Musim haji di Mekkah, jutaan orang sedunia tumplek blek disana. Apa artinya? Artinya berkumpul pula para virus dan kuman dari seluruh dunia yang nyanthol di pesawat, koper, dan tubuh para jama'ah tentunya. Layaknya mereka bikin konferensi. Saling kenal, saling kontak, dan saling tukar tempat.
Repotnya, tubuh kita pastinya tidak kenal dengan virus Turki apalagi virus dari benua hitam Afrika yang kabarnya sakti mandraguna. Alhasil, sekalinya kita kenalan maka kompensasinya mulai dari gejala ringan sampai berat. Batuk, tenggorokan gatal, panas, badan lemah, sesak, sampai radang paru bahkan beberapa jama'ah harus opname di RS Lokal. Severe Pneumonia, jadi diagnosis yang menakutkan.
Sepanjang jalan jamak kita dengar suara batuk. Yang sawo matang, yang sipit, yang hitam pekat, yang kecil mungil atau tinggi besar, sekali atau dua pasti pernah bersuara batuk.
Kalau sholat berjama'ah di Masjid, selain suara imam yang sangat merdu mendayu, pastilah terdengar parade batuk. Depan, belakang, kiri, kanan bergantian sepanjang sholat. Ada yang pelan sesekali, ada yang keras menggelegar, ada pula yang sampai terguncang-guncang badannya. Pendek kata suara batuk bisa jadi suara universal lintas negara. Bahkan imam pun pernah terdengar batuknya di sela-sela bacaan. Ketularan kalee ...
Fenomena seperti itu akhirnya jadi guyonan orang Indonesia. Wah kalau musim haji, cuma onta saja yang nggak batuk. Untunglah si onta tidak mengekor para pendahulunya seperti burung (Flu Burung) dan babi (Flu Babi). Sebab nantinya jutaan jama'ah haji Indonesia akan jadi pengimpor Flu Onta! Repot kan.
Tapi gara-gara berita 'mouth to mouth' (dari mulut ke mulut,red) - cuma onta aja yang nggak batuk- itu maka jama'ah haji Indonesia banyak yang menolak imunisasi Vaksin Influenza sebelum berangkat. Toh kata dokter pemeriksa haji, vaksin itu tidak menjamin tidak kena batuk sama sekali. Tapi kata dokter itu lagi paling tidak kalaupun kena, perlindungan vaksin akan mencegah terjangkitnya flu berat yang bisa menuju ke arah 'severe pneumonia'.
Terbiasa menganggap enteng batuk pilek dan tidak terbiasa membayar mahal untuk hanya sebuah 'pencegahan' yang manfaatnya tidak langsung terasa, adalah kombinasi yang cukup baik untuk membuat vaksin influenza sulit laku. Hehe ....
Seorang kawan sekamar yang berangkat dengan mertuanya pun terimbas fenomena itu. Sang mertua sepanjang masa haji terus menerus tidak lepas dari derita batuk. Bukan melulu suara batuknya yang mengganggu, tapi kalau sudah batuk 'ngekel' kadang-kadang diiringi keluarnya pipis akibat dinding perut orang tua yang lemah tidak kuasa menahan tekanan diafragma. Nah, kalau pas di Masjid, bisa repot setengah mati kan.
"Ibu sih, sebelum berangkat sudah saya sarankan vaksin tapi malah nggak mau. Kemahalan katanya. Jadinya ya kayak gini. Alhamdulillah saya lo sampai hari ini nggak kena batuk" ungkap sang menantu setengah mengadu.
Saya sendiri juga nggak vaksin. Waktu itu kenapa ya? Inget saya sih karena sebel dengan Rumah Sakitnya yang terlalu profit oriented, jadi kesannya memanfaatkan situasi para calon haji gitu. Akhirnya mogoklah saya dan suami ikut vaksin influenza.
Sampai di Mekkah, barulah percaya sebuah kenyataan adanya konferensi sedunia para virus dan kuman. Jadilah kami harus mengeluarkan jurus dan senjata.
Senjata pertama, banyak makan bergizi plus seimbang termasuk susu (bahkan susu onta juga yang rasanya asam dan aneh). Soal rasa sudah nggak perlu dipikirkan, yang penting jangan sampai nggak doyan makan lah. Bahkan katering yang cuma sayur setup bumbu bawang dan garam plus daging onta (katanya, tapi saya cuek banget dengan bedanya) itupun selalu kami nikmati. Dasar orang doyan makan. Tapi itulah untungnya jadi orang yang berhaji ketika masih muda dan lidah masih doyan segala macam makanan. Selera nomor dua.
Senjata kedua, masker. Jangan remehkan masker yang kecil itu. Bisa jadi dia senjata yang efektif dan efisien mengurangi kontak dengan para peserta konferensi virus sedunia. Paling sedikit satu kali sehari masker kami ganti. Dimanapun, di jalan, di superrmarket, bahkan di masjid pun kami berusaha selalu memakai. Hitung-hitung sekalian jadi cadar juga. Kecuali saat berihram tentunya.
Senjata ketiga, Air Zam Zam. Lho kok? Eh, betulan. Sesuai banget dengan hadits Nabi yang mengisyaratkan bahwa Air Zam Zam bisa jadi obat. Sedapat mungkin kami selalu hanya minum Air Zam Zam. Sebanyak-banyaknya ketika di Masjid, bawa bekalnya untuk minum di maktab, dan bawa juga waktu ke Mina dan Arafah.
Sesekali pingin juga menikmati minuman soda kalengan yang dibeli dengan mesin otomatis. Harganya cuma 1 Riyal atau setara dengan 2500 Rupiah. Katanya bahkan 10 tahun lalu pun harganya tetap sama, 1 Riyal. Bisa dibayangkan betapa stabilnya harga di sana. Padahal merek yang sama minuman itu di Indonesia untuk yang kemasan kaleng seperti itu masuk klasifikasi barang mewah bagi kami.
Kalau terasa tenggorokan mulai kering atau sedikit gatal, kami cepat-cepat memperbanyak minum Air Zam Zam. Diiringi do'a, Alhamdulillah tidak pernah berlanjut jadi sakit.
Senjata terakhir sebenarnya adalah beberapa gebok obat-obatan yang saya bawa dari tanah air. Beberapa sempat kami minum, terutama multivitaminnya. Tapi kebanyakan malah beralih ke jama'ah anggota rombongan yang lain. Alhamdulillah, bermanfaat untuk orang lain.
No comments:
Post a Comment