Thursday, August 19, 2010
Lebih Sayang Mana ?
Kalau kita lemparkan pertanyaan di atas pada seorang wanita yg sudah menyandang gelar Nenek, selengkapnya pertanyaan itu menjadi "Lebih sayang mana, anak atau cucu?"
Bisa dipastikan jawabannya adalah cucu.
Tak terkecuali nenek Andi. Sang nenek meminta ibu Andi, anaknya tetap tinggal bersamanya lantaran tak rela jika si cucu harus diasuh oleh pembantu atau baby sitter. Apalagi Andi adalah cucu pertama.
Begitu juga nenek Syifa yang rela hati meninggalkan sang kakek di rumahnya demi merawat dan menunggui Syifa karena ibu Syifa harus bekerja seusai cuti melahirkan. Kakek pun harus ikhlas untuk menunjukkan rasa sayangnya pada sang cucu, meski hanya beberapa hari dalam sebulan saja dijenguk istrinya.
Lain lagi dengan Rahma. Ibu Rahma yg bekerja di kota terpaksa harus meninggalkan Rahma bersama sang nenek di desa. Nenek Rahma tidak rela jika Rahma harus dititipkan di Tempat Penitipan Anak selama ibunya bekerja.
"Ah, nggak tega bu kalau Rahma di penitipan, nanti kalau diapa-apain gimana? Kayak yang ada di berita-berita itu lho. Kalau di sini kan saya bisa njaga. Apalagi ibunya repot sekolah lagi. Nanti anaknya makin nggak keurus. Sudahlah, memang sudah kewajibannya nenek ngurusi cucunya." begitu jawaban nenek Rahma bila ditanya tetangga atau teman-temannya.
Sebabnya si nenek jadi tidak bisa lagi beraktifitas seperti biasanya, organisasi, kemasyarakatan, dan silaturrahim bersama teman-temannya.
Alasan repot mengurusi cucu sangat manjur untuk keluar dari kesibukan itu.
Umumnya para nenek tidak tega dengan cucunya karena si ibu yang repot bekerja. Padahal kalau ditelisik lebih jauh, para nenek itupun dulunya juga repot ketika berumah tangga. Tetapi karena kembali kepada pertanyaan sesuai judul di atas, ternyata memang nenek lebih sayang pada cucu daripada pada anak.
Soal rasa sayang nenek inipun kadangkala menimbulkan konflik. Kesepakatan aturan ibu dan ayah soal pendidikan si anak seringkali tidak berlaku bagi nenek. Sudah sering keluar keluhan dari ibu-ibu muda ini
"Wah, repot. Aturan nonton TV, makan coklat, semua dilanggar. Neneknya terlampau manjain sih. Tapi ya gimana lagi, saya harus kerja sementara anak-anak gak ada yang ngasuh."
Sebaliknya si nenek pun tak kalah keluhannya,
"Aduuh, ini tulang-tulang sudah tua semua. Harus nggendong cucu, ngikutin dia merangkak. Mana rumah jadi berantakan terus nggak bisa bersih. Saya jadi nggak bisa keluar kemana-mana. Tapi ya gimana lagi, mamanya harus kerja cari uang."
Dan biasanya keluhan-keluhan itu terungkap di komunitas masing-masing. Sesama ibu-ibu dan sesama nenek-nenek. Pernahkah kita mendengarnya dan menyadarinya?
Tapi saat saya bertemu nenek yang satu ini, yang berpendidikan dan berwawasan luas, yang tergolong masih muda menurut ukuran seorang nenek, ada hal lain yang berbeda.
Saat itu saya ( yang memutuskan sejak menikah mengontrak rumah sendiri, pernah pakai jasa pembantu, pernah juga memakai jasa penitipan anak, dan akhirnya memutuskan tidak lagi memakai pembantu) beserta suami dan anak-anak sedang menghadiri acara pernikahan keluarga di gedung mewah. Banyak keluarga besar kami yang berkumpul sekaligus berkangen-kangenan di sana.
Tahu kan, tiga jagoan saya yang dimanapun berada, dalam suasana resmi sekalipun akan selalu bermain dan heboh. Saya dan suami harus sering tergopoh-gopoh karena kehilangan pantauan radar mereka yg berlarian memutari seisi ruangan gedung menyibak diantara kerumunan orang-orang. Heboh bermain di taman yg jadi penghias pelaminan karena ada air mancur buatan sampai-sampai harus diusir oleh Event Organizer nya. Hampir menubruk pramusaji yang membawa baki makanan, dan tersandung kabel sampai lampu kilat juru potret nya mati. Repot dan agak 'memalukan'.
Si nenek muda menghampiri saya yang terduduk kelelahan. Beliau masih terhitung keluarga juga dengan kami.
"Capek ya, jeng. Anak tiga laki semua."
"Eh, iya. Anak-anak kompakan banget bu kalau lagi heboh gitu."
"Ah, biasa. Ketika masih kecil-kecil ya memang agak repot. Sebentar lagi kalau mereka sudah SD kelas 5 atau 6 ya sudah gampang lah." ujar beliau.
"Apalagi kalau udah SMP, malahan jarang di rumah. Les, ngerjakan tugas, main di rumah kawannya. Mamanya nanti malah yang bingung cari kesibukan," lanjut beliau sembari tersenyum mengibur.
"Itu anak-anak dan cucu saya, " si nenek menunjuk pada dua pasang lelaki perempuan dengan baju sewarna yang masing-masing membawa 2 anak bahkan masih ada yang bayi.
"Saya bilang ke anak-anak. Ibu nggak mau kalau kalian nitip anak-anak kalian ke ibu. Dulu ibu juga sama repotnya mengurusi kalian ketika kecil. Tapi semua bisa ibu jalani. Sekarang anak-anak kalian harus diurusi sendiri. Kalau ada hambatan ya harus kreatif cari solusi. Supaya kalian juga bisa mandiri termasuk anak-anak kalian,"
Si nenek membenahi tempat duduknya, sementara saya berdebar-debar menunggu kelanjutan ceritanya.
"Saya bilang juga, tugas ibu dan bapak mengasuh kalian, membesarkan, meyekolahkan sampai kalian menikah sudah selesai. Sekarang tugas ibu konsentrasi mendampingi ayah kalian, beramal di kegiatan organisasi dan memanfaatkan tenaga ibu di masyarakat. Kalau ibu sayang pada cucu-cucu ibu ya sudah pasti, tapi bukan berarti harus mengambil alih tugas kalian sebagai orangtua untuk mengasuh dan mendidik mereka."
Kata si nenek, anak-anaknya menurut beliau cukup mandiri. Mereka masih ada yang mengontrak rumah, meskipun saya tahu si nenek termasuk keluarga yang berada dan kalau 'cuma' membelikan rumah untuk anaknya pasti bisa.
Setiap minggu beliau berkunjung atau dikunjungi oleh cucu-cucu dan anak-anaknya. Membuat acara-acara atau sekedar bertemu saja.
Saya memandang nenek muda itu dengan penuh kekaguman. Setidaknya apa yang beliau katakan menjadi bahan bakar baru untuk semangat saya menjadi orangtua sebenarnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment