Sunday, May 30, 2010

Sedekah Rongsokan

It's time to clean up! Minggu pagi atau libur-libur yang lain.

Setelah itu, entah darimana asalnya semua kardus, botol bekas, plastik pecah, mainan koyak-koyak, kertas-kertas catatan, tiba-tiba jadi seonggok gunung.

Dengan sebuah tekat bulat "Harus Berani Membuang!!" maka onggokan gunung itu bertransformasi menjadi sosis karung.

Biasanya sih, kalau ada si Eyang, sosis karung itu jadi sumber negosiasi dengan tukang rombeng. Kadang ada perdebatan, tak jarang ngedumel nya Eyang lebih dominan. Ujung-ujungnya transaksi berakhir dengan lembaran lima ribuan, sepuluh ribuan, paling mentok yah dua puluh ribu lah. Sepanjang ingatan sih nggak pernah sampai 100 ribu.


***********

Adzan shubuh baru berkumandang, rutinitas sebelum mengambil air wudhu buat sholat adalah membawa sampah dapur ke depan rumah kalau nggak mau ketinggalan Pak Sampah. Alasan kenapa harus dikeluarkan pagi adalah bahwa saya tidak mau semalaman para kucing dan tikus menjadikannya tempat pesta dan ujung-ujungnya besoknya berantakan sedangkan Pak Sampah tentu saja hanya membawa yang bisa beliau bawa dengan ringkas. Jadinya sampah yang tertinggal menjadi sumber aroma 'wangi'.

Tidak seperti biasanya, kali ini mata saya berusaha menembus udara gelap hingga ke ujung gang sebelah timur. Di bawah lampu merkuri saya mencari-cari sosok bayangan yang biasanya bergerak perlahan dan sesekali menghentikan langkahnya di hampir setiap rumah.

Tepat tiga puluh detik kemudian, anak mata saya menangkap bayangan itu, tertatih-tatih dan perlahan-lahan. Di balik punggungnya menyembul benda putih. Sebuah karung!

Saya bersiap-siap memindahkan sosis karung yang cukup lama teronggok di sudut teras, ketika tiba-tiba rasa mulas itu menggaruk-garuk perut. Secepat kilat saya berlari ke kamar mandi sambil berteriak memanggil suami.

"Ayah, tolong! perut ibu mulas nih!"
Si ayah yang sudah bersiap dengan sarungnya setengah melompat kaget.

"Apa, bu?"

"Tolong karungnya dibawa ke depan rumah. Itu orangnya sudah datang, masih di sebelah timur."

"Oh, mau menebus dosa, ya" ujar Ayah santai

Menebus dosa? Ah, iya juga sih.
"Ah, Ayah... Tapi sampaikan ma'afku juga dech, hun!" teriakku dari dalam kamar mandi.

****************

Beberapa pagi sebelumnya dalam rutinitas membuang sampah yang sama. Sesosok itu bergerak dari satu tempat sampah ke tempat sampah lain. Dengan gerakan yang sama, mengaduk-aduk, mengambil benda plastik atau apapun juga, kemudian memasukkannya ke dalam karung putih yang selalu dipanggulnya di pundak.

Seperti juga keluhan yang sama dari para tetangga, pemulung suka mengaduk-aduk dan mengacak-acak tempat sampah padahal sudah terbungkus rapi dengan tas plastik. Karena saya tidak mau sampah saya diacak-acak oleh tikus maka saya juga tidak rela kalau diacak-acak pemulung. Maka pagi itu saya putuskan menunggui tempat sampah saya sampai pemulung itu lewat.

Benar saja ketika pemulung itu sudah sampai di depan pagar saya, serta merta ia memeriksa bungkusan plastik dan menekan-nekannya mencari sesuatu yang menurutnya bisa diambil. Setengah jengkel saya bergerak menuju pemulung itu.

"Itu nggak ada apa-apanya. Sudah nggak usah diacak-acak, nanti malahan berantakan!"
Tanpa sadar tangan saya yang masih memegang sapu menghalau tangan pemulung itu dari tempat sampah. Dengan ujung sapu itu.

Tiba-tiba wajah pemulung itu mendongak. Di balik topi lebar di bawah keremangan lampu neon jalan, mulai jelaslah sebuah wajah yang berkeriput dan sangat renta. Wajah seorang wanita tua yang pantas kalau saya panggil dengan sebutan 'mbah'.

Sekejap saya terkesiap. Sejurus kemudian 'mbah tua' itu berucap.

"Nak, saya itu sudah tua. Jadi saya ngerti, nanti akan saya rapikan lagi. Jam dua pagi juga ada orang lain yang sudah datang kesini. Jadi bukan saya yang mengacak-acak sampahnya ...."

Suaranya yang bergetar dan lirih menusuk tepat di jantung pendengaran saya. Saya tak bisa berkata-kata ....

1 comment:

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK