Ayah punya ide yang cukup bagus juga. Mobil ditinggal di halaman stasiun, kita sama-sama naik kereta ekonomi(karena hanya kereta itulah yang berhenti di stasiun kecil itu) ke kota Bojonegoro trus balik lagi ke Sumberejo.
Survey mulai dilakukan. Jadwal kereta yang terpampang menunjukkan kereta ke arah Bojonegoro lewat kira-kira jam 11.30.
"Yah, harga tiketnya cuma seribu, murah sekali ya" kata si Sulung.
"Iya ya, masih mahal kalau naik becak ke pasar." Ibu menimpali.
"Namanya juga kereta ekonomi...." sahut Ayah.
Oke. Rencana sudah disusun. Anak-anak persiapan mulai jam 11, tante juga ikutan. Barang berharga tidak perlu dibawa. Bahkan dompet Ibu pun ditinggal, cukup bawa uang sekedarnya di kantong baju, sebab sudah maklum adanya banyak copet di kereta ekonomi.
Lewat jam 11 anak-anak masih sibuk dengan permainannya. Peluit kepala stasiun terdengar nyaring, gemuruh suara roda kereta beradu dengan rel besi. Ayah, Ibu dan tante setengah berlari masing-masing menggandeng satu anak.
"Ayo anak-anak.. cepat, berhentinya cuma satu menit!" teriak Ayah. Anak-anak berlari gembira. Suara di mikrofon mengisyaratkan agar mendahulukan penumpang yang turun. Ayah mengambil posisi di pintu gerbong terdekat. Alamak ternyata tinggi sekali. "Aduh bagaimana ini naiknya?" jerit Ibu yang pakai rok.
Dengan sigap Ayah naik ke gerbong, tante mengulurkan si Sulung dan diterima Ayah dari atas. Giliran Kakak Tengah kemudian Adik Bungsu yang setengah menjerit-jerit takut ketinggian. Tante yang pakai celana panjang segera menyusul. Ibu memegang handle di pinggiran pintu dan menaikkan satu kakinya. Tidak terlihat tangga bantuan yang biasanya ada di stasiun kecil seperti ini. Oh, ya Allah tinggi banget, untunglah di balik longdress Ibu masih ada celana panjang. Ayah dan tante sibuk mengatur anak-anak, jadilah Ibu berjuang sendiri mengangkat badan yang sudah tidak langsing lagi seperti dulu. Alhamdulillah berhasil.
Anak-anak berebut tempat duduk yang kosong. Masih ada dua bangku berhadapan yang bisa ditempati. Sedikit berdesakan tapi menyenangkan.
"Ayah..." Ibu setengah berbisik.
"Kita tadi belum beli tiket, yah"
"Hmm, Nggak apa, nanti kita bayar cash aja ke petugasnya" Kata Ayah
"Ticket-man? Pokoknya nanti urusan Ayah loh." Ayah mengangguk "Beres."
Beberapa detik kemudian kereta mulai lambat-lambat berjalan.
"Eh, jalannya kok mundur." kata Kakak Tengah.
"Iya sayang, soalnya kita menghadap ke belakang."
Anak-anak mulai berisik sendiri. Ibu sudah kebal dengan pandangan orang-orang sekitar karena dimanapun anak-anak mereka pasti ribut. The Three Boys yang super aktif.
"Ibu kenapa jalannya kereta kok lurus aja, kok nggak belok-belok?"
"Ya, soalnya kereta kan panjang dengan gerbong yang sambung menyambung, kalau beloknya terlalu tajam nanti bisa ngguling gerbong belakangnya."
"Ayah, kita enak ya lewat, mobil-mobil lain disuruh berhenti."
"Hayoo, siapa yang tahu kenapa begitu?" Ayah balik bertanya
"Ya karena jalannya kereta cuma satu jadi harusnya diduluin. Trus kereta kan nggak bisa berhenti mendadak. Harus di stasiun." Jelas si Sulung yang hobi membaca itu.
Ganti Ibu nih,"Lha kalau pohon-pohon sama tiang-tiang listrik itu kelihatan dari sini seperti bergerak, ya."
"Itu namanya gerak relativitas bu atau gerak semu. Itu seperti kalau kita bikin film kartun, gambar-gambarnya digerakkan dengan cepat. Itu memanfaatkan efek kelembaman atau kemalasan mata..." Urai si Sulung.
Ahai, apalagi tuh. Ibu nggak nyambung.
"Nah, sekarang giliran Ayah yang bertanya. Kenapa rel kereta apinya di bawah tadi sempit, tapi gerbong keretanya kok lebar?"
"Mm, Emangnya kenapa, Yah?" Tanya si Sulung
"Oke, Ayah mau cerita. Rel kereta di negara kita ini dibangun saat jaman Belanda. Waktu itu keretanya sempit dan masih berkecepatan rendah. Nah sekarang gerbongnya lebar tapi rodanya dipasang menyempit di tengah karena titik bebannya ada di situ untuk menjaga keseimbangan saat kereta berbelok biar tidak terguling. Dengan rel yang sempit itu di negara kita belum bisa menggunakan kereta dengan kecepatan tinggi. Kalau di luar negeri sudah dirancang jalannya agak lebar jadi bisa untuk kereta kecepatan tinggi dengan gerbong lebar. Sebenarnya bisa saja kita memakai kereta kecepatan tinggi tapi harus mengganti relnya jadi rel lebar dan itu butuh biaya yang sangat tinggi. Nah, itu cerita dari teman Ayah yang bekerja di perusahaan pembuat kereta api di Bandung"
"PT INKA ya, Yah" kata Ibu. "Ya.."
Kereta berjalan lebih cepat, angin menerobos masuk lewat jendela yang terbuka membawa kesejukan sebab dari tadi semua serasa mandi sauna. Bulir-bulir keringat perlahan mulai menguap.
Suara berisik roda kereta bersaing dengan suara penjual-penjual segala macam rupa yang berseliweran tiada henti. Aneka minuman, nasi pecel, kipas, ikat pinggang. Anak-anak masih memandang takjub mereka sementara ibu menggeleng-geleng terus menolak tawaran yang setengah memaksa. Penjual terompet tahun baru dengan sengaja dan sadar menggantungkan dagangannya di bagasi atas tempat duduk anak-anak. Ibu tersenyum tahu kalau anak-anak tidak suka dengan terompet. Akhirnya abang penjual dengan kesal mengambil lagi dagangannya diiringi pandangan anak-anak heran. "Ayah, kita kan pernah bikin terompet sendiri dari sedotan, ya." komentar Kakak Tengah.
Serombongan anak muda masuk ke gerbong. Ada yang membawa gitar, ukulele, gendang, dll. Mereka menyanyi dengan sebuah paduan komposisi musik yang cukup bagus. Suara vokalis yang merdu membawakan sebuah lagu dari Band masakini. Dandanan mereka cukup keren untuk ukuran seorang pengamen. Mungkin mereka 'pengamen profesional'. Ketiga anak melongo melihat mereka sampai selesai bernyanyi. Tante tertawa melihatnya. "Dasar anakmu memang nggak pernah naik kereta ekonomi, Mbak." katanya pada Ibu.
Kereta berhenti di stasiun Kapas, menurunkan penumpang dari Surabaya. "Ayah, kabel-kabel itu untuk apa?" Tanya Si Sulung menunjuk kabel-kabel kawat dengan roda-roda berputar di sisi rel.
"Oh, itu terhubung dengan tuas-tuas di stasiun, gunanya untuk memindah jalur rel atau mengubah posisi palang besi penanda kalau ada kereta mau masuk stasiun. Pada jaman dulu, kawat itu juga dipakai untuk mengirim berita dari stasiun satu ke stasiun yang lain pakai sandi morse. Tapi kalau sekarang sih sudah ada telepon kan."
Kereta bergerak kembali dengan tenang. Sesekali melewati jembatan dengan suaranya yang lebih bergemuruh.
Orang-orang bersiap-siap dengan barang bawaannya karena stasiun berikutnya adalah pemberhentian terakhir, Bojonegoro.
Di stasiun Bojonegoro yang cukup besar, kereta hanya berhenti beberapa menit sebelum kembali ke jurusan Surabaya. Penumpang sudah banyak yang antri untuk naik. "Wah, kita nggak usah turun aja ya, nanti malah nggak kebagian tempat duduk." Kata Ayah.
"Hai lihat, itu kepala kereta kita." Ibu menunjuk, anak-anak semua melongok ke jendela. Lokomotif kereta melepaskan gerbongnya kemudian bergerak ke arah ekor dan menyambung kembali ke gerbong paling belakang. Jadilah ekor itu berubah menjadi kepala. Begitu cara kereta untuk berganti haluan.
Peluit melengking pertanda kereta siap berangkat kembali.Kereta meluncur kembali ke jalur ia datang. Mulai capek, haus, and kepanasan.
"Ayah, haus nich." Anak-anak merengek.
Puluhan penjual makanan dan minuman yang berseliweran tadi akhirnya parkir juga di bangku keluarga itu.
"Pak, CupMie nya berapa?" Tanya Ibu pada penjual mie yang membawa-bawa termos air panas.
"Lima ribu"
"Ih, mahal amat. Tiga setengah ya.." Ibu menawar.
"Sudah harganya, bu." Tentu saja Pak Penjual tidak mau menurunkan harga. Lha anak-anak sudah ribut milih-milih.
"Ibu, penjual di kereta itu udah kompakan. Jadi percuma nawar. Kalau temannya ada yang tahu kalau dia jual di bawah harga, bisa terancam dia." Ujar Ayah ketika penjual mie sudah pergi.
Nah, jadilah segelas mie lima ribu, sebotol air mineral tiga ribu, dikali berapa kepala?
"Aih, Ayah. Naik kereta ekonomi sih karcisnya murah, tapi jajanannya ?" keluh Ibu.
"Ya, sesekali aja kan, Bu. Emang serunya kan makan rame-rame."
Menjelang stasiun kereta api Sumberejo, awan hitam terlihat menggantung.
"Ibu, lihat. Awan cumulonimbus ditambah angin perkiraanku akan turun hujan!" Seru si Sulung.
Benar saja, sebentar kemudian tampak titik-titik air yang mulai tercurah, makin mendekati stasiun, makin deras.
Kereta melambat, anak-anak mulai bersiap-siap. Ingat, kereta hanya berhenti satu menit. Semua sudah berbaris di pintu gerbong terdekat.
Kereta berhenti, Ayah melongok keluar pintu. "Ibu, gerbong kita masih jauh dengan stasiunnya!" Hujan masih deras. "Jadi bagaimana?" teriak Ibu panik.
"Ya terpaksa harus turun disini."
Ayah melompat dari pintu gerbong yang tinggi menyentuh batu-batu hitam rel kereta. Diambilnya si Sulung yang segera lari menuju stasiun, Kakak Tengah digendong ayah yang juga segera lari, Adik Bungsu digendong Tante yang juga berlarian dan menutupi kepalanya dengan kipas bambu yang tadi dibeli di kereta. Selain untuk berlindung dari air hujan juga untuk menutupi wajahnya yang menahan malu. Anak-anak berteriak-teriak kegirangan. Jarang-jarang mereka boleh bermain hujan-hujanan.
Ibu berjongkok di pintu gerbong yang cukup tinggi dari tanah berbatu itu. Kemudian melompat dengan lutut yang gemetaran. Sandal berjinjitnya menimpa kerikil, Ibu oleng sebentar menjaga keseimbangan. Kemudian berlari menyusul anak-anak. Sebentar kemudian Ibu pasrah, tidak meneruskan larinya. Terbersit rasa penyesalan kenapa memakai sandal dengan hak itu. Toh kalaupun berlari tetap saja akan basah oleh hujan.
Kepala-kepala melongok dari jendela kereta, tersenyum-senyum dengan komentarnya entah macam apa lagi.
"Nggak usah lari,bu. Wong sama air saja, nggak usah takut."
"Ya, betul.. betul.. betul."
Sepuluh meter dari stasiun, Ayah menyusul membawa payung yang kelihatan percuma. Sebab Ibu sudah basah kuyup. Tapi toh Ibu menerima perlindungan Ayah dengan senang hati. Sampai di stasiun semua beristirahat di ruang tunggu. Budhe yang membawakan payung menyesalkan kejadian itu.
"Tadi kan mestinya kalau mau balik ke sini pilih gerbong yang deket lokomotif. Jadi berhenti nggak jauh-jauh dari stasiun. Aku tadi udah kuatir jadi nyusul bawa payung."
"Ya, tadi berangkatnya kan di kepala mbak. Pulangnya jadi di ekor." sahut Ayah.
"Habis, nggak pengalaman sih naik kereta." kata Ibu
"Ya, ini kan juga jadi pengalaman. Tuh, anak-anak asyik aja. Malah mereka gembira.." kata Ayah.
"Yah, ini juga balasan karena kita tadi nggak beli karcis. Pulangnnya juga nggak ditarik bayaran. Ini akibat numpang kereta gratisss...." Ibu setengah berbisik. Ayah mendelik tapi tersenyum.
Dan anak-anak pun tetap ribut di depan loket stasiun, bahkan dimanapun juga mereka tetap HAVING FUN.
No comments:
Post a Comment