anak adalah kejutan-kejutan yang mengagumkan.
Kalau mereka sudah bisa membaca, berilah mereka ruang, maka mereka akan membaca apa saja. Bahkan sebuah Manual Book mesin cuci yang baru dibeli bisa menjadi bahan bacaan menarik bagi mereka.
Tapi keinginan membaca yang meluap-luap itu membuat kami harus menyediakan menu yang sehat di rumah. Tahu kan dengan tulisan koran lokal yang bombastis? Bahkan kakak pernah bertanya tentang salah satu topik di rubrik konsultasi keluarga dan saya harus menjelaskan dengan bijak. Maka kami memutuskan tidak lagi berlangganan koran, terutama koran lokal, karena sebagian besar informasinya bagi kami adalah keranjang sampah.
Nah, akibat referensi mereka yang begitu banyak, diskusi di rumah jadi makin seru. Ketika ayah dan ibu membahas sebuah topik atau fenomena menarik, jangan harap diskusi selesai dalam hitungan menit. Anak-anak berlomba-lomba mengajukan pendapatnya, bahkan si adik dengan kesimpulannya yang lucu-lucu.
"Gimana sih caranya biar anak suka baca?"
"Les bacanya dimana Bunda?"
"Ngajarinya gimana ya? Kok anakku susah banget diajarinya?"
Pertanyaan itu meluncur bertubi-tubi ketika melihat anak-anak yang tidak keluar-keluar dari perpustakaan sekolah (sampai saya harus merayu mereka pulang), lebih tertarik buku baru ketimbang Play Station atau cara mereka menjelaskan sesuatu yang menunjukkan banyak referensi bahkan kadang-kadang imajinasi yang 'aneh'.
Saya tidak mempunyai teori khusus dan tidak menerapkan metode tertentu, tapi mungkin sharing pengalaman bisa memberi sekedar inspirasi.
MELEK HURUF
Sejak mereka bayi banyak hal yang bisa menjadi stimulus bagi mereka. Suara-suara ibu, nyanyian, kadang bercerita sendiri (pada awal saya bercerita pada bayi pertama saya rasanya memang agak aneh... ngomong sendiri... hihihi).
Sejak mereka 'melek' segala bentuk dan segala warna adalah stimulus yang menyenangkan. Dari sekedar menempel bentuk dari kertas lipat warna-warni di dinding, mainan balok berwarna dan bergambar, hingga bentuk-bentuk huruf di Play Mat.
Ketika mereka mulai menyusun Play Mat, saya melompat ke huruf A dan meneriakkan riang, "Wow ini A". Lalu saya melompat lagi ke huruf H ... "Ini H ... seperti Hanif..." lalu dengan senang hati kaki kecilnya ikut melompat ke sebuah huruf... "B..." teriak saya riang.. dan seterusnya hingga saya capek berteriak meski kakinya tidak lelah menginjak deretan huruf.
Segala benda bisa jadi media belajar. Guling kecilnya diletakkan lurus, ia pun berteriak senang... "Iiii..."
Kemudian guling itu ditekuknya sedikit.... "eeeL..." Lalu dilengkungkan berkelok-kelok dan jadilah "..eeeSS"
Playdough, adonan kue donat atau apapun yang ada di sekitar rumah adalah media belajar yang tak habis-habis.
HOREEE... AKU BACA ....
Setiap anak adalah peniru ulung. Setiap anak punya rasa ingin tahu yang luaaar biasa besar.
Ketika orang tua ingin anak suka membaca, maka berilah contoh dan mereka akan meniru dengan mudah.
Sebuah buku bergambar warna-warni dengan sedikit kalimat jadi pancingan pertama. Saya membaca ceritanya dengan asyik dibumbui sedikit improvisasi pada kalimat dan intonasi. Yang paling menarik adalah cerita lucu dan cerita seru. Kalau mereka mendekat ingin tahu, maka jari saya menunjuk dimana kalimat yang berbunyi seru itu. Tidak perlu mengajak apalagi memaksa. Bukankah anak-anak selalu ingin tahu? Maka buat mereka penasaran.
Bisa jadi buku itu akan mereka rebut dan dipandang lekat-lekat. Dan ketika sang buku 'tidak bercerita lagi' mereka tinggalkan atau malahan disobek. Itulah kesabaran dan itulah sedikit harga yang harus dibayar. Hanya ulangi dan ulangi sampai mereka mengerti bahwa si buku hanya akan bercerita kalau dibaca.
Mengenal buku dari gambar? Mengapa tidak?
Selembar brosur promo dari supermarket pun boleh jadi awalan. Gambar benda-benda yang mereka kenal seperti susu, sikat gigi, odol dan bedak boleh jadi. Tangan kecilnya menunjuk pada gambar dan mereka menyebutnya riang. Yang belum mereka kenal akan muncul sebagai sebuah kata tanya "Apa ni?" dan saya menyebutkan merek yang tertulis di sana. Lama-lama saya menyadari bahwa mereka juga hafal bentuk font dan kata dalam benda-benda itu.
Dan ketika mereka sudah tahu beberapa huruf atau kata, lingkungan sekitar adalah media yang tidak terbatas. Tulisan di baliho, rambu jalan, penunjuk jalan, bungkus makanan, semua akan menajadi hal yang menarik. Bahkan sebuah perjalanan akan berisi penuh dengan pembelajaran. Keuntungannya anak-anak akan belajar dengan senang hati dan lebih kaya akan kosakata, bentuk huruf, warna dan sebagainya.Sebagai orang tua hanya perlu menaikkan level kesabaran meladeni semua keingintahuan mereka.
MENIRU KAKAK
Ketika kakak-kakak mencapai keasyikan membaca, maka adik tidak mau kalah. Ia juga mengambil buku, meskipun kadang merebut apa yang dibaca si kakak dan meskipun, tentu saja, adik belum bisa membaca.
"Adik, ceritanya bagus lho... ayo dibaca" kata si kakak.
Adik membuka buku pada halaman yang disukainya kemudian diam terpekur memandang gambar atau tulisannya.
"Kok kamu belum baca?" kata kakak
"Aku baca dalam hati kok.... " jawab adik diplomatis dengan mimik yang tidak mau dianggap enteng.
Tentu saja saya tertawa, karena adik memang belum bisa baca tapi ia tidak mau kalah. Saya tidak perlu membandingkan dengan kakak-kakaknya. Yang saya perlukan hanyalah menciptakan suasana yang menyenangkan bagi kakak dan adik untuk berinteraksi dan terjadi transfer ilmu yang efektif. Mengajari kakak sekaligus memberi kepercayaan kepada adik bahwa dia pasti akan bisa.
PASANGAN BACA ADALAH TULIS
Mulai belajar membaca sekaligus akan diikuti dengan belajar menulis. Soal media? Wow, rumah kita menyediakan segalanya. Menulis di pasir? Menulis atas kue donat? Bahkan menulis dengan jari di punggung buat ditebak. Lucunya anak-anak suka karena mereka pun kegelian... hehehe..
Jangan sakit hati kalau anak-anak menulis di lantai atau dinding rumah. Ada juga sih yang menyediakan kertas khusus atau papan tulis atau kertas karton lebar yang ditempel di dinding khusus untuk corat-coret anak.
Tapi tahu kan anda, ketika media itu tak cukup lagi menampung ide mereka, maka dinding yg indah itu akan sangat menggiurkan. Kosong, besar, tinggi, ... sebesar dan setinggi angan-angan mereka.
Mula-mula coretan itu hanya 30 senti dari lantai, makin tinggi seiring tumbuhnya badan mereka. Dan wow akhirnya mereka mengambil kursi dan naik di atasnya hingga mencapai coretan tertinggi....
Maka saya tinggal mengecatnya kembali bila sudah penuh, tapi lama-lama capek juga mengecat karena generasi pencoret terus dilanjutkan oleh si adik dan adik berikutnya.
LES BACA TULIS?
Nggak pernah tertarik dan nggak pernah terpikir. Pada beberapa anak mungkin hasilnya sangat bagus dan memuaskan, tapi saya tahu pada anak saya tidak akan berlaku demikian. Diantara alasan orang tua memutuskan les adalah karena target masuk SD favorit yang salah satu ujian masuknya adalah lancar membaca dan menulis.
Soal 'kebisaan' membaca saya tidak pernah menetapkan target waktu. Dan soal masuk SD, saya tentu memilih SD yang satu visi dengan saya bahwa syarat masuk SD tidak harus sudah lancar baca tulis. Tapi saya sungguh bersyukur, rata-rata anak saya sudah bisa membaca menjelang naik ke TK B, dan ketika SD mereka bahkan sudah membaca buku cerita lengkap dengan intonasinya yang baik.
Ketika TK, para guru dan kepala sekolah menginformasikan kepada orang tua bahwa kurikulum membaca diajarkan juga tetapi dengan porsi yang tidak berlebihan dan menyesuaikan perkembangan anak. Ada pula buku acuan belajar membaca yang mereka punyai mulai jilid 1 sampai 5.
Saya membiarkan anak mengikuti kurikulum sekolah, dan ketika di rumah saya tidak perlu mengulangi dengan buku yang sama (yang membosankan dan monoton dengan font huruf standar, ini menurut saya lo).
Maka cara saya mengecek kemampuan baca mereka adalah dengan langsung mengajak mereka membaca, apakah itu buku, koran atau majalah yang begitu kaya warna, dan punya berbagai macam bentuk font dan ukuran.
Saya membaca dengan jari telunjuk menelusur dimana suku kata yang berbunyi seperti yang saya ucapkan itu. Tahukah anda? Cara berfikir anak-anak tidak selalu berurutan mulai A sampai Z. Tapi pikiran mereka melompat-lompat dengan percepatan yang luar biasa. Jadilah mereka tidak pernah menyelesaikan jilidnya di sekolah, belum selesai jilid yang ketiga mereka sudah bisa membaca apa saja.
MANFAATKAN TEKHNOLOGI, KENAPA TIDAK?
Lain kakak, lain juga adik. Ketika jaman si kakak, buku, koran dan majalah cukup, dan kami belum punya unit komputer. Ketika kami sudah memiliki PC, eksplorasi adik lebih banyak disana. Boleh juga dimulai dari EduGames, tapi si adik malah memulai dari Word, Power Point dan Excel. Dengan melihat ibu dan ayahnya bekerja di komputer rupanya cukup buat bekal eksplorasinya. Sekali lagi, bukankah anak adalah peniru yang ulung?
Begini cara belajar si adik (dan saya tidak harus menungguinya di depan komputer). Ia membuat tabel di Excel kemudian berpura-pura membuat daftar harga makanan di restoran.
"Ibuu.... Nasi Goreng tulisannya gimana?"
Sambil saya menjemur baju, saya mengeja "eN... A... eS... I..........." adik pun sibuk menekan tuts.
"eS itu yang kayak gimana bu?" teriak adik lagi
"Oh, yang lengkung dua itu lo dik, yang kayak cacing"
"O, ya.. aku sudah tahu.."
Begitulah seterusnya, karena menulis adalah membaca dan membaca adalah menulis. Dan sekali lagi yang kita perlukan sebagai orang tua hanyalah kesabaran! Untunglah si Ayah kompeten di bidang komputer, jadi kerusakan software (akibat eksplorasi mereka tentu saja) tidak menjadi masalah besar.
"Asal nggak dibanting aja itu komputer" kata si Ayah.
Dan adik pun tidak berhenti membuat kejutan, bahkan ia pun meniru saya membuat presentasi di Power Point lengkap dengan animasinya pada usia TK.
Ketika internet mulai kami perkenalkan (tentu sudah dilengkapi dengan perangkat keamanan oleh si Ayah), eksplorasi mereka makin luar biasa, tidak hanya soal membaca tapi sampai juga pada kemampuan Bahasa Inggris. Kosakata mereka kadang mengejutkan saya, yang bahkan saya sendiri tidak tahu artinya dan harus membuka kamus!
Sungguh, anak adalah kejutan-kejutan yang mengagumkan.
BACA APA SAJA
Kalau mereka sudah bisa membaca, berilah mereka ruang, maka mereka akan membaca apa saja. Bahkan sebuah Manual Book mesin cuci yang baru dibeli bisa menjadi bahan bacaan menarik bagi mereka.
Tapi keinginan membaca yang meluap-luap itu membuat kami harus menyediakan menu yang sehat di rumah. Tahu kan dengan tulisan koran lokal yang bombastis? Bahkan kakak pernah bertanya tentang salah satu topik di rubrik konsultasi keluarga dan saya harus menjelaskan dengan bijak. Maka kami memutuskan tidak lagi berlangganan koran, terutama koran lokal, karena sebagian besar informasinya bagi kami adalah keranjang sampah.
TIDAK MAU KALAH DISKUSI
Nah, akibat referensi mereka yang begitu banyak, diskusi di rumah jadi makin seru. Ketika ayah dan ibu membahas sebuah topik atau fenomena menarik, jangan harap diskusi selesai dalam hitungan menit. Anak-anak berlomba-lomba mengajukan pendapatnya, bahkan si adik dengan kesimpulannya yang lucu-lucu.
BEBERAPA TIPS
- Jangan pernah memaksa anak belajar membaca, having fun justru akan memudahkan mereka
- Beri contoh! Kalau ingin anak suka membaca maka ibu dan ayah pun harusnya antusias membaca
- Intonasi benar. Biasakan sejak pertama membacakan untuk mereka, bacalah dengan fonasi dan intonasi yang benar meskipun mereka masih cadel. Percayalah, mereka peniru ulung. Jangan membaca dengan intonasi seperti 'anak SD' jaman kecil saya dulu yang selalu ada 'cengkok' di belakang kalimat.
- Biarkan tidak sempurna. Biarkan mereka menulis dengan cara mereka (yang penting bentuknya dapat dimengerti). Kadang mereka akan menulis huruf S dari bawah ke atas, kadang mereka membuat huruf J yang terbalik. Seiring mereka banyak membaca, semua akan mudah diperbaiki.
- Dan terakhir adalah sabar, sabar dan sabar. Soal buku yang rusak, komputer yang diacak-acak hanyalah sebuah kompensasi kecil dari kemajuan mereka yang luar biasa.
No comments:
Post a Comment