Saturday, May 8, 2010

'Think Big!'

Asma Nadia pernah ragu dan berkata "Saya tidak yakin bisa menulis, saya tidak yakin berbakat menulis!" (No Excuse!, by Isa Alamsyah). Asma Nadia?


Kalau penulis hebat sekelas Asma Nadia saja pernah ragu, apalagi saya yang bukan 'siapa-siapa'.
Kalau dulu Asma Nadia pernah tidak yakin dengan kemampuannya, maka saya sekarang sedang dan masih tidak PeDe dengan tulisan sendiri. Sampai sebuah goresan pesan Asma Nadia di buku yang baru saya beli,
To : Ani
Think Big!

Motivasi besar dibalik tulisan itu memaksa saya menyusuri kembali jalan panjang di belakang sana. Harus memunguti keindahan yang berserak itu dan merangkainya menjadi sebuah keyakinan. Aku Harus Bisa!


Baca Dulu


Saya suka buku. Bahkan saya sudah pandai membaca sebelum menginjakkan kaki ke halaman Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita desa Bedahan kecamatan Babat kabupaten Lamongan dan bertemu dengan Bu Sri dan Bu Lilik yang ceria. Dan saya jadi satu-satunya murid yang menuliskan kata "Ini Gunung Semeru" pada pelajaran menggambar di hari pertama sekolah yang membuat kedua ibu guru itu meminta saya maju ke depan kelas, di depan seluruh teman dan orang tua yang melongok-longokkan kepalanya di jendela.


Saya tidak pernah memilih-milih buku apa yang ingin saya baca. Apalagi di rumah ayah yang seorang guru, buku demikian mudah ditemukan. Bahkan saya membaca buku Satuan Pelajaran dan juga buku Kumpulan Khutbah Jum'at milik beliau. Tidak ada buku yang khusus dibeli untuk saya selain buku pelajaran sekolah, karena bagi seorang guru desa berapakah budget untuk sebuah buku cerita dibanding untuk keperluan makan sehari-hari?

Tapi ayah punya cara lain. Ayah yang saat itu merangkap menjadi kepala sekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta, membawa kardus-kardus besar berisi buku-buku Inpres bantuan pemerintah untuk sekolah-sekolah dasar. Beliau menyematkan tugas besar pada saya : 'menyetempel semua buku-buku itu dengan setempel sekolah' dengan sebuah kompensasi menyenangkan, boleh membaca semua buku itu sesukanya!

Dari sanalah saya kenal dengan nama-nama seperti Pipiet Senja, N.H Dini, Sherly Marlinton, bahkan Enyd Blyton. Ada juga penulis buku-buku kesehatan yang sangat saya sukai, dr. Hendrawan Nadesul.


Buku-buku itu terus berada di rumah dalam jangka waktu lama karena rak buku yang dijanjikan pemerintah belum juga tiba ke sekolah ayah. Dan karena semua buku sudah tamat terbaca, waktu itu timbul juga 'kenakalan' kecil. Saya membuat kartu-kartu kecil sendiri dan menyewakan buku-buku itu pada teman-teman main dengan bayaran 25 rupiah per buku. Tentu saja ayah tidak tahu hal itu. He .. he ..

Dan Mulailah Menulis

Mungkin akan terjadi secara alamiah bila seseorang suka membaca maka ia akan tergelitik untuk mencoba menulis. Kelas 3 SD saya menyisihkan satu buku tulis khusus untuk menulis puisi. Belakangan ternyata lebih dari satu yang penuh oleh tulisan puisi saya. Bahkan sebuah buku dibawa dan disimpan oleh guru Bahasa Indonesia saya, Pak Supratman. Dan hanya itu saja yang terjadi. Tidak ada yang menganggap puisi saya istimewa bahkan kedua orang tua saya. Atau barangkali saya yang tidak tahu bagaimana penghargaan mereka.

Dan di penghujung kelas 5 SD saya ikut lomba mengarang bebas. Delapan halaman folio bergaris penuh dengan tulisan saya. Saat itu saya bercerita tentang sebuah desa, dengan gambaran detail, di sebuah lereng perbukitan yang gundul akibat penebangan liar. Seorang gadis kecil sebagai tokoh utamanya merasa sangat prihatin dan berusaha menyadarkan para orang dewasa meski tidak digubris. Sampai di suatu musim penghujan, terjadilah apa yang ditakutkan. Banjir bandang, tanah longsor, ternak-ternak yang tidak dapat diselamatkan, dan penduduk yang mengungsi. Usai krisis berhenti, si gadis kecil dengan semangatnya menjadi pelopor upaya reboisasi yang berhasil. Bahkan sebagai pengingat di pintu masuk desa dibangunlah sebuah prasasti yang indah lengkap dengan gambaran pohon Kalpataru di puncaknya, atas gagasan si gadis kecil.


Karya saya mendapat juara II, hanya karena tulisan saya lebih jelek dibanding sang juara I. Kalau saja orisinalitas ide dan daya imajinasi yang menjadi kriteria utama, dan seandainya saat itu jurinya adalah Asma Nadia, mungkin saya dapat juara satu lho (ehm .. ehm ..).

Mari Menulis Diary

Seperti layaknya remaja SMP hingga SMA, diary alias si buku harian juga menjadi kawan setia saya. Hanya bedanya saya menuliskan setiap rekaman peristiwa yang saya alami dalam bentuk puisi. Ya benar, dalam bentuk puisi. Pertimbangannya waktu itu sederhana saja, uang saku saya tidak cukup untuk membeli buku diary yang punya kotak dan kuncinya. Nah agar aman bila dibaca orang lain (kadang ibu saya membongkar-bongkar almari buku saya) dan hanya saya saja yang mengerti maksudnya, maka puisi menjadi pilihan. Jadilah sebuah peristiwa pelantikan dalam kegiatan Pramuka yang berkesan pun tertulis dalam bentuk puisi. Aneh, ya.

Dipaksa Menulis Cerpen

Berawal dari tugas guru Bahasa Indonesia, terpaksalah harus menulis cerpen. Saat itu masih kelas 1 SMA. Dan -begitu saja- sebelum deadline habis, cerpen itu sudah siap. Judulnya "Ayah ", sederhana dan simpel. Ketika saya sodorkan pada guru pengganti yaitu seorang mahasiswa tingkat akhir IKIP Negeri Surabaya (sekarang UNESA) yang sedang praktek mengajar, beliau menggeleng-geleng kepala penuh keheranan. "Bagaimanan kamu bisa nulis seperti ini? Ini khan cerpen dewasa?"

Komentar yang masuk akal, sebab dalam cerpen itu saya berkisah tentang seorang wanita perawan tua yang trauma terhadap pernikahan akibat perlakuan buruk ayahnya pada dia dan ibunya. Coba saja bandingkan dengan tulisan teman-teman yang rata-rata menjiplak majalah atau komik remaja yang berkisah tentang intrik cinta remaja picisan dan petualangan dunia persilatan. Dan dengan sukses cerpen saya 'dicuri' dari tumpukan tugas oleh pak guru muda itu.

Paksaan kedua karena sebuah pesanan dari adik yang juga mendapat tugas dari sekolah. Saya beri judul "Jangan Tunda Aisyah!"

Kisah remaja SMA yang tinggal di asrama (kebetulan adik juga tinggal di boarding school) yang hampir setiap minggu pergi ke sebuah kompleks ATM mengambil uang atau mengecek transfer dari orang tuanya. Di ATM itulah ia sering memperhatikan seorang pengemis perempuan dengan 2 orang anaknya. Bagaimana mereka makan, minum susu yang encer, dan bagaimana mereka tidur di trotoar tanpa selembar selimut, bahkan di malam yang sungguh menusuk. Setiap kali remaja yang bernama Aisyah itu melihat mereka timbul iba dan keinginannya untuk memberikan sekedar selembar selimut. Namun setiap kali ia kembali kepada kehidupannya, semuanya selalu terlupakan begitu saja. Dan hal itu terus berlangsung.

Sampai suatu ketika kegundahan itu mengkristal menjadi sebuah tekad bulat. Diambilnya tas, selimut pemberian tantenya yang tak pernah terpakai, handuk, dan sedikit uang di amplop. Dibawanya semua barang itu menuju kompleks ATM dimana keluarga pengemis itu tinggal. Namun sebelum niatnya tercapai, Aisyah melihat pemandangan yang sangat menyesakkan. Ibu dan dua anaknya terkapar dikerubuti orang-orang. Di tangan sang ibu masih ada sebuah nasi bungkus yang belum habis dimakan. Aisyah merasa semestinya sebuah niat yang baik tak boleh ditunda.

Mutiara Inspirasi

Dan sekarang, keindahan perjalanan yang pernah saya lalui itu haruslah menjadi 'kekuatan intrinsik' untuk memulai kembali.

Sungguh dalam hidup saya yang sekarang begitu banyak mutiara-mutiara inspirasi yang berserakan di sekeliling saya. Tiga anak sejak mereka belum dilahirkan, suami sejak kata pinangan pertamanya, pasien-pasien yang selalu punya cerita mereka sendiri, teman-teman yang beraneka ragam, sekolah anak-anak, pekerjaan, sampai intrik politik dan birokrasi.

Bahkan begitu banyak ide yang telah muncul ketika saya bekerja, ketika saya menyapu, menyuapi, menyetrika, dan melamun. Ide-ide itu telah mengalir dan terangkai dalam suatu alur di otak saya. Menunggu saat dan kesempatan untuk ditorehkan.

Semestinya saya tidak perlu cemas tidak menang lomba akibat tulisan yang jelek. Karena menulis dengan komputer jauh lebih cantik dan efektif (meskipun tulisan tangan yang jelek itu masih bermanfaat untuk profesi saya sebagai dokter).

Sayangnya kesempatan untuk untuk menulis itulah yang cukup langka. Apalagi di hari-hari selama satu setengah tahun ini tanpa asisten rumah tangga, berbagi dengan jam-jam praktek di rumah, pekerjaan dan pasien-pasien rawat inap, menjadi guru untuk anak, dan seabrek kegiatan lainnya. Tubuh yang kelelahan di malam hari kadang menyumbat aliran inspirasi.

Terpampang dengan huruf kapital cetak tebal dalam kepala sebuah update status dari Helvy Tiana Rosa : "Jangan menunggu waktu luang untuk menulis, tetapi luangkanlah waktu untuk menulis."

Jadi sesungguhnya saya hanya harus berusaha terus menulis. That's all. Mungkin satu atau dua jam sehari untuk sebuah 'waktu menulis' is good enough.

Think Big!

Berpikir besar. Ya, hanya dengan berpikir besar yang akan meletupkan energi menulis itu. Suatu saat nanti saya akan mempunyai buku saya sendiri dan menjadi penulis terkenal. Kapanpun.


Kalau tidak sekarang saya menjadi seorang penulis terkenal, mungkin nanti ketika anak-anak sudah besar. Kalau masih belum bisa juga, mungkin nanti ketika saya sudah pensiun dan mempunyai sangat banyak waktu.
Kalaupun masih belum juga, barangkali ketika anak-anak saya dewasa dan menjadi tokoh terkenal, sukses dalam kehidupannya, maka apapun yang berhubungan dengannya menjadi begitu penting.
Mungkin ketika saya sudah meninggal, anak saya akan menemukan serpihan-serpihan tulisan saya dan membukukannya menjadi sebuah memoar dan akan menginspirasi begitu banyak orang di dunia (untuk itu saya perlu mewariskan alamat dan password blogger saya).


Berpikir Besar dan Terus Menulis. Itu yang harus saya lakukan.

(Di tengah saya menulis ini, anak sulung saya yang berumur 9 tahun, menyodorkan sebuah buku tulis indah. Baru saja ia menuliskan puisi di halaman pertamanya. Appreciate. Itulah yang harus saya lakukan agar saya merasa menyiram dan memupuk kuncup-kuncupnya yang mulai bersemi. Sebelum saya menyelesaikan tulisan ini, si sulung meminta dibuatkan blognya sendiri, dan ia pun mulai menulis. Indah bukan?)

1 comment:

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK