Ayah dan ibu wali murid kelas 6 berkumpul di aula. Anak-anak terpisah dalam ruang tersendiri.
Pagi itu acara training motivasi menjelang UN yang dibuat oleh sekolah.
Pada akhir sesi, ayah dan ibu diminta menuliskan sebuah surat untuk anaknya.
Aku, dengan segenap rasaku, menulis baris demi baris yang amat bermakna . Juga si ayah.
Tak berapa lama, anak-anak pun muncul. Kami diminta saling memberikan surat yang telah dibuat.
Surat Hanif cukup singkat. Tapi itu cukup bagi kami mewakili seluruh suara hatinya.
'Bapak Ibu, aku tidak tahu apa yang harus aku tulis. Aku benar-benar tidak tahu'
Sekonyong-konyong Hanif menangis keras. Keras sekali. Seperti anak kecil meraung-raung.
'Hanif, kenapa?'
'Huaaaa.... aku tidak kuat baca surat ibuk ... huaaa.... huaaaa'
Aku peluk ia, tapi Hanif melorot sampai ke pangkuan aku dan ayahnya.
Semua menoleh. Semua mata memandang. Bahkan kamera dokumentasi yang dibawa panitia pun terus menerus menyorot kami. Ini momen luar biasa. Mengharukan. Trainer menganggap training motivasi yang mereka berikan ini benar-benar berhasil menyentuh sisi emosi anak-anak.
Huaaa.... huaaa... huaaaa
Hanif belum berhenti. Aku memeluknya dalam diam. Ayahnya sempat bertitik air mata.
Percayalah, ini bukan yang pertama.
Semua mata yang memandang turut terharu. Atau mungkin iba. Atau mungkin ingin tahu kenapa begitu luar biasa.
Orang tua dan anak lain juga saling bertangisan. Namun wajar dan tidak menghebohkan.
Tiga menit berlalu. Intensitas tangisnya tetap sama.
'Ya sudah Hanif. Ayo kita makan dulu'
Ujarku mengelus kepalanya lembut.
Tiba-tiba ia bangkit. Tanpa mengusap air mata, aku menggandeng tangannya ke arah snack dan coffee yang terhidang. Tangisnya berhenti total. Tanpa sisa. Seperti embun yang hilang ditelan sinar matahari.
Berjalannya menjadi biasa. Cara berbicaranya pun kembali normal. Percayalah, ini bukan yang pertama kali aku alami. Perubahan mood yang cepat. Seperti mengubah saluran teve dari sebuah acara drama melankolis menjadi pertunjukan komedi.
Seorang teman perempuan menatap dengan pandangan sedikit haru. Aku tahu, sebenarnya sejak lama tadi anak ini memperhatikan Hanif. Dan aku tahu pula, ayah si gadis pernah menelpon dan mengadukan Hanif karena telah mengganggu anaknya. Sudah aku gali pula kenapa Hanif mengganggu. Antara lain karena si gadis pernah menyebutnya autis.
Meski si gadis masih menatap iba, dan biasanya seseorang yang baru saja menangis hebat seperti Hanif tadi masih terbawa perasaan, tapi Hanif sekonyong-konyong marah pada si gadis.
"Apa kamu lihat-lihat!!"
Astaghfirullah. Aku menahan Hanif agar reda. Bagaimana mungkin seseorang begitu cepat berubah dari menangis menyayat hati kemudian biasa seperti tidak terjadi apa-apa kemudian marah?
Seperti itulah yang terjadi. Suatu ketika aku bercerita tentang betapa tentramnya orang yg meninggal ketika sedang sholat. Seperti salah seorang kerabat kami beberapa waktu sebelumnya. Aku berkata pada anak-anak ingin ketika nanti tiba saatnya, bisa seperti itu.
Tak kuduga, Hanif justru menangis keras-keras. Tentu saja aku bingung. Tapi ini jawaban Hanif.
"Huaaaa.... aku nggak mau ibuk meninggal.... huwaaa...."
"Lhoh, setiap manusia kan pasti akan meninggal, Nif. Ibu juga sama. Hanya soal waktu saja"
"Huwaaaa.... tapi kan ibuk tiap hari sholat. Nanti meninggal ...."
Aduh, antara ketawa dan bingung aku berusaha redakan tangisnya.
"Yah, maksud ibu kan kalau pas nanti waktunya meninggal, ibu pinginnya pas sholat. Jadi ya nggak meninggal waktu sholat sekarang"
Aduh!
Pagi itu acara training motivasi menjelang UN yang dibuat oleh sekolah.
Pada akhir sesi, ayah dan ibu diminta menuliskan sebuah surat untuk anaknya.
Aku, dengan segenap rasaku, menulis baris demi baris yang amat bermakna . Juga si ayah.
Tak berapa lama, anak-anak pun muncul. Kami diminta saling memberikan surat yang telah dibuat.
Surat Hanif cukup singkat. Tapi itu cukup bagi kami mewakili seluruh suara hatinya.
'Bapak Ibu, aku tidak tahu apa yang harus aku tulis. Aku benar-benar tidak tahu'
Sekonyong-konyong Hanif menangis keras. Keras sekali. Seperti anak kecil meraung-raung.
'Hanif, kenapa?'
'Huaaaa.... aku tidak kuat baca surat ibuk ... huaaa.... huaaaa'
Aku peluk ia, tapi Hanif melorot sampai ke pangkuan aku dan ayahnya.
Semua menoleh. Semua mata memandang. Bahkan kamera dokumentasi yang dibawa panitia pun terus menerus menyorot kami. Ini momen luar biasa. Mengharukan. Trainer menganggap training motivasi yang mereka berikan ini benar-benar berhasil menyentuh sisi emosi anak-anak.
Huaaa.... huaaa... huaaaa
Hanif belum berhenti. Aku memeluknya dalam diam. Ayahnya sempat bertitik air mata.
Percayalah, ini bukan yang pertama.
Semua mata yang memandang turut terharu. Atau mungkin iba. Atau mungkin ingin tahu kenapa begitu luar biasa.
Orang tua dan anak lain juga saling bertangisan. Namun wajar dan tidak menghebohkan.
Tiga menit berlalu. Intensitas tangisnya tetap sama.
'Ya sudah Hanif. Ayo kita makan dulu'
Ujarku mengelus kepalanya lembut.
Tiba-tiba ia bangkit. Tanpa mengusap air mata, aku menggandeng tangannya ke arah snack dan coffee yang terhidang. Tangisnya berhenti total. Tanpa sisa. Seperti embun yang hilang ditelan sinar matahari.
Berjalannya menjadi biasa. Cara berbicaranya pun kembali normal. Percayalah, ini bukan yang pertama kali aku alami. Perubahan mood yang cepat. Seperti mengubah saluran teve dari sebuah acara drama melankolis menjadi pertunjukan komedi.
Seorang teman perempuan menatap dengan pandangan sedikit haru. Aku tahu, sebenarnya sejak lama tadi anak ini memperhatikan Hanif. Dan aku tahu pula, ayah si gadis pernah menelpon dan mengadukan Hanif karena telah mengganggu anaknya. Sudah aku gali pula kenapa Hanif mengganggu. Antara lain karena si gadis pernah menyebutnya autis.
Meski si gadis masih menatap iba, dan biasanya seseorang yang baru saja menangis hebat seperti Hanif tadi masih terbawa perasaan, tapi Hanif sekonyong-konyong marah pada si gadis.
"Apa kamu lihat-lihat!!"
Astaghfirullah. Aku menahan Hanif agar reda. Bagaimana mungkin seseorang begitu cepat berubah dari menangis menyayat hati kemudian biasa seperti tidak terjadi apa-apa kemudian marah?
Seperti itulah yang terjadi. Suatu ketika aku bercerita tentang betapa tentramnya orang yg meninggal ketika sedang sholat. Seperti salah seorang kerabat kami beberapa waktu sebelumnya. Aku berkata pada anak-anak ingin ketika nanti tiba saatnya, bisa seperti itu.
Tak kuduga, Hanif justru menangis keras-keras. Tentu saja aku bingung. Tapi ini jawaban Hanif.
"Huaaaa.... aku nggak mau ibuk meninggal.... huwaaa...."
"Lhoh, setiap manusia kan pasti akan meninggal, Nif. Ibu juga sama. Hanya soal waktu saja"
"Huwaaaa.... tapi kan ibuk tiap hari sholat. Nanti meninggal ...."
Aduh, antara ketawa dan bingung aku berusaha redakan tangisnya.
"Yah, maksud ibu kan kalau pas nanti waktunya meninggal, ibu pinginnya pas sholat. Jadi ya nggak meninggal waktu sholat sekarang"
Aduh!
No comments:
Post a Comment