Monday, January 6, 2014

Anakku Gifted: Bertahan Di Sekolah

Puncak kebosanan sekolah, ada di kelas 5. Dalam seminggu selalu saja ada mogoknya. Bahkan tidak hanya sehari yg bolong.

'Nggak ada yang menarik'
'Bosan'
"Tidak ada tantangan'
'Nggak ada gunanya'
'Aku pengen tiap hari ada yang berbeda'
'Buat apa ? Aku nggak dihargai'

Begitulah sederet kalimat yang diungkapkan Hanif.
Kalau pagi ini dia mengatakan tidak ingin masuk sekolah, maka segala nasehat, kata-kata motivasi bahkan iming-iming apapun itu nggak akan mempan. Apalagi jika dipaksa. Dipastikan akan semakin memicu perlawanan.

Jika jalur nasehat dan motivasi sudah kutempuh, biasanya aku biarkan ia merenung seharian itu. Anggota keluarga lain tetap beraktifitas seperti biasa.
Sore atau malam kami teruskan dengan kisah-kisah penuh semangat dan syukur-syukur kalau akhirnya dia bisa curhat penyebab mogoknya saat kupancing-pancing.
Besoknya tetap aku ingatkan sekolah. Tidak bosan-bosan dan tanpa lelah. Maksimal 2 hari kemudian, dia akan sekolah kembali.

Tapi menginjak kelas 6, insiden mogok sekolah sudah tidak terjadi lagi.
Setiap pagi Hanif segera bangun. Mandi dan sarapan tanpa diingatkan lagi. Meskipun bel baru akan berbunyi pukul 07.15 tapi setengah tujuh sepedanya sudah dikayuhnya. Padahal jarak ke sekolah hanya akan ditempuh 5 menit.

Perubahan drastis itu membuatku dan ayahnya heran sekaligus senang. Wow banget.
Selidik punya selidik termasuk cerita dari satpam sekolah, Hanif datang pagi tidak langsung masuk ke halaman sekolah tapi melewati gerbang sekolah dan lanjut ke sebuah gang menuju sekolah dari arah lain. Di situlah seorang penjual kue rangin alias kue pancong setiap pagi mangkal. Dan di situlah Hanif menghabiskan seluruh uang jajannya hari itu untuk membeli kue. Menikmatinya hingga habis baru masuk ke gedung sekolah.

Hanif membangun sendiri motivasi internalnya untuk berangkat ke sekolah. Bukan untuk belajar atau bermain tapi untuk bisa menikmati kue pancong sepagi mungkin! Dan itu berlangsung berminggu-minggu terus menerus.

Setelah konsisten membangun motivasi internal dengan kue pancong, beberapa lama kemudian berubah. Kali ini berhubungan dengan ikan.

Setiap pagi bersemangat ke sekolah tapi pulangnya agak terlambat. Memarkir sepedanya di teras rumah, melepas sepatu, masuk ke dalam rumah sambil menenteng sebungkus plastik berisi air dan ..... dua atau tiga ekor ikan kecil.

Ya, Hanif berangkat ke sekolah untuk menunggu momen bel pulang. Dia akan meluncur ke luar gerbang sekolah dan di sisi kiri gerbang itulah seorang nenek berkebaya dan berkain menggelar dagangan ikannya. Beberapa sudah siap terbungkus plastik berisi air dan beberapa lainnya masih berenang bebas dalam sebuah ember besar.

Setiap hari lagi-lagi seluruh uang sakunya berubah wujud jadi ikan-ikan kecil. Mulanya ikan-ikan itu ditampung dalam baskom. Tapi setelah beberapa insiden ikan yang melompat keluar atau paginya mati karena kekurangan oksigen dalam air, maka ayahnya menyediakan container yang lebih besar dan membelikan makanan ikan. Karena tidak punya pompa air dan pembuat gelembung, maka sebuah ide muncul untuk membuat alat pembuat gelembung sendiri. Sebuah balon dan selang infus baru tapi sudah expired yang diambilnya dari klinikku. Balon yang sudah ditiup dihubungkan dengan selang infus yang ujungnya masuk ke dalam air. Balon diletakkan lebih tinggi dari permukaan air dan ketika keran infus dibuka maka ada aliran udara yang akhirnya menimbulkan gelembung di air. Semakin besar keran dibuka aliran udara akan makin banyak, tapi makin sering balon harus ditiup.

Karena makin hari makin banyak ikan yang dibawa Hanif, akhirnya ayah mengajak membuat proyek akuarium. Potongan kaca, lem tembak dan lain-lain termasuk belajar dari penjual akuarium di pasar. Akhirnya sebuah akuarium berukuran sedang selesai juga. Dilengkapi dengan alat pompa, filter dan pembuat gelembung jadilah ikan piaraan berhak dipamerkan di ruang tamu.

Tapi kok ikan yang dibeli Hanif malahan bibit ikan lele?
'Waduh, Nif. Kok ikan lele sih yang dibeli?'
'Ya nggak apa-apa kan buk. Lebih bermanfaat soalnya kalau besar bisa dimasak'
'.............'
Tebak, siapa yang merasa percuma mendebat si anak gifted?

Ikan-ikan lele makin besar, lebih tepatnya sangat cepat besar hingga akuarium terasa penuh sesak. Lha iya, bukankah ikan lele harusnya dipiara di kolam.
'Ikan lelenya dimasak ibu saja, ya' usul si ayah.
'Ah, nggak mau. Wong penampilan ikan lelenya gitu sih. Akibat diberi makan makanan ikan hias, jadinya si lele kulitnya agak keputihan mengkilap. Mirip albino. Geli ah, masak mau dimakan.'

Setelah diskusi panjang, para lele menemukan habitat yang sangat tepat. Dilepaskan di danau buatan yang biasanya jadi tempat wisata anak-anak muda.

Mulailah Hanif mengisi kembali akuarium dengan ikan-ikan yang aku pesan.
'Ikan mas koki atau ikan koi, pokoknya yang lucu-lucu ya.'

Dan beginilah ritual Hanif setiap hari. Bangun pagi, ngasih makan ikan dan memandangnya lama-lama. Pulang sekolah, hanya melepas sepatu, langsung masuk rumah, belok kiri ke tempat akuarium, memasukkan ikan yang baru dibeli, ngasih makan ikan, memandangnya lama-lama, baru menyapa adik bayinya. Soal mengganti filter, mencuci dan bahkan menguras dan mengganti air akuarium, akan dijalaninya dengan semangat. Ini berlangsung berbulan-bulan sampai ia beralih motivasi karena nenek penjual ikan akhirnya dilarang berjualan di area sekolah.

Beberapa bulan terakhir menjelang UN, Hanif membangun motivasi yang lain. Berangkat ke sekolah agar saat pulang nanti bisa mampir di warung sebut saja Bu Isti (karena aku lupa namanya). Rupanya di warung yang berjarak satu gang dari sekolah, menjadi tempat anak-anak kelas 6 nongkrong sepulang sekolah. Mereka yang bosan dengan menu kantin sekolah biasanya membeli aneka makanan, minuman dan jajanan di warung Bu Isti. Bedanya, anak-anak lain mungkin tidak setiap hari mampir, tapi Hanif dipastikan setiap hari mampir di sana sampai pemilik warung pun hafal.

Aku sempat khawatir dengan kebiasaan nongkrong itu. Pembicaraan atau cerita Hanif di rumah jadi lebih gaul. Istilah-istilah atau lagu-lagu masa kini atau acara-acara teve yang kami tidak pernah tonton dan tidak pernah jadi topik di rumah, dia kok jadi tahu banget gitu. Untunglah ada si tante yang bisa aku  mintai penjelasan soal dunia anak muda jaman sekarang.

Hanif jadi sering berbaur dengan anak-anak lain di warung Bu Isti. Dan rupanya itu menjadi jalan dia merasa diterima oleh teman-temannya. Kalau temannya bercerita lucu dan tertawa ngakak-ngakak, dia ikutan juga ngakak-ngakak. Kalau temannya guyon, dia ikutan juga guyon. Aku ikuti terus perkembangannya, dan sesekali bertanya, lebih tepatnya interogasi, sampai sejauh mana pengaruh pergaulan itu. Selama masih dalam batas wajar, aku lepaskan dia bebas.

Selain dapat motivasi sekolah, Hanif pun akhirnya kenal dan akrab dengan teman-temannya. Sampai menjelang kelulusan. Dia akhirnya bertahan di sekolah.

No comments:

Post a Comment

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK