Wednesday, March 9, 2011

Catatan Haji: Saya Haji Dulmadjid!

Setiap kali bertemu dengan angkatan baru alias anggota baru di Jama'ah Maskumambang, KH Nadjih Ahjad selalu mengungkapkan kisah ini.

"Jangan lupa para bapak dan ibu, ada beberapa cara haji. Yaitu Qiran, Ifrad, dan Tamattu'. Kalau Ifrad untuk penduduk Mekkah, kalau haji dengan cara Qiran adalah untuk penduduk luar Mekkah yang menuntun sembelihan dari rumahnya menuju Tanah Haram."

"Nah, para bapak, ibu dan saudara sekalian, karena kita dari Indonesia tidak mungkin menuntun binatang sembelihan atau Hadyu dari tanah air, maka pilihan haji kita adalah dengan cara Tamattu', ingat ya ibu-ibu.. haji apa....?"

"Taaamaattuuuuuuuu'........" begitulah koor jawaban dari para hadirin.

Pak Kyai pun melanjutkan.

"Kita yang dari Indonesia tidak ada pilihan cara haji yang lain, satu-satunya adalah haji Tamattu'. Yaitu mengerjakan umrah dulu kemudian bertahallul, lantas nanti pada saat masuk waktu haji kita berihram kembali dan melaksanakan haji. Sumonggo dihafalkan jangan sampai lupa kalau ditanya orang bahwa haji kita adalah haji dengan cara apa bapak ibuuuu ....?"

"Tamattuuuuuuuuuu' ......." begitulah koor ulangan dari para hadirin.

"Hal ini perlu saya sampaikan bapak ibu, sebab ini sangat penting."

Ceritanya jaman dulu ketika urusan haji belum sepenuhnya ditangani pemerintah seperti sekarang, setiap rombongan haji dari Indonesia harus berangkat sendiri dan mengupayakan segala keperluannya sendiri. Saat rombongan tiba di Mekkah akan selalu ditanya oleh bagian imigrasi, siapa yang akan menampung dan mengurus segala keperluannya selama di Mekkah.
Jaman itu ada beberapa Muthawwif atau pembimbing Thawaf untuk mengurus keperluan Jama'ah sekaligus menjadi pembimbing ibadah haji (sekarang adalah yang menjadi pengurus maktab / penginapan dan fasilitas para jama'ah)

"Ikut Siapa?" tanya petugas. Maksudnya siapa nanti yang bertanggungjawab dan mengurus selama di Mekkah.

"Ikut Syech Al-Jawi" atau "Syech Muchtar Sidayu"

Selanjutnya para rombongan akan mengikuti Muthawwif mereka menuju tempat penginapan.

Orang-orang Indonesia, terlebih orang Jawa rupanya memiliki nama yang sulit dieja bagi lidah orang Arab. Karena itu para Muthawwif biasanya akan mengganti nama-nama mereka dengan nama Arab.

"Namanya siapa?"
"Wagimin"
"Wah susah itu, ya sudah saya ganti saja Haji Abdul Madjid. Yang ini namanya siapa?"
"Srinthil, syech"
"Apa itu artinya? diganti saja Hajjah Muthma'inah, biar nanti bisa masuk surga dengan tentram."

 Begitulah seterusnya. Rupanya kebiasaan itu berlanjut juga hingga kini. Bahkan ada yang namanya 'membeli' nama haji. Mungkin bagi telinga lebih enak didengar nama Haji Sholeh daripada nama Haji Gimin, atau Hajjah Fatimah daripada nama Hajjah Waljinah.

Nah, kalau namanya sudah memiliki arti yang baik apalagi dalam bahasa Arab yang baik, apa masih perlu diganti? Kalau namanya Haji Ahmad Mukhlis apa ya perlu diganti lagi? Repotnya lagi jaman sekarang musti harus mengganti pula nama di KTP, akte kelahiran, SIM, Ijazah, Paspor, dan lain-lain.

Lantas apakah ada hubungannya dengan tausiyah dari Pak Kyai soal haji Tamattu'?

Beginilah kisahnya, konon seseorang yang baru pulang dari tanah suci ditanya oleh para tetangga yang berkunjung,

"Sampeyan hajinya haji apa?" tanya si tetangga.
"Oh, kalau saya Haji Dulmadjid, pak (maksudnya Haji Abdul Madjid)" jawab Pak Haji
"Maksud saya sampeyan hajinya Ifrad, Qiran, apa Tamattu'?" lanjut si tetangga.
"Kados pundi to njenengan niku. Saestu! Kulo niku Kaji Dulmajid!"
(gimana sih anda, sungguh! Saya itu Haji Dulmajid)

"Kados mekaten poro bapak, ibu, lan sederek sedoyo pentingipun mangertosi kaji kito sekaliyan. Sampun ngantos kedadosan niku wau dipun alami kaliyan poro Jama'ah Maskumambang meniko"

(Seperti itulah para bapak, ibu, dan saudara sekalian betapa pentingnya memahami haji kita. Jangan sampai kejadian seperti itu dialami oleh para Jama'ah Maskumambang ini) Tututr Pak Kyai mengakhiri cerita.

Para hadirin pun manthuk-manthuk takzim.

No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK