Sunday, February 20, 2011

KUNG

Badannya tinggi melengkung, kurus, kulitnya sawo matang, hidungnya yang tinggi, dan dahinya yang lebar. Kung, sorot matanya menjanjikan kesenangan, setidaknya menurutku yang saat itu masih 8 tahunan. Ditambah giginya yang telah hampir ompong semua, membuat senyumnya demikian lucu dan cerah.

Tapi kata ibu, Kung sebenarnya sangat keras soal pendidikan anak. Apalagi enam dari sembilan anaknya perempuan.

Suatu kali pernah ibu, yang kala itu remaja, 'hang out' bersama teman-teman perempuan dan lelaki, di suatu malam minggu menuju sebuah misbar di kampung sebelah. Ketika mendengar berita itu, Kung secepat angin melesat dengan sepeda kumbangnya. Kung menghentikan langkah remaja-remaja itu di tengah jalan. Cukup dengan beberapa patah kata, Kung membuat ibu dan salah satu adik perempuannya yang ikut, harus kembali ke rumah. Ibu menahan malu yang luar biasa pada teman-temannya. Kekerasan cara mendidik Kung bukanlah dengan ayunan pukulan. Cukup dengan kalimatnya yang berwibawa.

Ketegasan Kung terutama terhadap anak perempuan itu, belakangan sangat disyukuri oleh anak-anaknya sendiri. Mereka semua tidak pernah terjebak pergaulan bebas. Mereka menikah baik-baik, dengan orang-orang yang terpilih. Dan melahirkan cucu-cucu yang luar biasa. Oh Kung.

Si Gadis Kecil Kung

Aku, si gadis kecil, cucu yang pernah paling disayang. Kata ibu bahkan sejak umur 9 bulan, aku sudah tidur di rumah Kung. Kata Kung beliau senang karena aku tidak pernah lagi ngompol. Akibatnya aku pun lebih cepat punya adik.

Sampai besar aku lebih banyak di rumah Kung. Bahkan jadi tempat pelarian bila ibu sedang memarahiku. Aku cukup duduk saja di dekat Kung yang sedang menjahit atau memotong kain, maka ibu segera surut langkah.

Soal pekerjaan memotong kain itu, jadi pemandangan yang mengasyikkan bagiku. Kung melipat satu gelondong kain bahan celana beberapa kali, kemudian meletakkan pola kertas, menggores-gores dengan kapur khusus, lantas irama 'cekrik-cekrik' dari gunting Bareng segera terdengar. Tapi yang paling menarik adalah wajah serius Kung dan gerak mulutnya yang monyong-monyong tanpa sengaja mengikuti ketukan gunting. Sungguh lucu dan membuatku terpingkal-pingkal.

Kung bekerja dengan memotong-motong kain kemudian penjahit-penjahitnya akan datang mengambil beserta seluruh bahan lain termasuk benang dan kancing. Beberapa hari kemudian mereka akan setor jahitan yang sudah jadi dan mendapat ongkos. Kung kemudian membawa baju-baju itu dalam sebuah kain taplak besar dan dibungkus erat. Bungkusan itu namanya Bangkelan. Dan Bangkelan yang besar itu akan diletakkannya di boncengan sepeda. Setiap pagi Kung berkeliling ke pasar-pasar menyuplai barang dagangan kepada para juragan toko. Dulu kata Mak (panggilan tuk nenekku), Kung punya lapak sendiri. Tapi terjual ketika dua tahun Kung menderita rematik yang parah.

Setiap siang, ketika dari kejauhan nampak sepeda Kung dan Bangkelannya yang menipis, aku segera berlari-lari menyambut. Selalu ada saja oleh-oleh Kung untukku. Yang paling sering dibawa Kung adalah kue agar-agar rumput laut asli yang dimasak dengan air kelapa, santan, dan gula. Bagiku itu kue termewah saat itu. Selain Bangkelannya, boncengan sepeda itupun setia aku naiki. Tapi Kung harus mengikat kedua kakiku ke depan di bawah sadel agar jari kakiku tidak tergerus ruji-ruji sepeda.

Tak pernah sekalipun Kung marah. Meskipun aku sering mengambil kue atau buah jatah Kung yang rapi disimpan di kamar. Tahu kan, kalau tidak disisihkan untuk sang ayah pastilah semua makanan itu tandas oleh anak-anaknya yg banyak. Oh Kung.

Uban Kung

Rambut Kung sudah hampir rata memutih. Tapi Kung tetap saja memintaku mancabuti ubannya. Sepuluh uban akan diganti dengan satu rupiah. Tentu saja aku senang, karena itu pekerjaan mudah untuk rambut Kung yang sudah keperakan. Mungkin Kung ingin menyenangkanku dengan sedikit uang jajan.

Aku mencabut uban Kung dan dengan lucu melihat kepala Kung yang terantuk-antuk. Kung yang gampang ngantuk kukira. Dan uang jajan yang dijanjikan Kung membuatku bangga di hadapan kakak dan adikku. Semua berebut ingin mencabut uban. Wah, kalau dibiarkan bisa-bisa rambut Kung habis. Maka jadilah Kung mengeluarkan uang ekstra untuk membaginya kepada semua anak. Oh Kung.

Selembar Foto

Kung tampak duduk lesehan bersandar di gebyog jati, beralas tikar pandan di teras rumah. Terlihat Kung sedang santai berbincang dengan seorang lelaki di sebelah kanannya. Lelaki itu seumuran Kung, berdahi luas dan berhidung tinggi. Hanya saja perawakannya lebih pendek dan rahangnya sempit. Garis-garis wajah lelaki itu nampak lebih halus.

Diantara kedua lelaki yang beradu lutut itu, duduk seorang gadis kecil berpipi gembil, kuncir satu di atas bersemat pita kuning. Rok warna biru langit yang dikenakannya bersulam gambar di dada. Gambar seorang pemancing dengan kail panjang dan ikannya.

Gadis kecil itu adalah aku yang selalu lengket kemanapun Kung berada. Sayangnya hanya foto itu satu-satunya yang memperlihatkan kebersamaanku dengan Kung. Sedangkan lelaki di sebelah Kung adalah teman baik Kung. Teman seperjuangan.

Namun baik Kung atau Sang Teman tidak pernah menyangka jika belasan tahun kemudian aku menjadi menantu Sang Teman. Ya, aku menikah dengan anak bungsu Sang Teman itu yang dulu sejak kecil kukenal sebagai 'Si anak hidung mancung yang suka jahil dan tidak bisa diam'. Dia juga mengenalku sebagai 'Si anak cengeng dengan kuncir yang suka membuat prakarya'. Si anak bungsu itu sangat mirip dengan ayahnya, berhidung tinggi, berdahi luas, rahang sempit, bibir kecil, dan garis-garis wajah yang halus.

Sayangnya kedua lelaki itu tidak sempat melihat momen indah kami. Oh Kung.

Tidurlah Sebentar Saja, Kung

Empat hari saja Kung tidak kuasa bangun dari tempat tidurnya. Badannya sangat panas, kulit mukanya redup. Aku suka mengambilkannya segayung air wudhu, dan Kung berwudhu di atas tempat tidur ditampung sebuah bak besar di lantai. Kung tidak mau bertayammum. Sinar mata Kung mengungkapkan rasa sakitnya. Ketika aku telah menjadi Dokter barulah aku tahu, kelemahan tubuh itu yang disebut sepsis.

Silih berganti tetangga dan teman Kung menjenguk. Pak Haji Mabruri yang dituakan, memanjatkan do'a untuk kesembuhan Kung. Tepat hari keempat, Kung terpaksa diangkut ke Puskesmas oleh banyak orang. Aku tidak tahu bagaimana cara Kung dibawa kesana, karena sepulang sekolah aku sudah tidak menjumpai Kung lagi di tempat tidurnya.

Esoknya dini hari aku terbangun oleh deruman mesin. Sebuah mobil putih dengan lampu kelap-kelip telah berada di pintu rumah. Mereka membawa Kung pulang. Mereka meletakkan Kung di amben di ruang tamu. Aku lihat mata Kung terkatup rapat. Mungkin Kung sedang tertidur sebentar, kataku dalam hati. Aku menunggunya bangun dengan terkantuk-kantuk karena masih terlalu pagi.

Semua orang terlihat begitu sibuk. Mak terkulai tidak bergerak-gerak. Wajahnya pucat. Beberapa ibu mengoleskan - oleskan sesuatu di tubuh Mak dan yang lain mengipasi.

Aku masih menunggu Kung terjaga. Biasanya Kung akan membangunkanku bila adzan Shubuh tiba. Tapi ini terlalu lama.

Hari itu aku tidak sekolah karena hari itu adalah libur nasional Hari Raya Nyepi. Aku hanya termangu-mangu di tengah keramaian dan kesibukan orang yang silih berganti. Aku menangis tapi aku tidak tahu kenapa, mungkin karena semua orang di rumah itu menangis.

Aku mengintip di balik korden mencari-cari wajah Kung. Karena sejak pagi itu semua orang melarangku mendekati Kung. Aku mengintip ketika rahang Kung ditali dengan tali putih, butir-butir kapas yang ditutupkan di mata dan hidung. Bunga-bunga yang wanginya aneh. Semua aku lihat tanpa aku pahami. Aku hanya berharap Kung akan berbicara lagi denganku.

Aku belum tahu bagaiman sebuah kematian bermakna sebuah kehilangan. Entahlah, saat itu aku belum pernah merasa kehilangan siapa-siapa di keluarga dekatku.

Aku memang menangis tapi aku belum mengerti arti sebuah kesedihan.

Ketika Kung telah dibawa pergi oleh mereka, dan berhari-hari kemudian aku baru merasakan kepiluan rasa kehilangan. Aku melongok keluar pintu tapi tak pernah ada tanda-tanda Kung akan datang. Aku bersedih.

Lalu aku mengambil sebuah buku harian yang kubuat sendiri dari kertas-kertas kosong bekas buku yang tak terpakai dan bersampul kertas kado. Aku menuliskan prasastiku.

HARI SELASA TANGGAL 31 MARET, KUNG MENINGGAL DUNIA ....

2 comments:

  1. cerita terakhir menyedihkan bangetbuk tapi cerita yang ke 3 lucu banget soalnya bapak dipanggil ibu "sianak yang hidung mancung dan tidak bisa diam" kalau ibu dipanggil bapak "sianak cengeng dengan kuncir yang suka membuat prakarya" itu adalah panggilan terlucu sealam semesta

    ReplyDelete
  2. hasan, hehehe... kamu juga anak terlucu sealam semesta ..

    ReplyDelete

LOGO IDI

LOGO IDI

LOGO PEMDA GRESIK

LOGO PEMDA GRESIK