Banyak orang merasa biaya ibadah haji alias ONH itu mahal, terutama di Indonesia. Mulai pendapat soal pemborosan biaya karena harus mengongkosi begitu banyak petugas dan bahkan anggota DPR sampai kritikan soal hotel yang selalu kalah representatif dengan negara tetangga.
Belum lagi setoran nomor porsi yang 'ngendon' di rekening Kemenag selama bertahun-tahun yang 'buah' nya dicurigai masyarakat awam sebagai peluang korupsi.
Tapi cukup terkesima saya dengan apa yang diungkapkan orang-orang desa yang berangkat haji.
"Sakniki ongkos kaji niku mboten larang kok, mboten kados rumiyin"
(Sekarang ongkos haji itu tidak mahal, nggak seperti dulu)
Ternyata ukuran yang dipakai cukup sederhana. Dulu ketika jaman kakek nenek atau orangtuanya naik haji harus menjual sapi sampai 20 ekor untuk mencukupi setoran. Tapi saat ini 'hanya' dengan 2-3 ekor sudah bisa mengongkosi haji.
Kalau ditarik garis yang lebih besar sebenarnya ini pemikiran yang sangat modern. SOAL INVESTASI.
Orang desa sudah biasa menginvestasikan hartanya berupa sapi, sawah, tanah, atau emas. Maka kenaikan nilai uang diikuti dengan kenaikan nilai investasi yang justru jauh lebih besar. Sangat berbeda dengan cara menabung uang orang kota yang mengandalkan bunga dari bank.
Pantaslah bila antrian pendaftaran haji saat ini sampai 10 tahun ke depan sudah 'full booked'. Bahkan satu desa tetangga tiap tahun berangkat hingga 30 orang. Ckckckckck... murah kan.
Haji Jadul
Jaman Mbah Buyut dahulu, tidak sembarang orang bisa naik haji. Tidak ada pesawat, tidak ada rekening, tidak ada telepon.
Berangkat haji harus naik kapal laut. Kalau ingin lebih murah tentu saja naik kapal barang.
Kata nenek, dulu Kakek beliau ketika berangkat haji membawa peti besar berisi uang atau emas (belum ada money changer, jadi emas adalah uang universal). Kemudian beberapa beberapa peti lagi berisi bahan makanan seperti beras, teri, ikan asin, bumbu/sambal, pakaian, dll. Kalau termasuk saudagar kaya haruslah membawa khadimat untuk membawa peti-peti itu dan sekaligus menjadi pengawal di kapal karena jaman dahulu masih banyak juga perompak di lautan. (soal peti, saat kecil saya pernah melihatnya. Dari kayu berwarna hitam dengan tempat gembok yang besar)
Jangan ditanya soal kapan pulangnya. Rata-rata perlu waktu 6 bulan untuk berangkat haji sampai pulang. Malahan ada yang memilih bermukim sambil belajar agama selama 1-2 tahun. Karenanya pada jaman itu yang naik haji hanya kaum lelaki saja.
Selain membawa perbekalan, untuk biaya di perjalanan biasanya juga membawa barang dagangan. Sama seperti pedagang - pedagang Gujarat yang masuk ke Indonesia melalui jalur laut dan membawa agama Islam ke tanah air.
Karena lamanya waktu dan tidak jelas apalagi kesulitan mengirim kabar/surat, maka ketika seseorang akan berangkat haji harus dilepas oleh keluarga dan tetangga dengan suasana istimewa. Berpamitan ke semua orang, meminta ma'af, dan diantarkan oleh tetangga sekampung. Seperti melepas seseorang ke medan perang yang bisa saja ia kembali hanya tinggal nama. Upacara pelepasan sangat mengharukan diiringi adzan dan iqomat serta isak tangis yang tiada henti-hentinya. Seseorang yang berangkat haji telah siap mati dan tidak pernah kembali.
Suasana seperti itu yang sampai sekarang masih menjadi tradisi masyarakat yang berangkat haji. Walimah/tasyakuran sampai upacara istimewa, meskipun sekarang transportasi dan komunikasi sudah tidak menjadi masalah, dan meskipun ratusan ribu orang berangkat setiap tahunnya bahkan ada yang naik haji sampai berkali-kali dengan ONH Plus pula.
Sekian banyak kemudahan dan ongkos yang 'relatif' murah menjadikan haji saat ini bukan barang mewah lagi. Tidak lebih istimewa dari rukun Islam yang lainnya dan seharusnya dijalankan sebagai sebuah kewajiban seorang muslim.
Maka ada orang yang memilih berangkat haji dengan diam-diam, sama seperti ketika ia berangkat ke masjid untuk sholat atau membayarkan zakat atau berpuasa. Tanpa pengumuman, tanpa pelepasan, dan tanpa upacara istimewa. Lebih murah, hemat, jauh dari riya' dan tetap sesuai syari'at khan?
Belum lagi setoran nomor porsi yang 'ngendon' di rekening Kemenag selama bertahun-tahun yang 'buah' nya dicurigai masyarakat awam sebagai peluang korupsi.
Tapi cukup terkesima saya dengan apa yang diungkapkan orang-orang desa yang berangkat haji.
"Sakniki ongkos kaji niku mboten larang kok, mboten kados rumiyin"
(Sekarang ongkos haji itu tidak mahal, nggak seperti dulu)
Ternyata ukuran yang dipakai cukup sederhana. Dulu ketika jaman kakek nenek atau orangtuanya naik haji harus menjual sapi sampai 20 ekor untuk mencukupi setoran. Tapi saat ini 'hanya' dengan 2-3 ekor sudah bisa mengongkosi haji.
Kalau ditarik garis yang lebih besar sebenarnya ini pemikiran yang sangat modern. SOAL INVESTASI.
Orang desa sudah biasa menginvestasikan hartanya berupa sapi, sawah, tanah, atau emas. Maka kenaikan nilai uang diikuti dengan kenaikan nilai investasi yang justru jauh lebih besar. Sangat berbeda dengan cara menabung uang orang kota yang mengandalkan bunga dari bank.
Pantaslah bila antrian pendaftaran haji saat ini sampai 10 tahun ke depan sudah 'full booked'. Bahkan satu desa tetangga tiap tahun berangkat hingga 30 orang. Ckckckckck... murah kan.
Haji Jadul
Jaman Mbah Buyut dahulu, tidak sembarang orang bisa naik haji. Tidak ada pesawat, tidak ada rekening, tidak ada telepon.
Berangkat haji harus naik kapal laut. Kalau ingin lebih murah tentu saja naik kapal barang.
Kata nenek, dulu Kakek beliau ketika berangkat haji membawa peti besar berisi uang atau emas (belum ada money changer, jadi emas adalah uang universal). Kemudian beberapa beberapa peti lagi berisi bahan makanan seperti beras, teri, ikan asin, bumbu/sambal, pakaian, dll. Kalau termasuk saudagar kaya haruslah membawa khadimat untuk membawa peti-peti itu dan sekaligus menjadi pengawal di kapal karena jaman dahulu masih banyak juga perompak di lautan. (soal peti, saat kecil saya pernah melihatnya. Dari kayu berwarna hitam dengan tempat gembok yang besar)
Jangan ditanya soal kapan pulangnya. Rata-rata perlu waktu 6 bulan untuk berangkat haji sampai pulang. Malahan ada yang memilih bermukim sambil belajar agama selama 1-2 tahun. Karenanya pada jaman itu yang naik haji hanya kaum lelaki saja.
Selain membawa perbekalan, untuk biaya di perjalanan biasanya juga membawa barang dagangan. Sama seperti pedagang - pedagang Gujarat yang masuk ke Indonesia melalui jalur laut dan membawa agama Islam ke tanah air.
Karena lamanya waktu dan tidak jelas apalagi kesulitan mengirim kabar/surat, maka ketika seseorang akan berangkat haji harus dilepas oleh keluarga dan tetangga dengan suasana istimewa. Berpamitan ke semua orang, meminta ma'af, dan diantarkan oleh tetangga sekampung. Seperti melepas seseorang ke medan perang yang bisa saja ia kembali hanya tinggal nama. Upacara pelepasan sangat mengharukan diiringi adzan dan iqomat serta isak tangis yang tiada henti-hentinya. Seseorang yang berangkat haji telah siap mati dan tidak pernah kembali.
Suasana seperti itu yang sampai sekarang masih menjadi tradisi masyarakat yang berangkat haji. Walimah/tasyakuran sampai upacara istimewa, meskipun sekarang transportasi dan komunikasi sudah tidak menjadi masalah, dan meskipun ratusan ribu orang berangkat setiap tahunnya bahkan ada yang naik haji sampai berkali-kali dengan ONH Plus pula.
Sekian banyak kemudahan dan ongkos yang 'relatif' murah menjadikan haji saat ini bukan barang mewah lagi. Tidak lebih istimewa dari rukun Islam yang lainnya dan seharusnya dijalankan sebagai sebuah kewajiban seorang muslim.
Maka ada orang yang memilih berangkat haji dengan diam-diam, sama seperti ketika ia berangkat ke masjid untuk sholat atau membayarkan zakat atau berpuasa. Tanpa pengumuman, tanpa pelepasan, dan tanpa upacara istimewa. Lebih murah, hemat, jauh dari riya' dan tetap sesuai syari'at khan?
No comments:
Post a Comment