Tuesday, August 10, 2021

Anakku Gifted : Akhirnya Homeschooling (bag. 2)


MEMULAI

Awalnya paradigmaku masih terkotak pada pola pembelajaran di sekolah. Aku merasa harus mengambil model 'school at home' yang terstruktur dengan jadwal dan materi seperti modul yang aku terima dari lembaga penyelenggara. Seperti memindahkan sekolah ke rumah ketika aku menjadwalkan setiap hari pelajaran apa dan bab apa yang harus dipelajari. Aku juga merancang guru privat mata pelajaran apa yang tidak aku kuasai untuk aku datangkan. Jadi dia harus menerima hal yang sama yang dipelajari oleh anak di bangku sekolah.

Aku belum terbiasa menerima kenyataan 'seorang anak yang tidak duduk di bangku sekolah'. Kenyataan ketika kecil, aku sangat suka sekolah dan meyakini bahwa setiap anak harus sekolah (kalau tidak mau jadi pengangguran) dan ayah ibuku yang selalu menekankan bahwa anak yang tidak pergi ke sekolah biasanya harus berakhir dengan 'hanya' menjadi penggembala kambing.

Maka pada awal menerapkan Homeschooling untuk Hanif, sungguh aku dilanda tekanan akan label 'seorang anak yang tidak sekolah'.

Sayangnya konsep school at home itu sedikit demi sedikit kembali mendapat penolakan dari Hanif. Dia hanya tertarik dengan komputer dan komputer,yang justru bidang itu adalah bidang yang aku paling tidak tahu. Ah, kalau saja dia anak gadis dan tertarik dengan jahit menjahit, sulam menyulam, crafting, atau masak memasak, tentu aku tahu caranya. Aku tahu cara mengajarinya, aku tahu dimana mencari bahan-bahannya dan aku tahu kemana harus mencari guru baginya.

MENJAWAB PASSIONS

Pergulatan batin  soal kurikulum school at home dan keinginanku untuk memberinya kesibukan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan passion nya membuatku sering berdebat dengan suami.

"Gimana kalau kursus komputer?"
"Gak perlu, terlalu gampang"
"Hmm, robotik? Dia kan pernah diikutkan ekskul itu waktu di SMP"
"Yah, itu kata Hanif cuma  mainan. Dia butuh yang lebih serius"
"Jadi apa dong? Bisa nggak carikan guru? Mana aku ngerti?"
"Aku juga bingung. Siapa ya?"

Bingung? Lebih tepatnya, suami kesulitan membagi waktu dengan pekerjaannya. Karena aku buta samasekali dengan komputer, maka segala usulku menjadi terasa  mentah.

Solusi sementara adalah buku. Ya, buku. Setelah melahap buku-buku program Visual Basic milik ayahnya semasa kuliah, dia belajar otodidak sejak kelas 5 SD, sebuah buku pemrograman C diperkenalkan oleh ayahnya.

Antusias. Excited. Lupa makan dan minum. Hanya berkutat dengan buku dan komputer. Buku pelajaran sekolah? Hanya disentuh tiap menjelang ujian dengan segala jerih payahku untuk mendorongnya.

Ketika dia makin dalam belajar sendiri pemrograman C++ hingga JAVA dan mencoba-coba sendiri mengaplikasikannya di komputernya, karena ketiadaan pembimbing, beberapa kali dia mengalami rasa frustrasi. Saat itu aku mengambil sikap berusaha ikut menyelami masalahnya. Kami berdiskusi, lebih tepatnya aku bertanya dan dia bercerita. Aku berusaha memahami dan menelan semua yang dia sampaikan. Istilah-istilah komputer, pemrograman, sampai bahasa matematika komputer. Bayangkan, dengan kelemahanku di bidang matematika dan fisika serta latar belakang pendidikan kedokteran, adalah kombinasi yang klop untuk memahami bahkan 'hanya' tentang bilangan Biner.

Dia mulai mengalami kejenuhan. Lagi. Aku kembali menuntut suamiku melakukan sesuatu. Ayolah carikan dia sesuatu. Dan alasan dari mulutku seandainya dia anak gadis yang suka menjahit atau memasak, meluncur lagi.

Aku tetap bergerak sendiri. Menawarinya buku robotika dan membelikannya yang menurutku sudah paling bagus.
"Bikin robot line follower, yuk"
"Nggak"
"Gimana kalau light follower. Sepertinya seru"
"Ah, ibuk. Itu kan mainan anak SMP buk"
Rupanya dia lupa kalau dia juga masih anak SMP kelas 1 yang keluar dari sekolah. Tepok jidat.

"Gimana kalau bikin buat mainan adik-adik. Pasti adik-adik senang"
"Yaaa bisa saja sih. Tapi aku butuh peralatan yang banyak bu. Aku butuh motor, sensor... bla.. bla..."
"Ibu belikan nggak apa-apa"
"Iya, tapi kan motornya itu jenisnya macam-macam. Ada yang bla ... bla..."
"Ya sudah kamu tulis saja nama dan spesifikasinya. Ibu carikan di toko online"
"Aku sendiri tidak tahu karena spesifikasinya juga buanyak dan komponen-komponen yang lain juga"

Aku berpikir mainan robot, dia berpikir rumit, dan aku tidak paham komponen elektronika. Klop deh.

Toh setiap hari aku tetap browsing segala sesuatu tentang robotika. Artikel-artikel online, toko-toko online, informasi tempat kursus, website, event dan sebagainya. Setiap kali aku tunjukkan sesuatu dan dia kelihatan tidak tertarik, aku cari yang lain lagi. Aih, dia lebih banyak tidak tertarik.

Suatu sore ketika ada keperluan berkeliling komplek, sebuah spanduk terbaca sekilas. Komunitas robotika. Seeeerrr. Darahku berdesir. Aku memutuskan putar balik dan menelusuri pelan-pelan spanduk mungil yang tidak terlalu mencolok itu. Ya benar, tertulis sebaris kalimat cantik, komunitas robotika.

Aku melongok ke balik pintu kaca yang tertutup. Sebuah pintu terbuka di sebelah pintu itu menyembulkan wajah ibu-ibu paruh baya.
"Maaf bu, apakah di sini tempat belajar robotika?"
"Oh, itu. Iya, sebelah ini disewa. Biasanya ada anak-anak sekolah yang ke sini. Tapi sudah lama sepi kayaknya."
Wajahku menyiratkan kecewa.
"Hubungi orangnya saja."
Ibu itu menghilang sebentar ke dalam rumah dan keluar membawa secarik kertas bertuliskan nama laki-laki dan sebaris nomor telepon.

Aku menyerahkan secarik kertas itu kepada suami di rumah. Setiap hari aku ingatkan untuk menghubungi si bapak. Ayolah, masa harus aku yang hubungi bapak-bapak. Mana nggak kenal lagi.
"Trus aku ngomong apa?"
"Ya, ngomong aja punya anak yang pingin belajar robotika"

MENCARI GURU DAN GURU

Aku harus tepok jidat lagi, eeeeee...... Masya Allah dan Alhamdulillah, Pak Ilman yang dihubungi suami rumahnya hanya terhalang satu blok di belakang rumah kami. Beliau seorang karyawan BUMN sekaligus pengajar di SMK milik BUMN itu. Anak-anak yang sering kumpul-kumpul di rumahnya atau di rumah yang disewanya itu kebanyakan anak-anak didiknya yang menekuni robotika dan mikrokontroler. 

Babak antusiasme baru dimulai. Pertemuan dengan Hanif membuahkan diskusi tentang mikrokontroler. Bahkan ayahnya pun tidak tahu kalau pengetahuan Hanif tentang mikrokontroler cukup memadai. Entah darimana sumber belajarnya. Seperti biasa akupun menyimak dan mencatat. Arduino. Kata kunci yang kuingat.

Jadi begitulah, tugasku selanjutnya adalah mengantarkannya ke rumah Pak Ilman untuk bertanya, memesan barang dan mengambil barang. Hei, rumah kami berdekatan tapi kenapa harus diantar? Itu karena sebuah kata. Falaangst! Sebuah kondisi yang sering dialami seorang anak gifted (aku belum ingin bicara masalah itu di sini).
Pesanan Arduino sudah datang. Dengan perutku yang membesar pada kehamilan anak kelima yang sudah cukup bulan, menggandeng anak keempat diiringi dua kakaknya yang berlarian bersenda gurau, rombongan kecil itu berjalan mengantar Hanif di suatu sore.

Hari-hari Hanif selanjutnya disibukkan dengan si Arduino, lampu-lampu LED, keypad, tombol buzzer, timer, dan tentu saja laptop hijau toscha yang dibeli dari hadiah bronze medal winner olimpiade sains Kuark tahun sebelumnya. Video Hanif tentang project pertamanya pernah aku upload.



Lancar? Tidak juga. Perfeksionisme sering membuatnya frustrasi dan berhenti. Kadang seharian hanya main game, macet, marah-marah.

Dan sebagaimana biasa aku mendekatinya dan bertanya.
"Sudah sampai dimana? Ada kendala apa? Hai bagaimana kalau kamu kontak langsung pak Ilman. Nih pakai WA ibu, atau kamu email? "

Alih-alih menerima tawaranku, Hanif selalu merasa yakin ia tahu kendalanya dan tahu bagaimana mengatasinya, tapi berpikirnya rumit sementara aku dan suami tidak faham sama sekali dan tidak dapat memberi jalan keluar. Kadang-kadang aku minta dia mendikte istilah-istilah atau kendala-kendala yang dia hadapi untuk kuketik dan kukirim kepada Pak Guru.

Cukup satu guru? oh tidak. Hanif sudah mulai bosan dan stagnan. Sekarang kata kunciku dalam pencarian adalah ARDUINO. Hingga suatu hari pernah terbelalak melihat sebuah pamflet iklan tentang belajar Arduino di beranda FB ku yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas robotik.

Mulailah aku mencari tahu segala hal tentang isi pamflet itu. Web komunitas robotik itu sangat menarik (untukku). Sayang lokasinya cukup jauh di Sidoarjo. Komunitas itu telah punya nama dan punya proyek-proyek yang luar biasa menurutku. Aha, ketemu akun FB salah satu penggagasnya. Seorang guru lulusan PENS ITS dan pernah menjadi tim robotika yang juga pernah menyandang juara.

Aku memberanikan diri kontak lewat inbox menanyakan tentang kursus Arduino. Berlanjut pada kemungkinan bertemu supaya aku bisa membawa Hanif dan tentu saja agar ada tempat bertanya untuknya.

"Ayolah pak, kita ketemu dulu. Kebetulan pas ada even lomba robotika di PENS. Aku sudah kontak Pak Arif. Beliaunya bersedia" rayuku kepada suami.
"Hari Minggu berarti kita bawa semua anak-anak dong?"
Ya tentu saja, karena hari Minggu adalah hari liburnya ART di rumah. Jadi kalau pergi harus beramai-ramai. Empat anak dan seorang yang masih di perut dalam kehamilan yang menua.

Akhirnya  dengan beramai-ramai ketemu juga dengan Pak Arif, sang penggagas komunitas kampung robot. Bapak berdiskusi kesana kemari (tentu saja gayeng, karena sama-sama alumni ITS dengan pautan usia yang tidak terlalu jauh), aku pun kesana kemari mengasuh 3 anak yang berlarian, melompat, meluncur.
Hanif? Di sebelah bapak dengan badan yang ditekuk, kadang kepala pun masuk ke kolong meja. Posturnya seperti kehilangan tulang belulang. Aku tahu, itulah falaangst ketika hal-hal tentang dirinya dibicarakan orang lain.

Ketika diskusi menyentuh bagian pemrograman, suaranya mulai terdengar antusias. Sebuah kesepakatan di akhir perjumpaan singkat itu, Hanif akan mengirimkan library programnya untuk dilihat dan dinilai oleh Pak Arif.

Satu guru lagi dipertemukan hari itu. 

GURU YANG PALING KLOP

Pencarian guru untuk Hanif, tidak lantas berhenti. Ketika kembali mengalami stagnansi, aku bertanya lagi kesana kemari. 

" Eh, mbak. Aku punya teman nih. Kayaknya modelnya mirip-mirip Hanif, deh" cerita Shofa, adikku yang baru lulus dari ITS suatu ketika. Bagian kalimat yang menyebut 'mirip-mirip Hanif' membuat mataku mengerjap berharap. 
" Ceritain dong kayak gimana miripnya!"

Mahasiswa baru lulus. Sejak kuliah suka mengerjakan proyek-proyek pemrograman dan alat. Kalau berbicara, suka antusias menceritakan proyek-proyeknya tanpa peduli temannya paham atau tidak. Orang lain kadang menganggapnya aneh. 

Feeling seorang ibu mengatakan, cocok. Sama-sama orang yang dianggap aneh oleh lingkungannya. Itu sangat berarti bagiku. 

Kembali aku merayu suami. 
"Pas ke Surabaya, bawa aja Hanif. Janjian ketemu di kontrakannya atau gimana. Kayaknya dekat deh dengan tempat kulakan bapak. Atau aku minta Shofa hubungi dulu?"

Paling tidak seminggu sekali suami ke Surabaya untuk urusan-urusan bisnis toko komputer.

Mulailah kontak pertama. Rupanya suami juga kagum dengan si Mahasiswa. Pinter katanya. Sering mengerjakan proyek alat dan program dan sudah hidup mandiri dengan penghasilannya sejak masih kuliah. Dan yang menggembirakan, Hanif klop banget berkomunikasi dan berdiskusi dengan si Mahasiswa. Mungkin karena 'bahasa' yang mereka pakai sama. 

Hari-hari selanjutnya, Hanif berguru dengan riang gembira. Pas jadwal suami ke Surabaya, pagi Hanif di-drop ke kontrakan, siang atau sore baru dijemput kembali. Hanif pun punya satu proyek fenomenal yang sangat penting bagi kami hingga detik ini. (note: akan saya ceritakan pada tulisan lain).



No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK